KABARIKA.ID, JAKARTA — Sosok alumni Universitas Hasanuddin Makassar pernah menjabat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum.
Namanya Prof Muhammad Alhamid.
Ia menyelesaikan pendidikan sarjana dan magisternya di Universitas Hasanuddin, sedangkan gelar doktoral ia peroleh dari Universitas Airlangga pada tahun 2007.
Prof Muhammad Alhamid menjabat Ketua DKPP RI periode 2020 sampai 2022.
Saat itu ia menggantikan Harjono. Sebelumnya Prof Muhammad Alhamid anggota DKPP RI tahun 2017 sampai 2022 sebelum diamanahkan jadi ketua.
Ia juga pernah menjadi Ketua Bawaslu RI periode 2012 sampai 2017.
Bagi Prof. Dr. Muhammad, S.IP, M.Si, pemilu yang berintegritas menjadi salah satu ukuran utama demokrasi suatu negara. Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia periode 2012-2017 ini meyakini, pemilu yang berintegritas salah satunya ditentukan oleh penyelenggara pemilu yang juga berintegritas.
Menurut Muhammad, selalu ada potensi penyelenggara pemilu melenceng dari tugas dan kewajibannya serta memihak peserta pemilu. “Bagaimanapun, penyelenggara pemilu adalah manusia biasa. Ada sisi baik dan potensi jahat pada diri mereka,” katanya suatu kali.
Toh Muhammad menilai tak perlu ada kekhawatiran berlebihan terhadap integritas penyelenggara pemilu. Sebabnya, ada lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang menegakkan kode etik bagi para anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu hingga ke level bawah.
“DKPP tidak akan segan menjatuhkan sanksi pemecatan untuk anggota Bawaslu serta KPU dan jajarannya yang terbukti melanggar kode etik,” katanya dikutip dari situs DKPP RI.
Doktor Ilmu Politik yang tamat dari Universitas Airlangga, Surabaya, ini berpendapat, integritas penyelenggara pemilu juga harus didukung oleh regulasi yang jelas dan tegas, peserta pemilu yang kompeten, serta birokrasi yang netral.
Sayangnya, kata Muhammad, aturan pemilu di Indonesia kerap abu-abu sehingga berpotensi menimbulkan berbagai persoalan.
Dia mencontohkan, para peserta pemilu kerap menggunakan istilah “sosialisasi” untuk menghindari tudingan kampanye di luar aturan.
“Regulasi pemilu itu harus tegas dan jelas, hitam-putih, tidak boleh abu-abu. Harusnya ke depan pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang bisa memperbaiki hal ini,” kata Muhammad.
Lahir di Makassar, 17 September 1971, suami dari Lubena Umar Alahaddad ini memang menaruh perhatian pada pemilu yang berintegritas.
Kiprahnya di bidang politik dan terutama pemilu, sudah berjalan lama.
Dia menjabat Ketua Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin, Makassar, periode 2010-2012. Muhammad menjabat Ketua Panitia Pengawas Pemilu Provinsi Sulawesi Selatan pada Pemilihan Umum 2009.
Tiga tahun kemudian, Komisi II DPR memilihnya sebagai Komisioner Bawaslu RI dengan suara terbanyak.
Usianya masih 43 tahun saat Universitas Hasanuddin mengukuhkan gelar guru besar kepada Muhammad pada 28 Februari 2015.
Kala itu, Muhammad membacakan pidato ilmiah berjudul “Mewujudkan Akuntabilitas Pemilihan Umum yang Berkualitas dan Berintegrasi melalui Transformasi Sistem Pemilihan Umum”.
Sejumlah tokoh seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dan Ketua Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy ikut menghadiri pengukuhan tersebut.
Muhammad juga pernah mendapat penghargaan Satyalancana Karya Satya X yang menandai kesetiaannya menjadi pegawai negeri sipil.
Empat hari menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia ke-70, Presiden Joko Widodo menganugerahi Muhammad Tanda Kehormatan Bintang Penegak Demokrasi di Istana Presiden.
Penghargaan itu diberikan bagi mereka yang dianggap berjasa di bidang sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bidang lain yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.
“Di manapun saya bertugas, saya akan coba memberikan yang terbaik,” kata Muhammad.