KABARIKA.ID, JAKARTA — Kelapa sawit, salah satu komoditas utama Indonesia, kini menghadapi tantangan yang lebih besar dari yang diperkirakan. Dalam sebuah studi terbaru, Peneliti Senior dari Neiker Institute, Enrique Ritter mengungkapkan bahwa stres biotik dan abiotik berpotensi mengancam keberlanjutan tanaman ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Dari kekeringan hingga serangan patogen, semua faktor ini saling mempengaruhi kelapa sawit berkelanjutan. Jika tidak ditangani, hasil panen kita bisa terancam,” ungkapnya dikutip pada Rabu (5/3/2025).

Penelitian menunjukkan bahwa stres abiotik, seperti toleransi kekeringan dan efisiensi penggunaan nitrogen dan fosfor, menjadi perhatian utama.

Namun, tak hanya itu, tekanan dari suhu ekstrem, banjir, dan keasaman tanah juga menjadi fokus yang krusial. Dengan menggunakan teknik molekuler, para peneliti berupaya untuk memahami variabilitas genotip dan ekspresi gen diferensial yang dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap stres ini.

Di sisi lain, stres biotik seperti patogen ganoderma, serta serangan dari fusarium vaskular wilt atau penyakit jamur yang menyerang pengangkut air pada tanaman dan kumbang tanduk, turut menambah kompleksitas tantangan yang harus dihadapi petani.

“Penting untuk melakukan survei penyakit dan studi keanekaragaman genetik patogen untuk mengembangkan pengujian deteksi yang lebih efektif,” jelas Ritter.

Dengan ancaman yang terus berkembang, akan masa depan pertanian masih ada secercah harapan berkat adanya inovasi teknologi.

Robot hutan dan drone kini sedang dikembangkan untuk membantu meningkatkan efisiensi dan otomatisasi dalam pengelolaan kebun sawit.

“Drone ini dilengkapi berbagai sensor yang dapat mengumpulkan data spesifik, serta menyemprotkan pupuk dan bahan kimia dengan tepat,” ungkap dia.

Dalam era di mana keberlanjutan dan efisiensi menjadi prioritas, para peneliti dan petani harus bersinergi untuk menghadapi tantangan ini. (*)