Oleh Rusman Madjulekka (Jurnalis Berdomisili di Jakarta).
KABARIKA.ID–SEBAGAI orang yang pernah bergabung, semula saya ikut sedih dan prihatin dengan konflik internal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Meski begitu, saya percaya konflik seperti ini juga ada di semua organisasi, bahkan di organisasi umat beragama sekalipun. Yang jadi masalah bukan organisasinya, tetapi orang-orangnya yang mengurus.
Konflik itu bermula ketika Hendry Hendry Ch Bangun terpilih sebagai Ketua Umum PWI melalui Kongres Bandung, 27 September 2023.
Namun kurang dari setahun, awal 2024, PWI dilanda konflik internal berkaitan dengan pengelolaan dana pendidikan dari Kementerian BUMN.
Konflik yang tak berkesudahan berbuntut Kongres Luar Biasa (KLB) di Jakarta, 18 Agustus 2024 dengan memilih Zulmansyah Sakedang secara aklamasi sebagai Ketua Umum.
Dibalik keprihatinan itu, setidaknya masih terselip rasa optimis. Saya menduga konflik ini tak berlangsung lama. Akan menemukan jalan menuju proses rekonsiliasi. Sebab akarnya bukan perpecahan ideologi seperti era BM Diah vs Rosihan Anwar, tapi menurut tokoh pers Dahlan Iskan, rebutan kursi layak piring pecah.
Dengan kata lain, ada gula ada semut. Banyak semut mesti berpotensi saling sikut. Itu seakan sudah jadi hukum alam. Terjadi dimana-mana.
Sebenarnya arti gula sejak dulu itu tidak hanya bermakna uang. Dan tak selalu uang jadi pemicu utama pertengkaran dunia. Tapi, gula bisa juga bermakna pengaruh sosial atau jabatan. Meskipun pengaruh itu hanya sebatas lingkungan untuk satu komunitas, sekelompok orang ataupun sekelompok yang satu profesi. Buktinya, saling sikut antar sesama terjadi juga di kalangan profesi dokter, advokat, dan lainnya.
Sebelum kursi dan piring “melayang” kemana-mana, Dewan Pers mengambil langkah sigap dengan cepat menyegel kantor pusat PWI di Jakarta dan mengosongkan kursi keanggotaannya.
Beberapa kali upaya rekonsiliasi dilakukan sejumlah tokoh pers kelas dewa melalui pendekatan personal tapi menemui jalan buntu. Belakangan ada jalan yang diinisiasi Dewan Pers sangat baik: “Kesepakatan Jakarta”. Isi naskah kesepakatan yang “mendamaikan” kedua kubu itu adalah digelarnya “Kongres Persatuan” PWI di Jakarta paling lambat 30 Agustus 2025. Termasuk sepakat menyelesaikan semua masalah yang berlarut di arena kongres tersebut.
Kesepakatan itu dicapai melalui negosiasi maraton di Jakarta, Jumat (16/5/2025) malam yang dilakukan Dahlan Dahi selaku anggota Dewan Pers. Negosiasi berlangsung sekitar empat jam. Dahlan duduk di tengah-tengah kedua Ketum PWI yang berkonflik, menjadi mediator. Negosiasi berlangsung sangat alot di beberapa poin, disertai debat panas. Namun, beberapa kali terdengar suara tawa yang keras.
Kedewasaan emosional dan keikhlasan kedua petinggi PWI itulah, menurut Dahlan, yang memuluskan proses negosiasi. Keduanya menepikan ego masing-masing dan ingin meninggalkan legacy yang baik kepada generasi muda PWI.
“Bang Hendry dan Bang Zul tegas dan konsisten dengan prinsip masing-masing. Tapi kebesaran jiwa dan rasa tanggung jawab yang tinggi untuk pers Indonesia, untuk PWI, menjadi titik temu. Keduanya juga bersahabat. Negosiasi dimulai dari sana,” kata Dahlan.
Hendry dan Zulmansyah menuangkan poin-poin kesepakatan dalam dokumen bermaterai yang diberi nama “Kesepakatan Jakarta”.
“Semua harus melihat ke depan dengan semangat persatuan, Ini semua untuk mengembalikan PWI yang sempat tertahan program kerjanya akibat perpecahan selama setahun,” kata Hendry.
PWI dengan anggota 30.000, tersebar di 39 provinsi, dan memiliki anggota bersertifikat sekitar 20.000 ingin terus berkontribusi bagi bangsa dan negara. Dan program peningkatan kompetensi dan kapasitas anggota dapat kembali berjalan baik.
“Ini hasil yang luar biasa dan merupakan sejarah untuk PWI. Semoga PWI kembali guyub dan bersatu sesuai namanya Persatuan Wartawan Indonesia, baik di PWI pusat maupun di daerah,” kata Zulmansyah.
Selanjutnya, untuk menyelenggarakan “Kongres Persatuan”, kedua kubu sepakat membentuk panitia bersama, terdiri tujuh orang steering committee (OC) yang terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris, dan empat orang anggota. Steering Committee (SC) juga dibentuk bersama.
Hendry dan Zulmansyah juga menyepakati poin paling penting, yakni calon ketua umum. “Seluruh anggota biasa PWI berhak mencalonkan diri menjadi calon Ketua Umum PWI. Bila terdapat hambatan pencalonan karena masalah administratif atau hal lain yang muncul karena konflik PWI, maka hambatan itu akan ditiadakan/dihapuskan melalui mekanisme yang memungkinkan dengan semangat ketulusan, keikhlasan, dan persaudaraan sesuai prinsip-prinsip deklarasi ini,” demikian tertuang dalam “Kesepakatan Jakarta”.
Setiap konflik memang butuh penengah. Seperti layanya pertandingan harus ada wasit. Rebutan apapun sepanjang itu ada disuatu tempat yang ada penguasanya harusnya gampang diselesaikan, kecuali penengahnya ikut bermain.
Siapa sosok ‘juru damai” itu yang juga berfungsi sebagai wasit yang netral. Kerjanya begitu cepat. Bahkan melebihi kereta cepat whoosh. Padahal ia baru dua hari dilantik jadi anggota Dewan Pers 2025-2028.
Saya mengenal Dahlan Dahi sejak mahasiswa. Putra kelahiran Wanci di Wakatobi, pulau di pelosok Sulawesi Tenggara. Ayahnya imam masjid di kampungnya. Dahlan menempuh pendidikan di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan. Semua saudaranya juga kuliah di Unhas.
Sekitar 33 tahun silam, kami sama-sama sebagai mahasiswa. Saya dan Dahlan satu angkatan tahun 1990 di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP). Hanya beda program studi. Dia politik saya komunikasi.
Sejak mahassiwa Dahlan aktif di koran kampus. Ia dikenal “pemberontak” keras. Ia akan melawan semua ketidakbenaran dan ketidakadilan yang terpapar di hadapannya. Tak peduli yang dilawannya sedang berkuasa. Tapi kali ini ia menjelma menjadi “penengah” yang kalem.
Kita menyaksikan bulan racun. Memang hanya hitungan bulan, racun itu segera berubah jadi “madu”. Tepatnya pada Agustus 2025 akan ada “Kongres Persatuan” yang mengakhiri sengketa dualisme kepengurusan PWI. *** (Rusman Madjulekka, jurnalis berdomisili di Jakarta).