KABARIKA.ID, MAKASSAR – Berdasarkan Data Kepolisan Daerah Sulsel potensi kerawanan Pilkada yang terpantau karena lima hal, yaitu konflik kepentingan politik, poliitk uang, hoaks dan disinformasi, intimidasi dan kekerasan, serta ketidaknetralan penyelenggara.
Ada pun potensi daerah rawan di wilayah hukum Polda Sulsel, meski secara umum kondusif, tapi ada beberapa yang rawan karena aspek lain, seperti DPT (Daftar pemilih tetap) yang gemuk, ada riwayat konflik pilkada, muncul permasalahan selama tahapan, ada penolakan dari warga, tim paslon saling singgung di medsos dan pendukung ASN, serta daerah yang eawan bencana seperti longsor dan banjir.
Dari 24 kabupaten/kota di Sulsel, daerah daerah yang rawan yaitu di Makassar, Bone, Gowa, Bulukumba, Jeneponto, Pinrang dan Wajo. Ini karena DPT gemuk, sehingga menjadi pusat kegiatan perebutan suara pasangan calon.
Kemudian yang rawan karena riwayat konflik pilkada seperti di Makassar, Palopo, Toraja, Soppeng, Luwu Utara, Luwu Timur, Gowa, Jeneponto dan Bulukumba. Lalu persoalan yang mucuk saat tahapan, seperti perusakan baliho terjadi di Sidrap, Parepare dan Pinrang.
Lalu ada penolakan warga terjadi di Kota Makassar yang menyebutkan ada salah satu calon yang intoleran. Ditambah lagi tim yang saling sindir di Pangkep, dan yang terkahir daerah rawan bencana alam di Toraja, Toraja Utara, Enrekang, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Kepulauan Selayar, Pangkep dan Takalar.
Semntara, Bawaslu Sulsel mencatat, ada 10 isu strategis yang dianggap mempengaruhi kerawanan dalam pemetaan kerawanan pemilihan pada Pilkada serentak 2024 yang mengakibatkan Provensi Sulawesi Selatan masuk lima besar daerah yang disebut oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai daerah yang rawan tinggi.
Hal itu diungkapkan Syaiful Juhad, Divisi Hukum Bawaslu Sulsel saat peluncuran Peta Kerawanan Pemilihan Serentak Tahun 2024, di Hotel Harper Makassar, Sulsel. Ke-10 isu tersebut yaitu netralitas aparatur pemerintah dan penyelenggara, politik uang, polarisasi masyarakat dan dukungan publik, penggunaan media sosial untuk kontestasi, keamanan, permasalahan logistik, kompetensi penyelenggara adhoc, hak memilih dan dipilih, serta layanan pada pemilih, terakhir bencana alam dan distribusi logistik.
“Dari pemetaan yang dilakukan Bawaslu, maka kerawanan yang perlu menjadi perhatian untuk tingkat kabupate/kota pada tiga tahapan, yaitu tahap pencalonan, kampanye dan pungut hitung atau hari pemilihan dan penghitungan suara,” ungkap Syaiful Jihad, Senin (9/9/2024).
Pada tahapan pencalonan, kerawanan terjadi adalah potensi penyalahgunaan kewenangan oleh calon dari unsur petahana, ASN, dan TNI/Polri. Lalu pada tahapan kampanye, kerawanan tertinggi adalah potensi praktik politik uang.
“Termasuk didalamnya pelibatan aparatur pemerintah (ASN dan TNI/Polri) saat berkampanye. Kemudian kampanye hutam atau negatif, isu SARA dan konflik antarpendukung pasangan calon,” lanjut Syaiful.
Dari tuga tahapan itu, yang paling rawan dan potensi terjadinya hapis di seluruh wilayah kabupaten/kota di Sulsel, dengan jumlah kejadian di 20 dari 24 kabupaten/kota, yaitu tahapan pungut hitung. Karena pada kondisi tersebut bisa saja terjadi peilihan suara ulang.
“Ini biasanya terjadi karena kesalahan prosedur di TPS oleh penyelenggara di tingkat KPPS dan persoalan pemenuhan hak memilih,” tambahnya.
Selain itu, pada konteks sosial politik, intimidasi, ancaman, kekerasan secara verbal dan fisik, pengerusakan fasilitas penyelemggara pemilu, kebijakan penyelenggara pemilu yang berubah-ubah hingga pelanggaran kode etik penyelanggara pemilu akan mempengaruhi kerawanan di wilayah kabupaten/kota.
Sehingga perlu ada langkah mitigasi dan pencegahan atas kerawanan pemilihan pada Pilkada serentak 2024 ini. “Caranya yaitu dengan peningkatan pengetahuan dan pembentukan sikap masyarakat agar terlibat aktif dalam pengawasan partisipatif sebagai kunci dalam pengawasan pemilu/pemilihan.
Juga melibatkan semua pemangku kepentingan untuk mewujudkan pilkada serentak 2024 sesuai dengansasa jujur dan adil,” tukas Syaiful Jihad. (*)