BMKG Pantau Ancaman Kekeringan dan Kelangkaan Air

Berita448 Dilihat

KABARIKA.ID, JAKARTA — Fenomena El Nino diprediksi akan kembali mengancam Indonesia. Gawatnya, kekeringan ini bukan hanya berdampak pada sektor pertanian tetapi juga kesehatan dan kualitas udara.

Deputi Bidang Klimatologi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan Indonesia memiliki sejarah kekeringan dan kelangkaan air pada tahun 1997, 2025, dan 2019 akibat fenomena El Nino.

“Pendorong kekeringan utama adalah kondisi ENSO yang positif sehingga menyebabkan kondisi kering apabila kondisi suhu permukaan laut di Pasifik Equator bagian tengah hingga timur menghangat (El Nino),” kata Ardhasena melalui keterangan tertulisnya, Senin (27/5/2024).

Ardhasena menjelaskan, kekeringan di Indonesia bersifat musiman dan dipengaruhi oleh musim kemarau Australia.

Lebih lanjut BMKG memiliki beberapa produk untuk memprediksi kekeringan sehingga dapat dijadikan informasi dan acuan bagi pemangku kepentingan dan masyarakat terdampak.

Pertama, produk hari tanpa hujan di mana daerah tanpa curah hujan selama 1-2 bulan; kedua, monitoring curah hujan dan karakteristiknya; ketiga, indeks kekeringan komposit atau menggabungkan kondisi yang ada dengan prediksi untuk memberikan peringatan dini kekeringan; keempat, informasi terkait kekeringan yakni ketersedian air, indeks kekeringan berbasis satelit, dan prediksi probabilitas kekeringan.

Untuk menanggulangi dampak kekeringan, BMKG turut bekerja sama dengan stakeholder terkait seperti sektor pertanian dengan memberikan prediksi kekeirngan dan informasi agromatologi, sektor kehutanan dengan memberikan prediksi kebakaran hutan dan lahan dan mencegah deforestasi, dan sektor kesehatan dengan memberikan informasi kualitas udara dan peringatan polusi udara.

“BMKG terus berupaya untuk meningkatkan prediksi kekeringan dan menyesuaikan informasi kekeringan dengan dampaknya. BMKG juga mendorong keterlibatan masyarakat dalam upaya penanggulangan kekeringan,” jelasnya.

Oleh karenanya, Ardhasena melihat peluang penting untuk menyesuaikan informasi kekeringan dengan dampaknya. Terpenting diperlukan peningkatan kapasitas berbasis masyarakat agar lebih tanggap dalam kondisi bencana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *