KABARIKA.ID, MAKASSAR — Empat guru besar atau profesor dari Fakultas Farmasi Unhas yang baru dikukuhkan, Selasa (11/06/2024) masing-masing telah menyampaikan orasi ilmiah yang bersumber dari hasil penelitian ilmiah. Penelitian mereka menawarkan harapan baru kefarmasian dalam bentuk produksi obat dan pengobatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berikut adalah cuplikan hasil penelitian mereka.
Prof Yusnita Rifai
Dalam orasi Ilmiahnya Prof Yusnita Rifai mengangkat tema, “Membangun Kemandirian Nasional Bahan Baku Obat Sintetik”.
Menurut Yusnita, efisiensi industri farmasi dalam memproduksi obat berbasis bahan baku lokal sangat rendah.
“Di tengah biodiversitas hayati dan laut Indonesia yang berpeluang sebagai bahan baku obat, justru impor bahan baku luar menguasai 96 persen pasar domestik,” kata Yusnita.
Faktor penyebabnya, kata Yusnita, antara lain terlalu beragamnya jenis obat yang beredar di Indonesia dan ketidakekonomian bahan baku obat jika diproduksi dalam skala massal.
Ketergantungan pada bahan baku impor obat merupakan bentuk ketidakberdayaan yang harus diatasi berbagai pihak. Salah satu cara menekan angka impor adalah dengan mendorong pemanfaatan bahan baku sintetik yang diisolasi dari keberagaman bahan alam lokal Indonesia.
“Penghitungan nilai TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri-red) produk farmasi yang berdasarkan pada processed-based, dilakukan dengan pembobotan terhadap kandungan bahan baku Active Pharmaceuticals Ingredients sebesar 50 persen, proses penelitian dan pengembangan sebesar 30 persen, proses produksi sebesar 15 persen serta proses pengemasan sebesar 5 persen,” papar alumni Flinders University, Australia itu.
Prof Yulia Yusrini Djabir
“Peran Pemodelan Hewan dalam Pencarian Kandidat Terapi untuk Mengurangi Toksisitas Hepatorenal Akibat Obat: Limitasi dan Arah Pengembangan”. Demikian tema orasi ilmiah yang disampaikan oleh Prof Yulia.
Prof Yulia menjelaskan, kerusakan hati akibat obat atau lebih dikenal dengan Drug Induced Liver Injury (DILI), masih menjadi tantangan dalam praktik klinik. Pada pasien dengan kondisi tertentu, DILI merupakan penyebab utama kasus gagal hati akut dengan tingkat kematian hingga 50 persen.
Prof. Yulia meyakini proses drug development atau pengembangan obat merupakan proses panjang dan berkesinambungan yang didasari ilmu pengetahuan dan penelitian yang intensif dan tidak jarang berbiaya mahal.
Penggunaan pemodelan hewan menjadi media untuk memahami sepenuhnya dampak interaksi antara kandidat obat dengan sistem biologis yang kompleks. Model hewan uji praklinis yang tepat dapat menjadi titik tolak tingkat keberhasilan uji klinis, termasuk toksisitas, efikasi dan efek samping penggunaannya.
“Namun perlu diperhatikan bahwa riset farmakologis yang menggunakan hewan model mamalia yang dibatasi oleh Undang-Undang Kesejahteraan Hewan, yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan hewan dengan mengintegrasikan reuse, reduce, dan recycle (3R). Terlepas dari modernisasi metode penelitian praklinis, hanya sebagian kecil yang dapat ditranslasikan secara klinis pada manusia,” tegas peraih L’oreal Unesco ini.
Prof Firzan Nainu
Prof Firzan memaparkan hasil penelitian berjudul “Lalat Buah Drosophila Melanogaster sebagai Organisme Model dalam Drug Discovery dan Drug Repurposing: Potensi dan Tantangan Translasinya dalam Pengobatan”.
Penelitian farmasi Prof Firzan fokus pada penemuan obat (drug discovery) dan penggunaan kembali obat (drug repurposing) yang memainkan peran krusial dalam meningkatkan kesehatan masyarakat secara berkelanjutan.
Pengampuh mata kuliah Anatomi dan Fisiologi itu menjelaskan, proses penemuan obat melibatkan serangkaian tahapan kompleks dimulai dari identifikasi senyawa potensial hingga uji klinis pada manusia. Sementara pendekatan drug repurposing mempercepat pengembangan obat dengan memanfaatkan kembali obat yang sudah ada untuk indikasi penyakit baru.
Keduanya memberikan solusi yang berkelanjutan terhadap tantangan medis yang kompleks dengan menyediakan akses lebih luas terhadap terapi yang efektif dan terjangkau.
Firzan mengakui, lalat buah merupakan salah satu organisme model yang menjanjikan dalam riset farmakologi. Dengan ukuran kecil, siklus hidup yang cepat, dan kemudahan dalam manipulasi genetik, lalat buah telah digunakan secara luas dalam penelitian farmakologi.
Meskipun demikian, penggunaan lalat buah juga memiliki tantangan sendiri, seperti keterbatasan dalam mewakili kompleksitas biologi mamalia dan potensi evolusi resistensi terhadap obat-obatan.
Saat ini, lanjut Prof Firzan, berbagai model penyakit infeksi dan noninfeksi menggunakan lalat buah telah berhasil dibuat dan dikembangkan. Potensi lalat buah dalam penemuan antimikroba baru, penelitian imunomodulator dan pengujian efek kandidat obat untuk penyakit degeneratif telah mulai dikaji dan dibuktikan secara eksperimental.
“Lalat buah dapat menjadi platform pengujian in vivo yang efektif dan efisien dalam upaya drug discovery dan drug repurposing,” jelas Prof Firzan.
Lelaki kelahiran 10 Juni 1982 itu meyakini, pendekatan in vivo yang mudah, murah dan cepat, platform lalat buah dapat menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan dalam pengujian obat tahap praklinis di masa depan.
Pada akhirnya, hal ini akan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan terapi baru yang lebih efektif dan terjangkau, sebagai bagian dari kemandirian nasional dalam bidang kefarmasian dan kesehatan.
Prof Andi Dian Permana
Orasi ilmiah Prof Andi Dian Permana membahas tentang “Microneedle Delivery System sebagai Strategi Inovatif untuk Meningkatkan Efikasi dan Kualitas Penghantaran Obat”.
Secara umum, kata Prof Andi Dian, sistem ini melibatkan penggunaan jarum mikro yang sangat kecil untuk menembus lapisan kulit terluar. Uniknya, proses ini tidak menyebabkan rasa sakit, memberikan celah bagi senyawa obat untuk masuk ke dalam aliran darah dengan lebih efektif.
Berdasarkan penelitiannya, Andi Dian menyimpulkan dengan menggunakan microneedle (MNs) dapat mengirim obat-obatan dengan lebih presisi, meningkatkan bioavailabilitas obat, dan pada saat yang sama mengurangi risiko efek samping yang tidak diinginkan.
Microneedles muncul sebagai solusi inovatif. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa sistem ini, yang terdiri dari jarum berukuran mikro, disusun pada mold patch kecil, dapat mengatasi keterbatasan sediaan konvensional.
Dengan mempertimbangkan masalah sediaan konvensional, sistem penghantaran obat microneedles dianggap sebagai kombinasi dari beberapa jenis sistem penghantaran.
“Kelebihan sistem ini terletak pada kemampuannya memungkinkan senyawa hidrofilik dengan molekul tinggi untuk masuk melewati stratum korneum, sehingga lebih banyak molekul obat dapat meresap ke dalam kulit,” jelas Prof Andi Dian.
Menurutnya, secara spesifik, sebagai sistem penghantaran obat yang baru, microneedle memiliki karakteristik untuk dibandingkan dengan penghantaran konvensional lainnya.
Sistem ini tidak hanya mampu menghantarkan obat untuk terlokasikan di kulit, tetapi juga menghantarkan obat ke sirkulasi sistematik. (*/rs)