Site icon KABARIKA

Catatan Menyambut HPN ke-40 Tahun 2025 (1): Kilas Balik Penetapan Hari Pers Nasional

KABARIKA.ID, MAKASSAR — Bulan Februari memiliki makna istimewa bagi insan pers dan awak media di tanah air. Sebab, setiap 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN).

Peringatan HPN ke-40, 9 Februari 2025, akan dipusatkan di Provinsi Riau sebagai tuan rumah.

Ketua Umum PWI Pusat Zulmansyah Sekedang selaku penanggung jawab HPN 2025, pada akhir Januari 2025 lalu menyatakan bahwa seluruh tempat pelaksanaan acara, fasilitas akomodasi, dan transportasi lokal bagi seluruh peserta ataupun keseluruhan rangkaian acara HPN 2025, telah disiapkan dengan baik.

HPN ke-40 2025 mengangkat tema, “Pers Berintegritas Menuju Indonesia Emas”. Rangkaian agenda HPN 2025 berlangsung pada 6-9 Februari 2025.

Jejak Penerbitan Pers di Indonesia

Penetapan tanggal peringatan HPN di Indonesia tidak mengacu pada sejarah penerbitan pers di tanah air. Akan tetapi, mengacu pada lahirnya organisasi wartawan.

Menurut catatan sejarah, pada 1602 terbitlah surat kabar pertama di Indonesia (Hindia Belanda) pada zaman VOC.

Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, menerbitkan surat kabar pertama di Hindia Belanda bernama Mermorie der Nouvelles.

Surat kabar tersebut memuat kumpulan berita dari Belanda yang ditulis tangan dan dibagikan kepada pejabat VOC di nusantara.

Pada 1688 Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan alat cetak dari Belanda ke nusantara (Indonesia) untuk mencetak surat kabar Mermorie der Nouvelles.

Pada 7 Agustus 1744 surat kabar modern (cetak) pertama di Hindia Belanda, Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes yang sering disebut sebagai Bataviasche Nouvelles diterbitkan untuk pertama kalinya.

Bataviasche Nouvelles digagas oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu, Gustaaf Willem van Imhoff, dan memuat berita-berita dagang untuk pejabat VOC di Batavia.

Selanjutnya, pada masa pemerintah Inggris di Indonesia tahun 1812, terbitlah Java Government Gazette sebagai surat kabar berbahasa campuran pertama, yang diterbitkan pertama di Pulau Jawa.

Surat kabar ini terbit di bawah pengawasan Amos H. Hubbard.

Java Government Gazette memuat pengumuman-pengumuman penting, informasi nilai tukar mata uang, dan puisi-puisi berbahasa Inggris.

Sejarah Penetapan HPN

Gagasan awal mengenai HPN muncul pada Kongres ke-16 PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pada Desember 1978 di Padang, Sumatera Barat.

Salah satu keputusan kongres waktu itu adalah mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan tanggal 9 Februari yang merupakan tanggal lahir PWI, sebagai HPN.

Selanjutnya, dalam sidang ke-21 Dewan Pers di Bandung pada 19 Februari 1981, usulan penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN disetujui oleh Dewan Pers untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah.

Empat tahun kemudian usulan itu disahuti oleh pemerintah yang ditandai dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional, tanggal 23 Januari 1985.

Dalam konsiderans Keppres tersebut disebutkan bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan yang penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.

Keppres itu juga menyebutkan bahwa tanggal 9 Februari merupakan peristiwa bersejarah bagi kehidupan pers nasional Indonesia, karena pada tanggal tersebut
dalam tahun 1946 terbentuklah organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang merupakan pendukung dan kekuatan pers nasional.

Penetapkan 9 Februari sebagai HPN demi mengembangkan kehidupan pers nasional Indonesia sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila.

Berdasarkan Keppres Nomor 5 Tahun 1985 tersebut, HPN untuk pertama kalinya dilaksanakan pada 9 Februari 1985.

HPN pertama, 9 Februari 1985, dipusatkan di Surabaya, Jawa Timur, dengan tema, “Pers dan Pembangunan”.

HPN pertama dibuka oleh Presiden Soeharto. Dalam sambutannya, Presiden Soeharto mengatakan, “Tanggal 9 Februari kita jadikan sebagai Hari Pers Nasional, karena pada hari itu 39 tahun yang lalu terjadi peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi perjuangan bangsa kita, terutama bagi pertumbuhan dan pengabdian pers nasional kepada bangsa dan negara. Pada hari itu, hanya sekitar enam bulan setelah bangsa kita memproklamasikan kemerdekaan, PWI lahir.”

Presiden Soeharto sambil tersenyum menabuh gendang berkali-kali pada pembukaan rangkaian HPN ke-5 tahun 1990, Kamis (8/02/1990) yang dipusatkan di kota Ujungpandang. Turut menyaksikan, Gubernur Sulsel Prof Dr Achmad Amiruddin (kiri), Menteri Penerangan Harmoko (kanan), dan Ketua Umum PWI Pusat, Soegeng Widjaja (tengah, belakang). (Foto: kompaspedia)

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Soeharto juga menegaskan peran pers sebagai kekuatan bangsa.

“Wartawan Indonesia adalah kekuatan perjuangan yang bahu-membahu dengan kekuatan perjuangan lainnya, berjuang untuk mempertahankan Republik Proklamasi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Presiden Soeharto, ketika itu.

Pro Kontra Hari Pers Nasional

Penetapan HPN melalui Keppres Nomor 5 Tahun 1985 yang mengacu pada lahirnya organisasi PWI dan diperingati setiap 9 Februari, belum juga sepi kritikan dari berbagai organisasi pers.

Penetapan HPN yang mengacu pada hari lahir satu organisasi wartawan semata, yakni PWI, dipandang tidak mewadahi suara organisasi wartawan lain yang memiliki visi berbeda.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), misalnya, mempersoalkan relevansi penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN.

Alasan kritisnya adalah karena PWI merupakan satu-satunya organisasi pers yang diperbolehkan hidup selama Orde Baru berkuasa.

Pada era Orde Baru, PWI merupakan satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah, yang dikukuhkan melalui Peraturan Menteri Penerangan Nomor 2 Tahun 1984.

Menurut catatan sejarah, PWI bukanlah satu-satunya organisasi wartawan yang pernah ada di Indonesia.

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, pernah ada Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang berdiri pada 1914 di Surakarta.

Selain itu, ada pula Sarekat Journalists Asia yang lahir tahun 1925, Perkumpulan Kaoem Journalists pada 1931, dan Persatoean Djurnalis Indonesia yang dideklarasikan tahun 1940.

Setelah kemerdekaan, terbentuk PWI pada 9 Februari 1946.

Pada era Orde Baru, sejumlah wartawan yang menginginkan independensi pers dan wartawan dari unsur pemerintah, kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 1994.

Setelah era Orde Baru runtuh pada 1998, bermunculan pula organisasi pers baru, seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (ITJI).

Untuk mendiskusikan pro dan kontra penetapan HPN tersebut, AJI dan IJTI menggelar seminar khusus untuk mencari tanggal HPN pada 22 Juli 2010 dan 16 Februari 2017.

Narasumber yang dihadirkan adalah Asvi Warman Adam (sejarawan), Suryadi (peneliti Universiteit Leiden, Belanda), dan Taufik Rahzen (penulis buku Seratus Tahun Jejak Pers Indonesia).
.
Pada seminar tanggal 16 Februari 2017 yang bertema,  “Mengkaji Ulang Hari Pers Nasional” di Hall Dewan Pers, Jakarta, sempat muncul usulan penetapan Hari Jurnalis Indonesia di samping Hari Pers Nasional.

Hari Jurnalis Indonesia diusulkan diperingati sesuai tanggal meninggalnya tokoh pers Tirto Adhi Soerjo, pada 7 Desember.

Tirto dikenal karena surat kabar Medan Prijaji, Suluh Keadilan, serta Putri Hindia. (rus)

 

Exit mobile version