KABARIKA.ID, JAKARTA — Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Dengan kontribusi lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan serapan tenaga kerja hingga 97%, sektor ini memainkan peran strategis dalam mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Namun, sepanjang 2024, UMKM masih diselimuti berbagai tantangan struktural yang menghambat besarnya potensi sektor ini sebagai penggerak utama ekonomi nasional. Setidaknya terdapat tiga tantangan utama yaitu, pertama keterbatasan akses pembiayaan dan legalitas usaha. Kedua, keterbatasan adopsi digitalisasi. Ketiga, kontribusi UMKM terhadap ekspor Indonesia masih belum signifikan,” ujar Fahira Idris dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/12/2024).
Senator Jakarta yang juga pemerhati UMKM ini mengungkapkan, keterbatasan akses pembiayaan dan legalitas usaha, bisa dilihat dari kondisi di lapangan bahwa dari 65 juta UMKM di Indonesia, lebih dari setengahnya masih belum mampu mengakses layanan keuangan formal akibat kurangnya legalitas usaha.
Masalah ini memaksa banyak pelaku usaha mengandalkan rentenir dengan bunga tinggi, yang justru mengancam keberlangsungan usaha mereka.
Keterbatasan adopsi digitalisasi menjadi tantangan besar karena hanya sekitar 25% UMKM yang memiliki akses ke ekosistem digital yang memadai.
Sementara itu, kontribusi UMKM terhadap ekspor Indonesia hanya mencapai 15%, jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia (17,3%) dan Thailand (28,7%).
Hal ini dikarenakan kurangnya kapasitas produksi, kesulitan mengakses mitra internasional, dan rendahnya kualitas produk yang memenuhi standar ekspor.
Selain itu, secara spesifik para pegiat atau pelaku UMKM juga masih dibayangi tiga tantangan dan hambatan utama sepanjang 2024.
Pertama, menjaga keberlanjutan UMKM di era ekosistem digital. Banyak pelaku UMKM masih kesulitan beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen di pasar digital.
Kedua, ketidakmampuan mengelola kredit dan kurangnya riset pasar menyebabkan banyak UMKM mengalami kegagalan produk. Ketiga, persaingan dan Inovasi. Kurangnya pelatihan dan pendampingan bisnis membuat pelaku UMKM kesulitan menciptakan diferensiasi produk yang mampu bersaing.
Oleh karena itu, pada 2025, Fahira Idris berharap Pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait melakukan berbagai terobosan untuk meretas berbagai tantangan dan hambatan ini.
Salah satu yang perlu segera dikuatkan adalah memperluas skema pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Pembiayaan Ultra Mikro dengan mempermudah persyaratan administrasi. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan infrastruktur internet di daerah terpencil serta program literasi digital dengan melibatkan lebih banyak akademisi dan praktisi bisnis sebagai mentor.
Terobosan yang juga penting dikuatkan adalah mendorong kolaborasi antara UMKM dengan industri besar untuk memperkuat rantai pasok, pelatihan sertifikasi ekspor dan fasilitasi akses ke pasar internasional juga harus diprioritaskan.
“Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi, daya saing, dan inklusi keuangan bagi UMKM. Ini karena UMKM bukan hanya akan menjadi fondasi ekonomi nasional tetapi juga kunci menuju visi Indonesia Emas 2045,” pungkas Fahira Idris. (*)