KABARIKA.ID, JAKARTA – Perlindungan hukum bagi pekerja migran Indonesia (PMI) menjadi perhatian penting di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Revisi ini diharapkan mampu memberikan solusi konkret terhadap tantangan yang dihadapi PMI, baik dalam proses penempatan maupun selama bekerja di luar negeri.
Menurut Affandi Affan, Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah yang juga sebagai advokat dan praktisi hukum, pembaruan UU ini merupakan langkah strategis dalam menjamin keadilan dan melindungi hak asasi pekerja migran.
“Dalam teori keadilan distributif, negara wajib memastikan bahwa kelompok rentan, termasuk pekerja migran, mendapatkan haknya secara proporsional. Ini mencakup perlindungan hukum dari eksploitasi dan diskriminasi,” ujar Affandi, Senin (25/11/2024).
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 telah memberikan landasan hukum untuk melindungi PMI, seperti kewajiban pemberian pelatihan pra-penempatan, pengawasan di negara tujuan, dan perlindungan hak-hak PMI.
Namun, banyaknya laporan terkait pelanggaran hak PMI menunjukkan bahwa implementasi di lapangan masih memerlukan perbaikan.
Teori fungsi hukum menurut Roscoe Pound yang menyebutkan bahwa hukum harus menjadi alat rekayasa sosial (“law as a tool of social engineering”) relevan dalam konteks ini. Hukum yang tidak mampu menjawab kebutuhan di lapangan perlu diperbarui agar tetap relevan dan efektif.
RUU perubahan ini diharapkan dapat mempertegas perlindungan bagi PMI di berbagai aspek, termasuk:
1. Pengetatan pengawasan terhadap perusahaan penempatan tenaga kerja.
2. Peningkatan akses PMI terhadap bantuan hukum di luar negeri.
3. Perumusan perjanjian bilateral yang lebih berpihak kepada pekerja migran.
“RUU ini harus mampu menjawab kebutuhan zaman, baik dari sisi regulasi domestik maupun penguatan hubungan internasional, terutama dengan negara-negara tujuan PMI,” tambah Affandi Affan yang juga merupakan Managing Partners di Serambi Law Firm.
Dalam konteks ini, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) telah memainkan peran penting melalui berbagai kebijakan proaktif. Langkah-langkah seperti pembentukan sistem layanan aduan PMI dan pelatihan pra-penempatan patut diapresiasi.
“Kementerian P2MI telah menunjukkan komitmen dalam memastikan PMI terlindungi di setiap tahap. Namun, perlindungan hukum harus terus diperkuat, khususnya untuk kasus-kasus pelanggaran yang melibatkan hukum internasional,” ungkap Affandi.
Dalam teori hukum internasional privat, masalah yang dihadapi PMI di negara lain sering kali melibatkan yurisdiksi hukum yang berbeda. Oleh karena itu, revisi UU ini juga harus memasukkan aspek diplomasi hukum sebagai solusi global.
“Diplomasi bilateral harus dimanfaatkan untuk memastikan bahwa negara tujuan PMI memiliki kebijakan yang sesuai dengan standar internasional dalam melindungi hak pekerja migran,” ujar Affandi.
RUU Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2017 diharapkan menjadi landasan yang lebih kuat untuk memberikan keadilan bagi PMI. Sebagai kelompok yang sering disebut pahlawan devisa, mereka layak mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kementerian P2MI, bersama legislatif dan pihak terkait, diharapkan dapat mempercepat penyelesaian revisi ini. “Revisi UU ini bukan hanya soal regulasi, tetapi wujud nyata dari kehadiran negara dalam melindungi rakyatnya,” tutup Affandi. (*)