Site icon KABARIKA

Nasib PT Gudang Garam Terancam: Laba Merosot dan Saham Anjlok, Apa Penyebabnya?

KABARIKA.ID, JAKARTA – PT Gudang Garam, salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia, kini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Laba yang terus menurun, penurunan drastis harga saham, serta tekanan regulasi membuat perusahaan ini berada di ambang krisis finansial.

Padahal, Indonesia tercatat sebagai negara dengan prevalensi perokok pria tertinggi di dunia — mencapai 73,2 persen menurut data WHO. Namun, hal ini tidak serta-merta menjadi keuntungan bagi Gudang Garam. Alih-alih berkembang, perusahaan justru menghadapi situasi yang membuat masa depannya tidak pasti.

Laba Turun 90 Persen dalam 5 Tahun

Laporan keuangan menunjukkan penurunan tajam dalam kinerja bisnis Gudang Garam. Jika pada 2019 laba bersih perusahaan mencapai Rp10,8 triliun, maka pada 2024 diperkirakan hanya sekitar Rp981 miliar. Ini berarti terjadi penurunan lebih dari 90 persen dalam lima tahun terakhir.

Kondisi ini turut memengaruhi harga saham perusahaan yang anjlok signifikan. Dari semula diperdagangkan di atas Rp90.000 per lembar, kini saham Gudang Garam hanya bernilai sekitar Rp9.600, menggambarkan kepercayaan pasar yang semakin luntur.

Strategi Bertahan: Setop Pembelian Tembakau

Dalam menghadapi tekanan tersebut, Gudang Garam menghentikan sementara pembelian tembakau dari sejumlah sentra produksi seperti Temanggung. Perusahaan menyatakan bahwa stok tembakau saat ini masih cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi selama empat tahun. Namun langkah ini juga memunculkan spekulasi bahwa perusahaan tengah melakukan efisiensi besar-besaran akibat tekanan pasar.

Harga Rokok Naik, Rokok Ilegal Marak

Kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok sejak Januari 2025 yang ditetapkan pemerintah turut memperburuk keadaan. Dampaknya, konsumen mulai beralih ke rokok ilegal yang dijual tanpa cukai.

Sebagai gambaran, Bea Cukai wilayah Jawa Tengah dan DIY mencatat penyitaan lebih dari 61 juta batang rokok ilegal hanya dalam lima bulan pertama tahun ini. Fenomena ini memukul industri resmi, termasuk Gudang Garam, meskipun penerimaan negara dari cukai tetap tinggi — mencapai Rp226 triliun pada 2022, melebihi laba seluruh BUMN gabungan.

Ekspor Melemah, Inovasi Tertinggal

Di sisi lain, kinerja ekspor Gudang Garam juga mengalami penurunan sebesar 12,1 persen. Sementara itu, para pesaing mulai mengalihkan fokus ke produk rokok elektrik atau vape yang lebih sesuai dengan tren konsumen modern. Sayangnya, Gudang Garam terlihat belum siap mengadopsi perubahan tersebut, membuat perusahaan tampak tertinggal dalam inovasi produk.

Dengan tekanan dari berbagai sisi — baik domestik maupun internasional — Gudang Garam bagaikan kapal besar yang kehilangan arah di tengah badai industri.

Tantangan Transformasi dan Inovasi

Apabila tidak segera melakukan transformasi menyeluruh dan strategi adaptasi yang tepat, Gudang Garam berpotensi bernasib sama seperti sejumlah perusahaan besar lain yang tumbang karena gagal berinovasi.

Kondisi ini menjadi peringatan bahwa kesuksesan masa lalu tidak menjamin keberlangsungan bisnis di masa depan. Untuk tetap relevan,

Gudang Garam perlu merancang ulang strategi bisnisnya, terutama dalam mengembangkan produk alternatif dan menyesuaikan diri dengan preferensi konsumen masa kini.

Kesimpulan: Nasib Gudang Garam di Ujung Tanduk

PT Gudang Garam kini berada di persimpangan krusial. Ketika tekanan regulasi, persaingan industri, dan perubahan perilaku konsumen semakin tajam, perusahaan ini harus mengambil langkah strategis — bukan hanya untuk bertahan, tapi juga untuk tetap kompetitif di masa depan.

Tanpa langkah inovatif dan manuver yang berani, masa depan perusahaan legendaris ini bisa saja tinggal cerita.

Transformasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan Gudang Garam tetap menjadi pemain utama di industri tembakau nasional.

Exit mobile version