KABARIKA.ID, JAKARTA–Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo bertemu dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Taruna Ikrar di Mabes Polri, Jumat (10/1/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pertemuan keduanya berlangsung penuh keakraban dan nostalgia masa awal berkarir sebagai polisi dan dokter.

Kapolri Jenderal Listyo dan Taruna makin sering bertemu saat terjadi pendemik covid 19 yang butuh penanganan serius dari berbagai pihak, terutama kedokteran dan keamanan.

Di hadapan Kapolri dan jajaran Kepolisian Taruna Ikrar menyampaikan bahwa salah satu tantangan adalah kejahatan maraknya peredaran makanan, minuman, obat, kosmetik ilegal serta kandungan bahan berbahaya yang beredar langsung atau melalui online.

“Alhamdulillah sebagai pimpinan tertinggi Kepolisian RI, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo
sangat mendukung BPOM yang tidak akan tebang pilih. Siapapun yang melanggar akan ditindaki secara hukum,” ujar Taruna Ikrar yang resmi menjabat Kepala BPOM RI pada 19 Agustus 2024.

Menurut Taruna Ikrar sejak Oktober hingga Desember 2024 tercatat 40,00% laporan daerah rawan kejahatan obat, makanan serta berkaitan dengan produk kosmetik dan 42,99% produk ilegal yang diterima dari aduan masyarakat.

“Badan POM melakukan pengawasan ketat terhadap keamanan, manfaat dan mutu obat dan makanan, termasuk kosmetik, dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat dan keadilan dalam berusaha,” beber Taruna.

Lanjut Taruna, Badan POM dibantu POLRI melalui Deputi IV telah memastikan bahwa pengawasan keamanan, manfaat serta mutu obat dan makanan, termasuk kosmetik ubtuk melindungi kesehatan masyarakat dan keadilan berbagai pihak dalam menjakankan usaha.

Taruna menambahkam Badan POM bersama Unit Pelaksana Teknis (UPT) melaksanakan intensifikasi pengawasan dan penindakan pada Oktober dan November tahun 2024 terhadap kegiatan produksi dan peredaran kosmetik ilegal dan/atau mengandung bahan berbahaya.

Berdasarkan hasil intensifikasi pengawasan dan penindakan, pelanggaran serta dugaan kejahatan dengan nilai kerugiaan ekonomi cukup signifikan terjadi di empat wilayah, yaitu provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Temuan dari keempat wilayah tersebut berjumlah 235 item atau 205.400 pieces produk kosmetik ilegal dan atau mengandung bahan berbahaya.

Total nilai keekonomiannya mencapai Rp. 8.910.348.000,- (delapan milar sembilan ratus sepuluh juta tiga ratus empat puluh delapan ribu rupiah).

Rincian nilai ekonomi temuan berdasarkan wilayah dari yang terbesar, yaitu mencapai lebih dari Rp4,59 miliar di Jawa Barat, Rp1,88 miliar di Jawa Timur, Rp1,43 miliar di Jawa Tengah, dan Rp1,01 miliar di Banten.

Sedangkan nilai keekonomian temuan berdasarkan jenis pelanggaran, senilai lebih dari Rp4,59 miliar adalah kosmetik mengandung bahan berbahaya dan Rp4,31 miliar berupa kosmetik ilegal.

Taruna menambahkan barang bukti yang dimusnahkan merupakan hasil operasi besar 2024 di Semarang dan Bandung dengan nilai ekonomi mencapai lebih dari Rp400 miliar.

Masih tahun 2024, kata Taruna tim gabungan BPOM serta Polri menggerebek tiga lokasi di Kawasan Industri Candi, menemukan lebih dari 1 miliar tablet, ratusan karung bahan baku, serta alat produksi senilai Rp317 miliar.

“Obat-obatan ilegal yang ditemukan mengandung bahan berbahaya seperti trihexyphenidyl, tramadol, dan dekstrometorfan, yang kerap disalahgunakan,” ungkapnya.

Di Bandung, operasi serupa dilakukan pada hari yang sama. Tim BPOM bersama Polda Metro Jaya berhasil mengungkap produksi ilegal obat keras dan obat bahan alam (OBA) di wilayah Marunda dan Cikarang.

“Intinya demi keselamatan rakyat indonesia pihaknya akan menindak secara tegas yang melawan hukum dan merugikan rakyat,” kata Alumni Kedokteran Universitas Hasanuddin ini.

Dampak serius dan langkah tegas terhadap peredaran obat-obatan ilegal seperti ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat.

“Penyalahgunaan obat keras dapat memicu kecanduan, kerusakan organ vital seperti hati dan ginjal, hingga berujung pada kematian,” terangnya.

Taruna menegaskan, temuan ini akan diproses secara hukum berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dengan ancaman pidana hingga 12 tahun penjara.