ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh Ahmad Musa Said
Pengurus Pusat Ikatan Alumni (IKA) Unhas
SUASANA kantor gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) begitu ramai di hari Senin, 27 Mei 2024. Terlihat ribuan manusia berkumpul di bawah sebuah tenda roder. Sejak pagi mereka lalu lalang mempersiapkan penyambutan kedatangan putra Bone, asal desa Bakunge yang kini diikhlaskan untuk berbakti kepada bangsa dan negara. Yah, Menteri Pertanian Republik Indonesia secara resmi melakukan kunjungan kerja ke Sulsel.
Kedatangan Dr. Ir. H. Andi Amran Sulaiman (AAS) kali ini dalam rangka menyerahkan bantuan dari Kementerian Pertanian ke Provinsi Sulsel. Selain bantuan reguler senilai 365 miliar rupiah, juga dikucurkan bantuan bencana alam senilai 48 miliar rupiah, total Rp 413 miliar untuk Sulsel.
Penyerahan bantuan di Sulsel ini agak berbeda dari penyerahan-penyerahan sebelumnya di provinsi lain. Setelah operasi penyerahan Alsintan dalam bentuk apel siaga di tiga Markas Kodam di pulau Jawa, yaitu Kodam III/Siliwangi, Kodam IV/Diponegoro, dan Kodam V/Brawijaya, penyerahan bantuan di Sulsel ini dilaksanakan di lapangan kantor Gubernur.
Mungkin untuk menyemangati masyarakat dan OPD serta Forkopimda Sulsel yang baru saja ditimpa bencana banjir, atau bentuk support beliau kepada Penjabat (Pj) Gubernur yang baru saja dilantik pada 17 Mei 2024.
Prof Zudan sebelumnya telah menjadi Pj di Gorontalo, Sulawesi Barat, dan di Sulsel saat ini. Dan di semua provinsi tersebut Prof Zudan ditakdirkan selalu menerima bantuan dari Mentan yang juga ketua umum IKA Unhas ini.
Ketika turun dari kendaraan dengan nomor polisi RI 37, Mentan AAS disambut oleh Gubernur Sulsel dan Wakil KSAD beserta masing-masing jajarannya. Owner PT. Tiran Group ini lalu dimahkotai topi Passapu atau Patonro, penutup kepala yang berupa lilitan kain khas masyarakat Makassar yang telah ada sejak abad ke-7.
Sebelum memasuki arena, seorang pemuda ksatria menampilkan Angngaru’ sebagai sumpah ikrar kesetiaan kepada pemimpin selama berada di jalan yang benar. Sebuah pesan penuh isyarat dan doa kepada Mentan AAS agar selalu istiqamah di jalan kebenaran dan kebaikan.
Dalam sambutannya, pria yang sejak kecil sudah bertani ini mendoakan Pj Gubernur Sulsel Prof Zudan agar dapat berkarya lebih baik di Sulsel. Tak lupa juga mendoakan Bahtiar Baharuddin menjadi lebih baik lagi di tempat yang baru (Sulawesi Barat).
Seperti biasa, meski dalam suasana formal, Mentan AAS banyak menyelipkan candaan, namun penuh makna dalam sambutannya. Seperti Ketika menyebutkan nilai total jumlah bantuan, beliau berkelakar, makkoro ko laoki sompe’ kamase (begitu sebaiknya kalau kita pergi merantau), lao sappa dêceng, lisu mappidêceng (pergi cari yang lebih baik, pulang membawa kebaikan atau memperbaiki kampung).
Candaan ini disambut tepuk tangan dan riuh tawa dari peserta, tak sedikit yang menunjukkan wajah haru mendengar ungkapan ini.
Praktisi yang juga dosen di Universitas Hasanuddin ini kemudian melanjutkan, aja’ lao maccarita, lisu ma’bua’ carita (jangan pergi hanya bergosip, pulang hanya mengarang cerita atau menjadi bahan pembicaraan yang buruk).
Pesan Lao Sappa Dêceng Lisu Mappidêceng ini merupakan salah satu falsafah hidup suku Bugis perantauan. Bahwa berangkatnya mereka meninggalkan kampung halaman bukan bertujuan untuk main-main atau hanya sekedar pelesiran.
Sejak awal kaki dilangkahkan meninggalkan tanah kelahiran, niat baik itu sudah tertanam, mereka pergi untuk melakukan kebaikan dan mencari kebaikan, semoga kelak dapat kembali ke kampung halaman membawa oleh-oleh kebaikan, atau yang dapat membuat kampong (kampung) menjadi lebih baik.
Imam Syafi’i Rahimahullah dalam syairnya menyampaikan: Tinggalkanlah negeri kelahiranmu jika ingin mencapai kemuliaan (kesuksesan), dan merantaulah karena ada lima manfaat perantauan; tercapainya cita-cita, diperolehnya penghidupan, ilmu pengetahuan, adab yang mulia, dan kawan yang baik.
Begitulah, tak jarang seseorang merantau bahkan membuang diri ke pulau jauh untuk mengubur rasa sakit di kampung halaman, lalu di perantauan mereka berusaha dan berjuang sungguh-sungguh. Setelah sukses di perantauan, lalu kembali untuk berbakti atau sekadar berbagi kebaikan di kampung halaman.
Oleh-oleh kebaikan itu tidak hanya dalam hal finansial semata, tapi bisa dalam bentuk berbagi pengalaman, berbagi ilmu menjadi guru di masyarakat, etika yang lebih meningkat serta banyaknya relasi yang dapat memberi manfaat.
Kalaupun sepulang dari rantau diri kita belum dapat memberi kebaikan atau memperbaiki, paling tidak jangan pulang kampung membawa masalah atau menjadi sumber masalah, bahkan merusak.
Karena Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, hendaknya dia hanya mengucapkan (mengamalkan, memberi) kebaikan atau diam saja (HR. Muslim: 67).
Banyak tokoh Bugis Makassar yang menjadi lebih baik (sukses) setelah merantau, seperti bapak Jusuf Kalla (JK), yang setelah dua kali menjabat Wakil Presiden kini masih tetap diperhitungkan di pentas nasional dan dianggap layak menjadi guru bangsa.
Ada juga almarhum Jenderal M. Jusuf yang setelah menjadi Panglima ABRI dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, kembali ke Sulsel membangun Masjid Al Markaz Al Islami di Makassar, dan akhirnya wafat juga di Makassar.
Lebih jauh lagi ke masa lalu, ada Syekh Yusuf Tuanta Salamaka, yang meskipun wafat di Afrika sana, namun namanya tetap harum hingga hari ini karena keilmuannya dalam bidang agama. Dia juga telah mengharumkan nama Bugis Makassar di Seilon (Srilanka) dan Afrika. Dan tentu banyak tokoh lain selain ketiga nama Jusuf ini.
Kalaupun hari ini kita melihat ada yang sukses namun tidak pernah merantau, mungkin karena pikirannya telah menjelajah ke mana-mana melalui bahan bacaan, berinteraksi dengan berbagai tokoh dan ilmuwan, memperkaya wawasan melalui buku. Karena itu IQRA’, bacalah !!!
————————
Penulis adalah Peneliti Pusat Riset Perikanan – Badan Riset dan Inovasi Nasional yang juga aktif di Majelis Nasional KAHMI Bidang Maritim, Majelis Tabligh Muhammadiyah Makassar, Korps Muballigh Muhammadiyah Depok, Wasilah MUI Depok, KKSS Depok dan Content Writer di Kabarika.id.