Oleh: Nasrun Hamzah

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

(Alumni Fakultas Hukum UNHAS, Ketua Kelompok Diskusi Bulukunyi, periode 1985-1986)

KABARIKA.ID, MAKASSAR–Dekade 80an, ketika menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, ada rasa bangga bercampur bingung menjadi mahasiswa. Maklum, ini sebuah dunia baru dalam proses belajar.

Saya merupakan mahasiswa angkatan 1983. Kala itu, jumlah mahasiswa seangkatan saya kurang lebih 180 orang. Kami mengalami perpeloncoan, yakni sebuah tradisi penerimaan mahasiswa baru yang banyak menuai kritik. Sebab, banyak mengandung unsur kekerasan. Sehingga model perpeloncoan dari tahun ke tahun mengalami perubahan, dan akhirnya ditiadakan.

Saya memaknai mahasiswa sebagai kelompok muda yang idealis. Pikirannya selalu dipenuhi oleh berbagai hal yang ideal. Namun, di sisi lain, cara pandang seperti ini, kadang terasa naif. Bahkan juga mungkin berada di menara gading.

Idealisme yang berada di kepala mahasiswa itu, membuat dia kritis yang kemudian dilampiaskan dalam bentuk protes, merasa benar sendiri dan egois.

Mahasiswa itu, menurut hemat saya, punya beberapa tipe. Ada tipe yang hanya melulu belajar, ikut kuliah, dan tidak peduli pada situasi kampus, apa pun itu yang terjadi. Ada juga tipe mahasiswa yang rajin belajar, tapi gemar pula berdiskusi, membahas masalah-masalah yang timbul di kampus, maupun dinamika sosial, politik, hukum maupun kondisi aktual bangsa dan negara.

Sebagai mahasiswa baru, saya mulai dapat memahami jati diri saya sebagai mahasiswa setelah bertemu beberapa senior. Mereka, para senior itu, yang memantik pemikiran saya hingga saya mulai bisa memaknai eksistensi saya sebagai mahasiswa.

Saya bisa menyebut beberapa nama di antaranya, yakni Kak Sophian Kasim, Kak SM Noor, Kak Wahab Suneth, Kak Haris Latanro (alm), Kak Kasman Abdullah, serta senior-senior lain, yang saya tidak sebut dalam tulisan ini. Mereka ini semuanya aktif di Koswantara, akronim dari Kelompok Studi Wawasan Nusantara Unhas.

Koswantara pada masa itu merupakan kelompok studi yang terbilang kritis menyuarakan idealisme mereka. Koswantara mengajarkan tentang bagaimana mahasiwa berperan dalam memajukan peradaban, dan menegaskan eksistensinya sebagai mahasiswa.

Koswantara-lah yang memperkenalkan kepada saya, seperti apa itu pengorganisasian untuk membentuk kelompok kritis.Atas interaksi dengan senior-senior Koswantara, saya dan teman-teman lalu ikut LOI (Latihan Orientasi Ilmiah) yang dilaksanakan di Kabupaten Enrekang.

Saya, M Nuralfatah, Hidayat Surya Saleh dan beberapa teman lainnya mengikuti pelatihan ini. Harus saya akui, bekal dari pelatihan ini membuat kami lantas keranjingan berdiskusi dengan tema apa saja.

Teman-teman seangkatan yang sering belajar bersama sebut, antara lain, Guntur Hamzah (sekarang Hakim Mahkamah Konstitusi), Idris Faizal Kadir (alm), Kifliansyah Elgontori (alm), Andi Tadampali (lebih populer dengan nama Andi Mangara), Andi Pola, Srie Dewi, Yenni Saleh, dan Jamhur (saat ini menetap di Jakarta, dan berkarier sebagai konsultan tambang).

Masih ada lagi nama-nama lain, seperti Alfatah, Haris Datjing, Kalli, Darma, Oyo Mokalu, Yayat, Hamsir, Setia Darma, Waty Russeng dan lain-lain. Kami semua sering berkumpul di Mess Kejaksaan yang terletak di Jakan Bulukunyi. Mess ini tempat sahabat kami, Kalli tinggal.

Dari sering berkumpul dan belajar di malam hari, akhirnya muncul keinginan untuk membentuk kelompok belajar. Sempat muncul dinamika di antara kami: pro dan kontra.

Mengapa mesti membentuk kelompok belajar, dan seperti apa bentuknya. Namun setelah melewati berbagai diskusi, teman-teman yang sering belajar di Mess Kejaksaan, kemudian sepakat membentuk kelompok belajar. Hanya saja, bukan sekadar belajar, melainkan berdiksi.

Makanya kami menamakan kelompok itu dengan nama KDB, kepanjangan dari Kelompok Diskusi Bulukunyi. Sesuai tempat mangkal kami, di Jalan Bulukunyi.

Mengapa kelompok diskusi? Ya karena diskusi memiliki makna yang lebih luas. Melalui kelompok diskusi itu, kami bertemu, bertukar pikiran, membahas suatu masalah dari sudut pandang kami masing-masing.

Menurut kesepakatan kami, kala itu, bahwa sebagai anak hukum, kami boleh berdiskusi dan mendiskusikan apa saja. Malah lebih bagus mencoba menelaah semua persoalan, dengan begitu wawasan bertambah, kemampuan analisis terasah.

Mengapa KDB Unhas, bukan hukum? Itu karena kami semua sepakat bahwa KDB akan menjadi tempat berkumpul semua mahasiswa Unhas. Di KDB kami berkumpul, berdiskusi, beradu argumentasi dan gagasan untuk melahirkan ide-ide besar. KDB menjadi “Rumah Diskusi” bagi kami.

Kini, setelah empat dekade, saya mencoba mengenang kembali tempat itu, masa-masa itu. Bulukunyi memiliki makna kesejarahan bahwa ada segelintir mahasiswa yang sering berkumpul dan berdiskusi tentang apa saja di sana. (*)

Makassar, 14 Mei 2025