KABARIKA.ID, MAKASSAR – Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, sering mengalami bencana ekologis. Awal Mei 2024, kembali dihantam banjir disusul tanah longsor di beberapa titik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebencanaan Universitas Hasanuddin Ilham Alimuddin, kejadian bencana tersebut, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh karakteristik tanah di daerah itu.
“Karakteristik tersebut diantaranya, material yang mengalami longsor adalah tanah di dekat permukaan, bergerak secara cepat,” ungkap Ilham.
Ilham mengungkap tersebut dalam Diskusi Publik, The Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) Simpul Sulawesi Selatan di Balai Rehabilitasi Wirajaya Makassar, bertema Deforestasi Hutan Tanah Luwu dan Ancaman Bencana Ekologis Rutin, Sabtu (1/5/2024).
Bahkan, dari hasil survei kaji cepat penanganan bencana banjir dan tanah longsor yang dilakukan Puslitbang Kebencanaan Universitas Hasanuddin diketahui, jika Kabupaten Luwu menempati posisi pertama pada Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) di Sulsel.
Ilham menyebutkan, di Luwu sebagian besar termasuk jenis tanah longsor translasi (debris slide), dan terjadi pada tanah tebal yang merupakan pelapukan dari batuan metamorf. Termasuk bidang gelincir berupa batas antara tanah dan batuan ditambah curah hujan tinggi.
Sementara kondisi geologi wilayah tanah Luwu khususnya di Kecamatan Latimojong yang mengalami longsor itu, kata dia, berada pada formasi batuan filit atau batuan keras yang berlapis tipis sudah lapuk di atas.
Namun sebagian di bawahnya tidak mengalami lapuk hingga menyebabkan lapisan tidak lapuk ini menjadi licin kemudian mendorong tanah lapuknya ke bawah lalu menjadi longsor.
“Dari peta zona kerentanan gerakan tanah dan peta bahaya longsor tanah Luwu berada pada zona merah,” katanya menjelaskan.
Ia menyebut ada beberapa catatan dan rekomendasi pengurangan risiko bencana di Luwu yakni di mulai dengan mengetahui risiko bencana di sekitar. Untuk jangka pendek yakni pendataan rumah atau bangunan yang berada pada area bahaya tanah longsor (zona potensi terdampak material longsoran).
Selanjutnya, Pemerintah Daerah Luwu dapat berkoordinasi dengan K/L terkait untuk melaksanakan survei dan pemetaan lanjutan pada titik longsor yang belum terpetakan yakni prioritas di permukiman untuk memastikan apakah perlu dilakukan relokasi atau tidak, serta mitigasi apa yang diperlukan.
Untuk mitigasi jangka menengah yakni melengkapi dokumen perencanaan penanggungan bencana dimulai dari kajian risiko bencana akan disusun 2025.
Dilanjutkan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Kontigensi (Renkon) per jenis bencana sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 101 tahun 2018 tentang, Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Bencana Kabupaten Kota.
Selanjutnya, mengintegrasikan hasil kajian risiko bencana dengan Perencanaan tata ruang Kabupaten Luwu seperti sempadan sungai dan sempadan lereng harus diperhatikan.
“Terpenting melakukan pemantauan hulu sungai secara rutin dan terprogram. Koordinasi antara Dinas terkait. Dan peningkatan kapasitas dan edukasi masyarakat terkait pengetahuan risiko maupun mitigasi bencana wilayah masing-masing,” tegas Ilham.
Sementara Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel Muhammad Al Amin mengungkapkan, bencana yang terjadi di Luwu tersebut sedikit banyaknya dipengaruhi alihfungsi hutan menjadi lahan sawit serta maraknya kondisi kerusakan lingkungan.
“Mestinya pascabencana ini semua stakeholder harus bisa duduk bersama mencari solusi guna menekan kasus bencana alam serupa yang terjadi secara rutin itu bila musim penghujan datang, termasuk menghadirkan kurikulum sekolah berbasis kebencanaan,” ungkap Amin.