KABARIKA.ID, MAKASSAR – Ada empat isu utama yang menjadi perhatian utama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan dalam menangani masalah lingkungan, yang disampaikan Slamet Riadi, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Walhi Sulsel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Empat hal tersebut, yaitu hilangnya ekosistem hutan, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memprihatinkan, ekosistem pesisir yang mengalami ancaman abrasi, dan kawasan Kars yang terancam pembangunan pembangkit listrik.
Karena kerusakan-kerusakan akibat empat hal itu, mengakibatkan kejadian bencana meningkat dari tahun ketahun. Slamet mengungkapkan fakta terkait kondisi ekologi di Sulsel. Dalam sepuluh tahun terakhir, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menampilkan bencana alam yang meningkat lima kali lipat.
Dari hanya 50 kejadian bencana pada 2015, angka tersebut melonjak menjadi 267 pada 2023. Sulsel menjadi provinsi kelima dengan angka kejadian bencana tertinggi, dengan total 1.345 bencana yang berdampak pada sekitar 135 juta jiwa.
“Dan itu, diakibatkan tentunya oleh empat hal teriat isu lingkungan du Sulsel. Seperti hilangnya hutan yang merupakan ekosistem penting. Antara tahun 2001 hingga 2022, sekitar 85.270 hektare hutan di Sulsel hilang, setara dengan 119.425 lapangan sepak bola. Saat ini, hanya tersisa 1.359.039 hektare hutan, yang berarti hanya 29,70% dari luas provinsi,” jelas Slamet.
Lalu, kondisi DAS di Sulsel sangat memprihatinkan. Dari 139 DAS yang ada, hanya 38 yang tergolong sehat, sementara 72,6% lainnya berada dalam kondisi kritis. “Sungai Jeneberang dan Tallo, misalnya, hanya memiliki masing-masing 16% dan 12% yang memenuhi standar kesehatan, jauh di bawah angka ideal 30%. Hal ini menjelaskan mengapa bencana sering terjadi setelah hujan deras,” lanjut Slamet
Kemudian ekosistem pesisir juga mengalami ancaman serupa. Dengan hilangnya habitat pesisir, karena abrasi yang diakibatkan penambangan pasir, yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat pesisir
“Terakhir, kawasan kars di Sulsel terancam oleh pembangunan PLTU yang merusak keseimbangan ekosistem. Hilirisasi yang dilakukan di dalam kawasan industri dapat mengurangi kondisi lingkungan,” sebut Slamet, Sabtu (30/11/2024) dalam sebuah kegiatan pelatihan jurnalistik.
Sayangnya pemerintah seolah tutup mata melihat penyebab dari sejumlah bencana alam yang terjadi di Sulsel, padahal pemerintah dalam hal inipemerintah daerah harusnya bisa melakukan upaya edukasi serta mitigasi sebelum bencana terjadi di wilayahnya.
Dan itu ditegaskan sebelumnya oleh Ilham Alimuddin, Kepala Pusat Studi Kebencanaan UNHAS. Menurutnya, saat ini, Pemda baru ramai membahas bencana setelah terjadi, dengan lakukan tanggap darurat.
“Padahal Investasi dengan mitigasi, agar ada kesiap-siagaan masyaraat saat bencana itu yang utama. Sehingga perlu ada kampanye terkait mitigasi,” tegas Ilham.
Parahnya lagi, pemerintah daerah, kabupaten dan kota belum punya dokumen kajian risiko bencana (KRB) yang menjadi amanah undang-undang. Karena dengan kajian risiko bencana, daerah punya upaya pencegahan dan edukasi. Pemda bisa punya sistem pencegahan dini, sehingga tidak memakan banyak kerusakan atau pun meminimalisir jatuhnya korban.
Dengan semangat berkolaborasi, Walhi Sulsel terus berupaya merangkai data, agar masyarakat lebih sadar akan pentingnya menjaga ekosistem demi masa depan yang lebih baik. “Kita harus bersama-sama mengatasi tantangan ini, agar Sulsel dapat menjadi provinsi yang lebih tahan bencana,” tutup Slamet. (*)