Oleh Ahmad Musa Said
Pengurus Pusat Ikatan Alumni (IKA) UNHAS
INDONESIA dikenal sebagai negara yang kaya ragam budaya dan bahasa. Adat istiadat serta tradisi lokal yang tak terhitung variasinya menjadi salah satu daya tarik orang luar datang berkunjung ke Nusantara. Bukan hanya keindahan panorama alam, keramahan penduduknya yang menyebabkan turis asing tak pernah bosan untuk kembali ke Republik yang semboyan negaranya adalah Bhinneka Tunggal Ika, sebuah pepatah jawa kuno yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Sebutlah Sumatera Barat, salah satu propinsi di pulau Andalas dengan jumlah penduduknya 5,53 juta jiwa berdasarkan sensus penduduk 2020. Mayoritas penduduk wilayah ini berasal dari suku Minang, suku terbesar ke-7 di Indonesia. Keindahan budaya minang sudah terkenal kemana-mana, mulai dari sastra, tarian, hingga tradisi lokal. Banyak yang jatuh cinta pada budaya Minang ini.
Sayapun termasuk yang jatuh cinta ke Ranah Minang ini. Legenda Malin Kundang, anak durhaka yang menjadi batu di Pantai Air Manih (Manis), kisah Sitti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dan Sengsara Membawa Nikmat yang menampilkan Novia Kolopaking dan Dessy Ratnasari muda menjadi awal kekaguman ambo (saya). Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, semboyan yang betul-betul menunjukkan ketaatan ninik mamak orang minang pada ajaran Islam, agama yang masuk sejak abad ke-7 masehi. Tak berselang jauh setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW. Terlebih sejak membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tak habis rasanya keajaiban negeri jam dan rumah gadang ini. Ibarat Marapi dan Singgalang, erupsi ketakjuban itu tak pernah terduga setiap berinteraksi dengan daerah asal salah satu proklamator ini. Daerah ini melahirkan banyak tokoh bangsa yang kharismatik dan berjasa terhadap perjuangan kemerdekaan negeri ini.
Marilah simak satu figur kharismatik yang saya temui dalam kunjungan Menteri Pertanian RI, Dr. Ir. H. Andi Amran Sulaiman, MP. (AAS) ke lokasi bencana galodo ini. Seorang pria yang berwibawa, tak nampak kalau usianya sudah menjelang 60 tahun, putih janggutnya, senantiasa berpeci. Beliau dipanggil Buya oleh rakyatnya, gelar yang menunjukkan bahwa beliau tidak hanya tinggi dari segi jabatan dan usia, namun juga karena pemahaman ilmu agama yang mendalam. Seperti kita kenal panggilan Buya HAMKA, Buya Natsir, beliau disapa Buya Mahyeldi.
Apa yang mengagumkan?, bukan karena saya melihatnya sering tampil. Tapi justru karena sebagai Gubernur, pemegang tampuk pemerintahan tertinggi di Sumbar ini justru tak pernah memberikan sambutan dalam dua agenda awal kunjungan Mentan AAS. Sejak Pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri se Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Padang, sampai di lokasi bencana, Bukit Batabuah, Kabupaten Agam, Gubernur yang bergelar Datuk Marajo ini hanya setia mendampingi menteri yang juga Ketua Umum IKA Unhas tersebut tanpa pernah berdiri di depan podium walau sekedar menyampaikan sepatah dua kata.
Ada apa batinku?, meski saya tahu bahwa Rektor UNP yang memberikan sambutan siang itu berencana mendaftarkan diri menjadi calon gubernur ke semua partai besar di Sumbar. Namun saya yakin dunsanak Minang tak sekeji itu mensabotase kompetitornya. Mereka tetap saling menghormati bahkan sang rektor menyebutkan bahwa Gubernur telah memberikan sambutan sehari sebelumnya. Tapi bukankah Sabtu pagi 18 Mei 2024 itu acara puncaknya? Dihadiri seluruh unsur Forkopimda, puluhan Rektor dan ribuan mahasiswa serta Pejabat Eselon dari Kementerian Pertanian. Tentu momen itulah yang paling tepat bagi gubernur memberikan sambutan bagi semua yang hadir, acara paling meriah dan ramai, tapi tidak dilakukannya sobat.
Rasa ingin tahu saya terjawab pada malamnya, di auditorium rumah jabatannya, muballigh yang pernah dua kali berturut-turut menjadi walikota Padang ini barulah mengambil giliran menjamu Mentan AAS beserta rombongan. Jamuan yang sederhana namun tak mengurangi nikmatnya berbagai menu Minangkabau di malam itu. Di rumah jabatannya, baru beliau merasa pantas menjadi tuan, meski tak seramai dua acara pagi dan siang sebelumnya. Beliau mengucapkan terimakasih kepada Menteri Pertanian yang sering disapa Puang ini, panggilan hormat untuk bangsawan di tanah Bugis ataupun orang yang kita anggap lebih dari kita dalam banyak hal. 33 Milyar rupiah, total bantuan Kementerian Pertanian untuk Sumatera Barat hari itu ucap Gubernur berwajah teduh ini. Serta tak kurang dari 300 juta total dana pribadi AAS yang disumbangkan untuk korban bencana, termasuk masjid dan mahasiswa, lanjut pria yang sejak kelas tiga SD telah membantu orang tuanya mencari nafkah ini.
Meski skenario ini sudah diatur protokol, tapi begitu indahnya rangkaian saling memuliakan yang saya lihat hari ini, ditinggikan sarantiang didaulukan salangkah. Alangkah kagumnya pada gubernur definitif yang memberikan kesempatan pada calon kompetitornya dan Bupati Agam untuk tampil bersinar memberi sambutan seiring Menteri Pertanian hari itu. Seolah menghindari jangan sampai ada dua bulan setelah matahari memberi sambutan. Dia tak khawatir membesarkan orang lain, itu sifat orang pemimpin yang berjiwa besar.
Minangkabau, bukan hanya budayanya, tapi pemimpinnyapun telah menawan hatiku. meski sebagai pelayan masyarakat saya tak boleh mengungkapkan keberpihakan politik, namun saya mendoakan Ranah Minang selalu diberikan pemimpin yang memberikan kesejukan bagi warganya, siapapun ke depan yang terpilih.
Tanpa bermaksud menyerang pribadi tertentu, pikiranku lalu teringat akan polemik yang timbul di beberapa negeri seberang sana, Di mana ada Penjabat Gubernur yang sering memicu polemik menimbulkan keresahan masyarakat karena tindakannya yang terkadang over acting (salto istilah kami). Bahkan terkadang seolah-olah lebih superior dibanding Gubernur definitif yang betul-betul dipilih secara demokratis oleh rakyat. Tak jarang ada yang menjelek-jelekkan gubernur definitif yang harusnya dia lanjutkan programnya yang baik, bukan malah seolah hendak mengubur karya prestasinya. Seolah lupa kalau di atas langit masih ada langit.
Tentunya figur Buya Mahyeldi Ansharulah Datuk Marajo ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi siapapun pejabat publik yang menjadi supir tembak, istilah yang sering diucapkan AAS bagi dirinya di periode kedua ini. Dan juga bagi siapapun yang akan mengemban amanah menjadi pejabat publik kelak, baik itu definitif maupun hanya petugas sementara. Tak perlu menjelekkan yang lalu, mari menatap ke depan dan berbuat yang terbaik. Karena di Minang sana, ada pengingat yang indah bagi penguasa, Rajo alim rajo disambah, Rajo zalim rajo disanggah. Renungkanlah !!!
——–
Penulis adalah Peneliti Pusat Riset Perikanan – Badan Riset dan Inovasi Nasional yang juga aktif di Majelis Nasional KAHMI Bidang Maritim, Majelis Tabligh Muhammadiyah Makassar, Korps Muballigh Muhammadiyah Depok, Wasilah MUI Depok, KKSS Depok dan Content Writer di Kabarika.id.