KABARIKA.ID, JAKARTA — Paus Fransiskus ternyata diam-diam mencermati menyelami makna yang terkandung dalam diktum atau naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang sifatnya singkat, padat, dan sarat makna itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemimpin Gereja Katolik Dunia dan Kepala Negara Takhta Suci Vatikan itu, mengungkapkan kekagumannya terhadap Pembukaan UUD 1945 dalam pidatonya pada acara pertemuan dengan kalangan pemerintah, masyarakat sipil, dan korps diplomatik di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/09/2024).

Menurut Paus Fransiskus yang merupakan Paus ke-266 Gereja Katolik Vatikan itu,
Pembukaan UUD 1945 menawarkan wawasan berharga bagi jalan yang dipilih Indonesia yang demokratis dan merdeka.

“Dua kali dalam beberapa baris, Pembukaan Undang-Undang Dasar Anda merujuk kepada Allah Yang Maha Kuasa dan perlunya berkat Allah turun atas Negara Indonesia yang baru lahir. Dengan cara yang sama, kalimat Pembukaan Undang-Undang Dasar Anda merujuk dua kali pada Keadilan Sosial,” papar Paus.

Pemimpin Gereja Katolik Dunia dan Kepala Negara Takhta Suci Vatikan, Sri Paus Fransiskus menyampaikan pidato pada acara pertemuan dengan kalangan pemerintah, masyarakat sipil, dan korps diplomatik di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/09/2024). (Foto: Tangkapan layar Youtube Sekretariat Presiden)

Menurut Paus, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan sosial, dan berkat Ilahi adalah prinsip-prinsip hakiki yang menginspirasi dan menuntun tatanan kehidupan sosial rakyat Indonesia.

“Sebagai fondasi tatanan internasional yang diinginkan dan sebagai salah satu tujuan yang harus dicapai demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia,” ujar Paus.

Prinsip-prinsip ini, ujar Paus, dapat disamakan dengan struktur pendukung, yaitu sebuah fondasi yang kokoh untuk membangun rumah.

Pernyataan Paus Fransiskus itu sejalan dengan misi dan moto kunjungannya ke Indonesia dan negara tujuan lainnya, yakni iman, persaudaraan, dan bela rasa (empati).

Berdasarkan pengamatannya, Paus menilai realitas dunia saat ini memunculkan kecenderungan tertentu yang menghalangi persaudaraan universal.

Hal itu ditandai dengan munculnya konflik dan kekerasan di berbagai belahan dunia, yang diakibatkan kurangnya sikap saling menghargai.

“Kadang-kadang, ketegangan-ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara, karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segalanya dengan memaksakan visi mereka,” ucapnya.

Terlepas dari kebijakan-kebijakan yang mengesankan, lanjut Paus, terdapat pula gejala kurangnya komitmen sejati yang berorientasi ke depan untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan. (*/mr)