KABARIKA.ID, MAKASSAR — Menjelang Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari setiap tahunnya, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memberikan Anugerah Jurnalistik Adinegoro untuk karya jurnalistik berkualitas.
Para nominator Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2024 telah diumumkan oleh PWI dalam rangka HPN 2025, pada Selasa (4/2/2025) di Auditorium M. Jusuf Ronodipuro RRI Jakarta.
Penghargaan ini merupakan penghargaan tertinggi di dunia jurnalistik Indonesia.
Anugerah Jurnalistik Adinegoro bertujuan untuk mendorong para jurnalis menghasilkan karya yang berkualitas tinggi, khususnya di tengah tantangan era digital dan persaingan dengan media sosial.
Namun, tahukah Anda siapa Adinegoro yang namanya diabadikan dalam Anugerah Jurnalistik Adinegoro?
Profil Pelopor Pers Indonesia, Adinegoro
Djamaluddin Adinegoro adalah pionir jurnalistik di Indonesia. Persentuhannya dengan dunia jurnalisme bermula ketika ia belajar ke Jerman pada dekade 1920-an.
Saat Adinegoro tiba di Jerman, kondisi negara itu sedang berada dalam keadaan sulit, karena sedang dilanda inflasi parah.
Pada sisi lain, di kota Muenchen Adolf Hitler sedang tertungkus-lumus merintis embrio Partai Nazi Jerman sebagai jejaring politik dan militernya.
Kekalahan Jerman dari Sekutu pada Perang Dunia I yang berakhir tahun 1919, menjadi alasan untuk balas dendam.
Adinegoro mengikuti dengan seksama pelbagai gejala politik yang terjadi di Jerman dan Eropa semasa dia melanjutkan studinya di Jerman.
Pada kurun waktu 1926-1930, Adinegoro menuntut ilmu di sekolah tinggi di Berlin, Muenchen, dan Wurzburg.
Di Jerman, Adinegoro mendalami Ilmu Jurnalistik, Geografi, Kartografi, dan Geopolitik.
Selain itu, dia juga mendapat mandat sambilan sebagai wartawan freelance untuk surat kabar Pewarta Deli.
Dari Jerman, Adinegoro melanjutkan petualangan intelektualnya ke Belanda untuk studi di bidang Ilmu Sastra dan Jurnalistik.
Saat ia kembali ke Tanah Air, Adinegoro didaulat menjadi pemimpin surat kabar Pandji Pustaka pada pertengahan 1931. Namun jabatan itu hanya diembannya selama enam bulan.
Setelah menyelesaikan buku Melawat ke Barat, Adinegoro dipercaya mengelola Pewarta Deli di Medan sejak 1932 hingga 1942.
Melalui rubrik “Pemandangan Loear Negeri”, Adinegoro meneroka secara lugas perkembangan situasi global.
Tatkala Partai Nazi mulai mencaplok negeri-negeri tetangganya, Fasis Italia berperang di Abyssinia, Fasis Jepang menghantam Tiongkok, Perang Dunia II sudah memunculkan tanda-tanda letupan, semua itu disorot oleh Adinegoro.
Ini kutipan tulisan Adinegoro ihwal aksi Gerakan anti-Yahudi Hitler yang dimuat Pewarta Deli, edisi 26 Agustus 1932:
“Party National Socialisten telah menoedoeh dan mempersalahkan bangsa Jahoedi tentang sebab-sebab kesoekaran jang terdjadi diwaktoe ini. Soerat kabar Der Angriff, kepoenjaan kaoem Nazi telah memoeatkan kritik jang hebat….., dimana diterangkan, bahwa pers kepoenjaan kaoem Jahoedi dipersalahkan telah menghasoet, soepaja terdjadi peperangan politiek serta mempengaroehi pemerintah”.
Sebenarnya, Adinegoro bukanlah nama asli. Dia bukan orang Jawa. Datuk Madjo Sutan adalah gelar adatnya sebagai putera Sumatera, sedangkan nama aslinya Djamaludin.
Ia lahir di Talawi, Sumatra Barat, pada 14 Agustus 1904.
Djamaluddin Adinegoro bersaudara dengan Muhammad Yamin, namun lain ibu.
Ayah Adinegoro adalah seorang demang bernama Usman dengan gelar Baginda Chatib dan ibunya Bernama Sadarijah, sedangkan ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah.
Ada alasan tertentu mengapa Djamaludin menambahkan Adinegoro pada namanya.
Sebagai anak demang, dia berhak bersekolah di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), yaitu sekolah dokter bumiputra.
Siswa STOVIA tidak diperbolehkan menulis, padahal saat itu Djamal sudah membantu keredaksian Tjaja Hindia, surat kabarnya Datuk Temenggung.
Bosnya inilah yang menyarankan agar Djamaludin menambahkan nama samaran berbau Jawa, yang tujuannya selain supaya tidak diketahui pihak sekolah, juga agar cepat masyhur.
Sebelum di STOVIA, Djamaludin Adinegoro bersekolah di Europese Lagere School (ELS) di Fort de Kock atau Bukittinggi, hingga 1916.
Adinegoro tidak sempat menjadi dokter. Sekolahnya terhenti karena dia lebih keranjingan dengan jagat jurnalistik.
Adinegoro memulai karier di majalah Tjaja Hindia, sebagai pembantu tetap sejak 1922 ketika usianya 18 tahun.
Selanjutnya antara 1926-1932, Adinegoro bergelut Bersama Bintang Timoer, Pandji Pustaka, serta Pewarta Deli.
Dia memimpin Pewarta Deli sejak usia 28 tahun hingga tahun 1942, tatkala Jepang datang dan berkuasa di Indonesia.
Di masa pendudukan Jepang, Adinegoro mengepalai penerbitan Sumatora Shimbun selama dua tahun di Medan.
Selanjutnya, di zaman revolusi, Adinegoro menerbitkan Kedaulatan Rakyat di Bukittinggi.
Setelah Belanda melancarkan aksi militer pertama pada 21 Juli 1947, Adinegoro mengungsi ke Jakarta, lalu bergabung dengan Soepomo, Mohammad Noor, Soekardjo Wirjopranoto, dan Jusuf Wibisono untuk mendirikan majalah berasaskan Republikein, yakni Mimbar Indonesia.
Kemudian, dia memimpin Pers Bureau Indonesia tahun 1951. Terakhir, dia bekerja di Kantor Berita Nasional Antara sebagai kepala bidang penelitian. Adinegoro mengabdi di Antara hingga akhir hayatnya.
Adinegoro wafat pada 8 Januari 1967 di Jakarta.
Adinegoro adalah seorang pejuang pers nan idealis. Tahun 1958 tatkala mengenang sekilas perjuangan nasional, Adinegoro menuturkan:
“Pers jang sehat hanja akan dapat subur tumbuhnja dan terjamin perkembangannja menurut sewajarnja dalam suasana jang bebas dan tidak terbatas. Kalau fakta tidak boleh lagi diberitakan setjara jang sebenarnja, objektif, actual, tak dicampuradukkan dengan opini, kalau sudah dilarang pula critiek jang zakelijk, kritik jang konstruktif, jang bukan berupa fitnahan atau penghinaan dan pengacauan, suara bebas tak dapat dilancarkan lagi oleh pers, maka kehidupan pers itu tak ada djaminan lagi akan mendjadi sehat dan zelf-critiek akan laju dan mati dalam dada manusia Indonesia”.
Pada 1974, Adinegoro dianugerahi gelar Perintis Pers Indonesia. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai badan tertinggi insan pers nasional, menyediakan tanda penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik terbaik setiap tahunnya, yaitu Hadiah Adinegoro. (rus)