Malemi To Tau Barani Na Malampu (Ode untuk Agus Ajar Bantung)

Ahmad Musa Said Pengurus Pusat Ikatan Alumni (IKA) UNHAS

Berita, Opini2191 Dilihat

Sebuah pesan WA dari Abd. Razak Said masuk di sela obrolan grup WA Alumni Unhas “Dapat Info dari Bang GHALI, Kak Agus Ajar berpulang kerahmatullah”.

Berulang-ulang saya baca baik-baik apakah tidak salah tulis nama senior yang akrab saya sapa kak Aca’ tersebut. Setelah yakin akan namanya, kak Agus Ajar Bantung, saya coba menghubungi langsung nomor kak Agus Ajar.

Berdering namun tidak diangkat, saya coba hubungi kak Awaluddin, diapun mengaku belum dapat info dan mencoba mencari tau.

Saya hubungi nomor Ghali yang disebut kak Aca, tidak direspon. Barulah setelah menghubungi kak Chepi Alumni Sospol Unhas, kami dapatkan info bahwa betul AAB telah wafat meninggalkan dunia fana ini.

Kami buat pengumuman namun belum dishare menunggu info valid, tiba-tiba masuk pesan Andi Aisyah Lamboge “Kak…minta maaf lahir bathin kak Agus sdh berpulang” dan melanjutkan dengan info “Wa dari istrinya kak agus Ajar” disertai dengan emoticon menangis dengan air mata yang deras.

Ya, senior yang sangat baik ini telah paripurna tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Dalam perjalanan menuju rumah duka pukul 11 malam, mata tak henti berkaca-kaca mengenang sosok pria kelahiran Enrekang 4 Februari 1971 ini, kami sama keturunan suku Duri, hingga terkadang kami berdialog dengan Bahasa Duri, meski tak sefasih pelafalan almarhum, namun bicara kami nyambung.

Dialeknya sangat kental menandakan bahwa sejak kecil almarhum lahir di daerah pegunungan Enrekang, dialek inilah yang membuat kejenakaannya semakin lucu. Saya yang memang mudah tertawa tak pernah berhenti ngakak sepanjang perjalanan Gondangdia – Depok, jika kereta terakhir telah lewat karena nongkrong di Warkop Phoenam yang kini telah tutup sejak ditinggal wafat pemiliknya.

Rumah kami memang berdekatan di Depok, hanya 950 meter jika berjalan kaki menelusuri gang, tak lebih dari lima menit jika menggunakan kendaraan roda dua. Salah satu tempat transit jika kebetulan mendapatkan jadwal khutbah Jumat di masjid Darussalam dalam kompleks rumahnya.

Cerita kami banyak berkisar kondisi umat Islam di Indonesia, kondisi politik nasional maupun lokal, sejarah masa lalu di Unhas, dan bagaimana dia memperjuangkan komunitas pengajian ibu-ibu mustadh’afiin dengan membantu menjualkan bakso tahu buatan mereka. Kepedulian pria ini memang selalu tampak jika terkait dengan kondisi orang yang butuh bantuan.

Terkadang kawan-kawan mencandainya “kenapa ada penjual bakso tahu pake mobil mewah”, disambutnya dengan tawa yang tak pernah mengesankan rasa tersinggung.

Bahkan saya yang ASNpun sering diingatkan, “bilang-bilang kalo ada keperluanmu dek, jangan sampai kamu susah padahal ada saya seniormu di sini,” ucapnya saat turun dari kendaraannya yang saya tumpangi di masa-masa puncak pandemi Covid-19 lalu.

Interaksi pertama saya dengan pria kelahiran Baroko Enrekang ini dimulai tahun 2002 setelah menghadiri Munas IKAHIMKI di IPB Bogor, seperti ajaran senior di HMI Makassar Timur saat itu, sebagai mahasiswa kalau ingin berangkat ke pulau Jawa, yang penting berangkat saja dulu, pulangnya tidak usah khawatir.

Banyak senior yang bisa dihubungi (dipalak) kalau sudah mau pulang. Alumni SMA Cakke’ inilah salah satu senior yang ikut membantu kepulangan kami setelah saya temui di Wisma Rini UI dengan perantaraan Syahid Arsyad dan Sirajuddin Mantan Ketua Cabang.

Banyak hal yang menghubungkan kami, alumni Unhas, HMI, KKSS, tetangga di Depok, sesama orang Duri, namun yang paling berkesan buat kami adalah sikap tegas, lurus dan tanpa basa-basinya terhadap hal prinsip yang diyakini.

Ketika polemic Al Maidah 51 terjadi, beliau tidak pernah absen dari setiap aksi, dan bahkan dengan tegas menyatakan ketidaksukaannya pada mereka yang berseberangan. Terkadang dengan bahasa langsung yang saya sendiri tidak mampu mengucapkannya.

Sikap Nahi Munkarnya nampak Ketika saya terkadang meminta pendapatnya Ketika ingin menghubungi salah satu senior, jika senior tersebut kurang berintegritas di matanya, secara langsung almarhum ingatkan, “aihh jammako (jangan) sama itu, paboko iyatu (pencuri / koruptor itu)” dengan dialek khasnya dan saya langsung tertawa karena caranya mengucapkan yang kocak namun serius.

Dalam beberapa kontestasi politik, almarhum bahkan berani melawan Keputusan partainya dengan mendukung calon yang dianggapnya lebih layak. “Ini urusan akhirat bos, masa kamu mau dukung orang yang jelas-jelas merusak agamamu” tegasnya sambil sesekali menyeruput kopi dan menghisap rokoknya.

Karena prinsipnya yang teguh dalam memegang kebenaranlah yang membuat saya sangat kagum pada alumni Kelautan Unhas Angkatan 91 ini.

Sayapun sempat memperkenalkan ayahanda saya kepada beliau ketika menginap beberapa lama di Depok, karena menganggap keduanya memiliki kesamaan dalam menyikapi kemungkaran. Dari situlah kemudian terungkap bahwa almarhum memiliki kedekatan dengan Umar Leha, paman kami yang pernah lama menjabat sebagai kepala Samsat.

Cerita Almarhum kala itu, kalau motornya ditahan polisi karena taka da STNK dan SIM, maka dia akan datang ke kantor Umar Leha melapor, maka motor diantarkan Kembali ke kantor SAMSAT. Namun setelah motornya tiba, almarhum masih tetap tinggal sambil menggaruk-garuk kepala, nanti setelah Umar Leha mengeluarkan segepok uang untuk pembayaran SPP almarhum tertawa dan memohon maaf sebelum pamit.

Bahkan terkadang sengaja almarhum melanggar di depan polantas agar ada alasan datang ke kantor SAMSAT, lanjut almarhum yang selalu mengundang tawa.

Almarhum juga begitu semangat menceritakan perkembangan Fawwaz, putra pertama dari keempat anaknya. “Fawwaz sekarang sudah hafizh 30 juz, dan adiknya yang terkecil sudah hafal surah-surah pendek” terangnya ketika mengobrol di teras rumahnya.

Semalam, Fawwaz tak kuasa menahan tangis, namun kami kuatkan, bahwa proses meninggalnya almarhum yang begitu cepat, setelah kembali dari menunaikan shalat Isya di masjid semoga menjadi tanda husnul khatimah.

Kepada Fawwaz kami pesankan, murajaah terus hafalanmu agar mutqin, semoga kelak di akhirat engkau memahkotai almarhum karena kemuliaan al Quran. Jangan sedih menatap masa depan, almarhum punya banyak sahabat dan saudara, jangan ragu untuk menghubungi jika butuh sesuatu di masa yang akan datang.

Pada almarhum kami saksikan, bahwa terjaganya shalat beliau menjadi bahan persaksian kami di hadapan Allah bahwa almarhum termasuk hamba-Nya yang beriman. Ketegasan, keberanian, ketulusan dan keteguhanmu memegang prinsip yang engkau yakini, membuat kami menangisimu.

Selamat jalan orang baik, menuju taman dari taman-taman syurgawi. Malemi To Tau Barani Na Malampu’, Telah Pergi Orang Berani dan Lurus itu. Allaahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa’fu anhu. Aamiin yaa rabbal aalamiin.

Penulis adalah Peneliti Pusat Riset Perikanan – Badan Riset dan Inovasi Nasional yang juga aktif di Majelis Nasional KAHMI Bidang Maritim, Majelis Tabligh Muhammadiyah Makassar, Korps Muballigh Muhammadiyah Depok, Wasilah MUI Depok, KKSS Depok dan Content Writer di Kabarika.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *