KABARIKA.ID, JAKARTA — Seiring perkembangan zaman, permasalahan perlindungan konsumen menjadi semakin beragam dan kompleks. Untuk itu, Komisi VI DPR RI berinisiatif merancang Undang-Undang Perlindungan Konsumen baru, untuk menggantikan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dinilai kurang relevan dengan permasalahan konsumen saat ini.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyelesaian sengketa yang tidak lagi adaptif, pengaturan terkait sanksi yang belum tegas, serta pengaturan-pengaturan lain yang dinilai signifikan dan penting akan menjadi fokus Komisi VI dalam revisi UU Perlindungan Konsumen.
Wakil Ketua Komisi VI Andi Muhammad Nurdin Halid mengatakan perlindungan konsumen dalam negeri harus menjadi prioritas, sejalan dengan upaya melindungi ekonomi nasional dari dampak gejolak global.

“Saat ini kita membahas tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini waktunya tepat ya, di tengah situasi ekonomi global yang tidak baik-baik saja akibat perang ke tarif atau kebijakan Donald Trump, tentu sangat berpengaruh terhadap ekonomi nasional kita,” ujarnya di Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Beberapa catatan penting disampaikan Nurdin terkait penguatan perlindungan konsumen. Pertama, perlunya kejelasan batasan konsumen yang menjadi target perlindungan, apakah hanya konsumen akhir atau juga konsumen antara. Hal ini penting untuk merumuskan regulasi yang tepat sasaran.
Kedua, Politisi Fraksi Partai Golkar ini mendukung penguatan kelembagaan Badan Perlindungan Konsumen (BPK). Kondisi BPK saat ini dinilai lemah karena hanya memiliki kewenangan memberikan rekomendasi tanpa adanya kekuatan eksekutorial. Oleh karena itu, BPK idealnya menjadi badan yang mandiri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
“Jangan seperti yang sekarang Badan Perlindungan (Konsumen) sekarang ini menurut saya (ibarat) ada dan tiada. Karena begitu banyak peristiwa yang terjadi yang dialami oleh konsumen kita tapi kemudian Badan Perlindungan Konsumen sekarang hanya punya kewajiban memberikan rekomendasi,” jelasnya.
Ketiga, koordinasi antarlembaga juga dinilai penting agar Badan Perlindungan Konsumen yang kuat dapat berfungsi secara efektif. Selain itu, mekanisme penyelesaian sengketa, pembuktian, dan sanksi bagi pelanggar hak konsumen perlu diatur lebih jelas. “Kalau badan ini kuat, memiliki kemandirian, maka di dalam hal penyelesaian sengketa itu akan lebih mudah dan tentu lebih bisa diletakkan di dalam sebuah keputusan,” lanjutnya.
Selain itu, ia juga mendorong perlunya pengaturan yang lebih rinci terkait perlindungan konsumen terhadap barang impor, terutama di tengah perang tarif global. Perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik atau e-commerce, termasuk perlindungan data pribadi, juga menjadi perhatian. Terakhir, peran pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen perlu diperjelas. (*)