KABARIKA.ID, MAKASSAR — DALAM banyak kesempatan, baik itu nonformal maupun acara resmi, seperti dalam sambutan maupun pidato, acapkali Andi Amran Sulaiman menyampaikan perihal kemanusiaan dan kesetaraan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perhatian, keberpihakan dan kedekatan Amran kepada kaum papa dan masyarakat yang tertimpa musibah tidak diragukan lagi, yang terakhir dibuat lebih terorganisir dengan membentuk AAS Foundatian.
Besarnya empati Amran ini tentu bukan tanpa sebab. Sejak kecil dia sudah merasakan penderitaan bagaimana sulitnya ‘hidup’ dalam kemiskinan. Dalam beberapa tulisan tergambar bagaimana Amran kecil harus berjuang bersama saudara-saudaranya dengan bekerja keras untuk melanjutkan hidup dan agar mereka bisa terus bersekolah.
Dalam kondisi seperti itu, Amran dan saudara-saudaranya tidak pernah memperhatikan soal gelar Andi. Makanya ketika dokumen resmi keluar, seperti akte kelahiran, ijazah, dan lain lain, Amran tidak mempedulikan tidak ditulisnya gelar Andi.
Bahkan, namanya juga tidak ada tambahan Sulaiman. Bagi mereka berjuang untuk hidup lebih penting dan utama untuk diperhatikan.
Apalagi, ayah Amran, yakni Andi Sulaiman Petta Linta, memang pernah meminta agar anak-anaknya tidak perlu memakai gelar Andi.
Lantas mengapa sekarang Amran memakai gelar Andi. Ini tentu punya cerita tersendiri, jauh dari keinginan Amran yang low profile, dan sangat dekat dengan orang-orang miskin dan memandang derajat semua orang sama, karena sama-sama berasal dari Nabi Adam.
Bermula ketika masih bekerja di PTPN 14, seorang pegawai di bagian SDM yang mengetahui betul silsilah keluarga Amran, selalu menambahkan kata Andi di depan nama Amran, baik itu dalam lisan maupun tertulis dalam surat-surat. Bahkan dalam SK di PTPN di tahun 1997, sudah tertera nama Ir. Andi Amran
Kejadian lain adalah ketika ada kasus kriminal di tahun 2008, yang melibatkan orang lain yang bernama Amran. Ketika itu Amran lah yang disangka pelakunya dan dihubungi banyak wartawan. Demikian pula ketika Amran kehilangan paspor, dia harus mengganti dengan nama yang lebih lengkap di paspor baru, Andi Amran Sulaiman dengan syarat harus melalui pengadilan untuk memasang gelar Andi. Jadi silsilahnya harus jelas
Tapi benarkah gelar Andi bagi Amran Sulaiman karena dia keturunan Raja? Bahkan keturunan dari Raja Bone XVI La Patau Matanna Tikka.
Dalam tulisan Mukhis Amans Hadi di Harian Fajar pada 23 April 2021, menjelang pertemuan sekitar 4.000 orang keturunan Raja Raja Dunia, dipaparkan seperti ini:
Para keturunan Paduka Yang Mulia (PYM) Puatta La Patau Matanna Tikka Raja Bone XVI dari seluruh dunia akan bertemu dalam format reuni keluarga di tahun 2021.
Kegiatan itu bertajuk Pertemuan Akbar Sedunia Wijanna Puatta La Patau Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Matinroe ri Naga Uleng Mangkau (Raja) Bone XVI.
Sekadar ditekatahui, nama Lapatau Matanna Tikka diabadikan menjadi nama stadion utama di Bone. Stadion ini menjadi arena pembukaan Porda tahun 2006.
PYM Puatta La Patau Matanna Tikka Raja Bone XVI yang dikenal dengan gelar anumerta Matinroe ri Naga Uleng ini adalah seorang raja besar yang menjadi simpul leluhur dari hampir semua kaum bangsawan Bugis Makassar yang kini menyebar di seluruh dunia.
La Patau lahir pada tanggal 03 November 1672 dan wafat pada tanggal 16 September 1714 adalah Raja Bone yang menjabat pada tahun 1696-1714. Nama panjang La Patau adalah La Patau Matanna Tikka, Sultan Alimuddin Idris, Walinonoe To Tenribali Malae Sanrang, Matinroe ri Nagauleng.
Anak cucu keturunan Puatta La Patau terdiri atas berbagai kalangan maupun profesi. Antara lain Andi Sumangerukka dan Andi Muhammad, Andi Amran Sulaiman, Andi Sudirman Sulaiman, dan sejumlah bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota.
La Patau Matanna Tikka (lahir pada tanggal 03 November 1672 dan wafat pada tanggal 16 September 1714) adalah Sultan Bone XVI yang menjabat pada tahun 1696-1714 menggantikan Arung Palakka. Gelaran nama panjang La Patau adalah La Patau Matanna Tikka, Sultan Alimuddin Idris, Walinonoe To Tenribali Malae Sanrang, Matinroe ri Nagauleng.
La Patau adalah anak dari pasangan La PakokoE To Angkone Arung Timurung, Paddanreng Tuwa VI (16), Putra Sultan Bone XIII La Maddaremmeng dan We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka yang merupakan adik dari Arung Palakka. Arung Palakka menikahkan La Patau Matanna Tikka dengan We Ummung Datu Larompong anak dari La Settia Raja, PajungngE ri Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang kemudian melahirkan We Batari Toja Daeng Talaga.
Pada tahun 1687 Masehi, La Patau Matanna Tikka dinikahkan lagi oleh pamannya Arung Palakka di Makassar yaitu We Mariama Karaeng Pattukangan, anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Tumenanga ri Lakiung atau cucu yang juga merupakan cucu dari Sultan Hasanuddin.
Dari perkawinannya itu lahirlah empat anak, yaitu We Yanebana I Dapattola La Pareppa To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi.
Diriwayatkan bahwa selain kedua permaisuri La Patau di atas, tercatat 18 (delapan belas) orang istri lainnya dalam Lontaraq antara lain adalah Sitti Maemuna (Dala Maru’), I Akiya (Datu Baringeng), We Rakiya (Dala Bantaeng), We Biba To Unynyi’, We Maisa To Lemo Ape’, We Leta To BaloE, We Sangi To BikuE, We SIa, We Sitti To Palakka, We Najang To Soga, We Caiya To BaloE, We Cimpau To UciE, We Baya To Bukaka, We Sitti, We Saira Karobang, We Sanra To Soppeng, We Ati, dan We Rupi.
La Patau dikenal sebagai raja yang sangat menghargai hukum adat istiadat. Ia sangat konservatif dan juga sangat tegas kepada para pemadat atau pecandu dan perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan masyarakat sehingga dalam masa pemerintahannya semua adat istiadat berjalan dengan baik. Baginda tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti dihukum termasuk keluarganya sendiri.
Pada masa kekuasaannya, tercatat dua kali nyaris terjadi peperangan antara Bone dengan Gowa termasuk perang melawan mertuanya sendiri, yaitu KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang.
Pertama, yaitu pada tahun 1700 Masehi ketika Sulle DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani dibunuh oleh La Pasompereng Arung Teko. KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng didukung oleh Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang kejadiannya di SalassaE ri Gowa. Namun, Belanda segera turun tangan untuk menengahi kedua pihak sehingga peperangan tidak berlanjut.
Perang kedua, yaitu pada tahun 1709 Masehi ketika La Padassajati melakukan kesalahan besar di Bone. Karena takut dihukum oleh ayahandanya sendiri maka melarikan diri ke Gowa untuk minta perlindungan kepada kakeknya.
Oleh karena permintaan Arumpone bersama Adat Tujuh Bone agar La Padassajati dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi oleh KaraengE ri Gowa, maka Bone menyatakan perang dengan Gowa. Sementara KaraengE ri Gowa juga menyatakan dengan tegas bahwa lebih baik berperang dari pada menyerahkan cucunya kepada Bone untuk dihukum.
Sebelum perang dimulai, Raja Gowa meninggal dunia. Maka La Pareppai To Sappewali saudara La Padassajati sendiri yang tidak lain adalah juga anak dari La Patau menggantikan kakeknya sebagai Somba ri Gowa. La Pareppai To Sappewali juga bersikap sama dengan tetap menolak untuk menyerahkan saudaranya ke Bone. Konflik ini juga ditengahi oleh Belanda, sehingga perang antara anak dengan ayah menjadi terhindarkan.
La Patau adalah raja yang pertama mengangkat Matowa sebagai pemimpin orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dengan tujuan agar orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dapat diawasi keadaan sehari-harinya karena mengingat pada waktu itu La Patau mempunyai tugas sebagai Raja Bone, dan sekaligus juga sebagai Ranreng Tuwa di Wajo. La Patelleng Amanna Gappa adalah orang yang pertama diangkat sebagai Matowa Wajo.
Seperti tertera di silsilah keturunan Andi Amran dalam Lontara Bugis, yang terbit 1941 berbahasa Bugis, tertulis Andi Amran Sulaiman keturunan dari La Pawawoi Arung Sumaling, anak keempat La Tenri Tappu, Raja Bone ke-23.
La Pawawoi Arung Sumaling mempunyai keturunan bernama Andi Baco Gangka Petta Teru, yang istrinya Karaeng Beja. Anak Karaeng Bantaeng/Karaeng Bore berdomisili di Bantaeng.
Andi Amran Sulaiman lahir dari ayah Andi Sulaiman Petta Linta dan ibu Andi Nurhadi Petta Bau.
Bila ditarik ke atas, ayahnya adalah keturunan La Patau, dan ibunya keturunan dari I Mariama Karaeng Padukangang Anak I Mappadulung Raja Gowa. Hal ini dapat dilihat dalam silsilah: La Patau Matanna Tikka Raja Bone XIV dengan istri I Mariama Karaeng Pattukangang.
Hal ini juga ditulis dalam buku Silsilah Kekerabatan Raja Raja di Sulawesi Selatan Barat yang diterbitkan Gramedia dengan penyusun Prof Dr Andi Rasyid MA, dkk. Andi Amran Sulaiman masuk salah satu keturunan raja sebagai penerus.
Menurut Raja Gowa ke-38 Andi Kumala Idjo, Andi Amran Sulaiman dan Andi Sudirman adalah murni berdarah raja-raja di Sulsel. Garis keturunannya jelas dalam silsilah dan itu tak diragukan lagi.
Pada tahun 2018, Andi Kumala Idjo pernah melakukan penelusuran tentang gelar Andi yang dipakai Andi Sudirman. Tapi hasil, ternyata malah masih keluarganya.
“Andi Amran dan Andi Sudirman itu keluarga saya. Jadi silsilahnya jelas dan dokumentasinya ada di lontara dan juga sudah diterbitkan Gramedia melalui kajian ilmiah,” katanya.
Andi Kumala Idjo melanjutkan, dalam silsilah keturunan raja, garis bapak Andi Amran sudah tegas tersurat bukan opini.
Hal senada disampaikan Andi Ansyari Mangkona. Dia menegaskan Andi Amran dan Andi Sudirman adalah keturunan bangsawan langsung.
“Silsilahnya ada pada saya. Jadi dahulu itu sewaktu Arupalakka berkuasa, dia tak mempunyai keturunan langsung. Maka dia menunjuk ponakannya untuk mempersatukan seluruh kerajaan di Sulsel. Nah. Keluarga Raja Bone inilah yang kemudian kawin mawin dengan berbagai raja di Sulsel, hingga ke Bantaeng,” lanjutnya.
Dengan begitu, garis keturunan raja dan bangsawan ini terus terjaga di Sulsel. Dan salah satu keturunan langsungnya adalah bapak Andi Amran Sulaiman dan Andi Sudirman Sulaiman. (*)