KABARIKA.ID, DENPASAR — Menjaga kelestarian alam dan keselamatan bumi merupakan tanggung jawab manusia secara global, tanpa membedakan latar belakang sosial, budaya, dan keyakinan. Pendekatan bahasa agama diyakini dapat menyatukan langkah untuk tujuan mulia tersebut.
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menekankan pentingnya diplomasi dan penggunaan bahasa agama dalam mendorong pelestarian lingkungan secara global.
Hal itu dikemukakan Menag Nasaruddin saat menjadi pembicara pada acara Bali Interfaith Movement di Denpasar, Bali, Sabtu (14/12/2024).
Menag mengatakan, pendekatan berbasis agama dapat menembus sekat-sekat perbedaan keyakinan demi tujuan bersama.
“Jika kita ingin memperbaiki lingkungan, kita harus menggunakan bahasa agama. Diplomasi agama adalah salah satu cara yang kami dorong agar pelestarian lingkungan menjadi agenda bersama lintas keyakinan,” ujar Menag Nasaruddin.
Ia mencontohkan penerapan diplomasi agama di Masjid Istiqlal, Jakarta, yang secara rutin menerima kunjungan 40 duta besar dari berbagai negara setiap tahun.
Dalam kunjungan tersebut, lanjut Menag Nasaruddin, Masjid Istiqlal berbagi pengalaman mengenai pengelolaan isu lintas agama melalui pendekatan religius.
“Kami mencoba mempromosikan apa yang disebut sebagai diplomasi agama. Bahasa agama mampu menembus batas keyakinan, karena bagi kami, kemanusiaan itu satu. Tidak ada yang lain,” tandas Menag Nasaruddin.
Ia mengungkapkan, diplomasi formal sering kali terbatas oleh protokol dan kepentingan politik. Sebaliknya, pendekatan berbasis agama lebih inklusif dan mampu menyentuh nilai-nilai universal, seperti kemanusiaan dan tanggung jawab moral terhadap lingkungan.
Peran Teologi Hijau
Dalam kesempatan tersebut, Nasaruddin juga memperkenalkan konsep green theology atau eco-theology (teologi hijau), yaitu pendekatan teologis yang menghubungkan nilai-nilai agama dengan pelestarian lingkungan.
Ia menegaskan bahwa peran agama tidak hanya terbatas pada ritual ibadah, tetapi juga dapat menginspirasi aksi nyata untuk menjaga bumi sebagai amanah ilahi.
“Segala sesuatu harus kembali ke teologi. Kami memperkenalkan green theology sebagai cara untuk menjawab tantangan lingkungan yang semakin kritis,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa narasi spiritual (mythos) memiliki peran penting dalam membahas isu-isu lingkungan seperti polusi dan kerusakan sosial.
Menurut Nasaruddin, pendekatan yang mengedepankan rasa hormat terhadap tradisi agama lain dapat membangun solidaritas yang kuat, terutama dalam menghadapi isu global, seperti krisis lingkungan.
Oleh karena itu, Nasaruddin mengajak pemerintah, organisasi keagamaan, dan masyarakat umum untuk berperan aktif dalam mempromosikan teologi hijau alias green theology.
Ia meyakini, pendekatan ini mampu menyatukan umat manusia demi masa depan bumi yang lebih baik.
“Jika kita bekerja dengan hati, tidak ada yang membedakan kita. Semua agama pasti mendukung kebaikan, termasuk menjaga lingkungan,” tegas Menag Nasaruddin. (*/mr)