KABARIKA.ID, MAKASSAR — Kehadiran pers di Indonesia sudah dimulai sejak masa kolonial Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada pertengahan abad ke-18, Belanda menguasai penerbitan pers. Surat kabar yang beredar berbahasa Belanda dan lebih digunakan untuk kepentingan perdagangan dan misionaris, seperti Batavia Nouvelles (1744-1746), Bataviasche Courant (1817), dan Bataviasche Advertentieblad (1827).
Ketika Inggris menguasai wilayah Hindia Timur pada 1811, terbit surat kabar berbahasa Inggris, yakni Java Government Gazzete pada 1812.
Bataviasche Courant kemudian diganti menjadi Javasche Courant yang terbit tiga kali seminggu pada 1829. Koran itu memuat pengumuman-pengumuman resmi, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah.
Kemudian pada 1851, surat kabar De Locomotief terbit di Semarang. Surat kabar ini memiliki semangat kritis terhadap pemerintahan kolonial dan punya pengaruh yang cukup besar.
Memasuki abad ke-19, untuk menandingi surat kabar-surat kabar berbahasa Belanda, muncullah surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa meskipun para redakturnya masih orang-orang Belanda.
Misalnya, Bintang Timoer (Surabaya, 1850), Bromartani (Surakarta, 1855), Bianglala (Batavia, 1867), dan Berita Betawie (Batavia, 1874).
Ketika Jepang berhasil menaklukkan Belanda dan akhirnya menduduki Indonesia pada 1942, kebijakan pers turut berubah.
Semua penerbit yang berasal dari Belanda dan China dilarang beroperasi. Sebagai gantinya penguasa militer Jepang lalu menerbitkan sejumlah surat kabar sendiri.
Saat itu terdapat lima surat kabar berbahasa Jepang, yaitu Jawa Shinbun yang terbit di Jawa, Boernoe Shinbun di Kalimantan, Celebes Shinbun di Sulawesi, Sumatra Shinbun di Sumatra, dan Ceram Shinbun di Seram.
Memasuki abad ke-20, kontrol Belanda terhadap pers masih berlangsung. Tahun 1906, surat kabar yang akan diterbitkan, sebelumnya harus diserahkan kepada pemerintah untuk disetujui sebelum dicetak.
Kebijakan yang mengekang tersebut memunculkan perlawanan di masyarakat. Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo merupakan salah satu tokoh masyarakat yang aktif dalam menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda.
Melalui pers, RM Tirto mengkritik berbagai kebijakan pemerintah, termasuk tentang pengekangan pers.
Tahun 1907, ia mendirikan surat kabar Medan Prijaji, surat kabar berbahasa Melayu pertama yang kepemilikan dan pengelolaan sepenuhnya oleh kaum pribumi (sebutan untuk penduduk selain kelompok penjajah Belanda).
Lima tahun kemudian (1912) Medan Prijaji berhenti terbit, dan pengekangan terhadap pers masih tetap berlangsung.
Berkat jasanya, Tirto Adhi Soerjo ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional (1973) dan mendapat gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana, pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2006.
Pada 1918, pemerintah mengeluarkan pasal-pasal yang berisi ancaman hukuman untuk siapapun yang menyebar kebencian atau hinaan kepada pemerintah Hindia Belanda.
Kemudian 1931, pemerintah kolonial mengeluarkan Persbreidel Ordonantie, yaitu sebuah aturan yang memberikan hak kepada gubernur untuk melarang penerbitan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.
Peraturan terus digunakan hingga masa kemerdekaan dan diganti secara formal pada 1954.
Sebelum dan setelah Proklamasi Kemerdekaan seiring dengan munculnya kekuatan-kekuatan politik dari golongan nasionalis, lahirlah pers milik pemerintah sebagai salah satu tonggak sejarah pers Indoensia.
Yakni, LKBN Antara berdiri pada 13 Desember 1937, kemudian RRI lahir pada 11 september 1945, dan TVRI sebagai stasiun televisi pemerintah, berdiri pada 24 Agustus 1962.
Antara September hingga akhir 1945, beberapa penerbitan pers nasional lahir, seperti Soeara Merdeka di Bandung, Berita Indonesia di Jakarta, serta beberapa surat kabar lain, yaitu Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. (rus)