KABARIKA.ID, JAKARTA–Langit Jakarta seakan terbelah pada Sabtu malam. Bukan karena petir, melainkan oleh gema takbir yang membahana dari Delapanpuluh ribu suporter Tim Nasional Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno(SUGBK).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Getarannya terasa hingga ke tulang sumsum, sesaat setelah peluit panjang menandai kemenangan heroik 1-0 Indonesia atas China.
Stadion yang tiketnya ludes hanya dalam waktu belasan menit setelah penjualan dibuka, berubah menjadi lautan merah putih yang bergelombang.

Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dinyanyikan dengan begitu menggelegar, lebih mirip pekik perang daripada sebuah seremoni. Sejak menit pertama, atmosfer di GBK sudah bukan lagi soal olahraga, melainkan soal harga diri sebuah bangsa.
Di seluruh penjuru negeri, dari kafe-kafe kecil dipelosok Sabang Aceh, di kota-kota besar seperti Makassar, Jakarta, bandung, Jayapura hingga pos ronda di pelosok desa di Marauke, semuanya kompak menyanyikan lagu kebabgsaan Indonesia Raya. Sekira 250 juta pasang mata terpaku pada layar.
Kemenangan ini bukan sekadar tiga poin. Banyak yang menyebutnya sebagai momen simbolik: Gatot Kaca modern telah merobohkan Tembok Besar China.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Ini jawaban kita! Kita tunjukkan siapa kita!” teriak seorangsuporter bernama Febrian Nurrohim dengan wajah yang basah oleh air mata haru dan keringat, suaranya parau, Kamis (5/6/2025).
Fenomena ini dengan cepat menjadi sorotan. Bertepatan sebagai malam takbiran Idul Adha 1446 H, Gemuruh takbir yang biasanya mengiringi perayaan hari besar keagamaan itu, kini menjadi soundtrack kemenangan sepak bola.
Hal ini memicu perdebatan sengit di media sosial. Sebagian menganggapnya sebagai ekspresi spiritualitas dan nasionalisme yang menyatu dengan indah, sementara sebagian lain mempertanyakan pencampuran sakral antara agama dan olahraga.
“Ini Gila, benar-benar Gila, Sepak bola benar-benar seperti agama di Indonesia,” Ucap Sandy Walsh saat bertemu pewarta.
Senada dengan pesepakbola Sandy, Suporter Jepang Kanji Kiyosi juga menyebutkan jika Sepakbola di Indonesia seperti kepercayaan diseluruh suporter. Tentunya sebutan agama disini bukan dalam konteks keyakinan kepada Tuhan. Namun bentuk fanatisme seseorang terhadap Timnas Sepakbola.
“Saya belum pernah melihat fanatisme yang menyatukan pekik ketuhanan dengan gol di lapangan seperti ini. Ini unik sekaligus mengkhawatirkan,” Ucap Kenji.
Pengamat sepakbola milenial Asia Teuku Riski Aldi di akun Facebooknya juga menyebut fenomena ini sebagai “Eskatologi Lapangan Hijau”.
Menurutnya, publik yang lelah dengan ketidakpastian politik dan ekonomi, memproyeksikan harapan dan identitas kolektif mereka ke dalam 11 pahlawan di lapangan.
“Timnas menjadi juru selamat. Kemenangan atas negara besar seperti China dianggap sebagai takdir, sebagai pertanda kebangkitan bangsa yang beribukota Nusantara.
Gema takbir itu adalah manisfestasi dari keyakinan tersebut. Ini lebih dari sekadar dukungan, ini sudah menjadi kredo,” jelas Kiki (sapaan akrabnya).
Terlepas dari kontroversinya, satu hal yang pasti: malam itu, sepak bola telah berhasil melakukan apa yang seringkali gagal dilakukan oleh politik—menyatukan Indonesia dalam satu suara, satu semangat, dan satu pekik kemenangan yang menggema hingga ke langit.
Pemersatu
Pengamat sepak bola milenial berdarah Aceh, yang sekaligus fans panatik timnas Garuda ini, seperti meyakinkan publik, bahwa Sepak Bola adalah pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari lebih 17.000 Pulau, 300 etnis dan 6 agama.
“Bagi kami, membela Timnas Indonesia itu sudah harga mati, dan seluruh pemain Timnas Indonesia akan kami jaga hingga tetesan darah penghabisan. Jadi jangan curangi dan sakiti dia, karena kami akan menemukanmu,” katanya tegas.