KABARIKA.ID, MANADO-IA seorang dosen. Dan juga apoteker. Perempuan. Meniti karir dari bawah. Di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Sulawesi Utara. Puncaknya, ia berhak menyandang gelar Guru Besar atau Profesor di kampus yang mengambil nama pahlawan nasional tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namanya Fatimawali. Lengkapnya Prof. Dr. Apt. Fatimawali, M.Si. Tidak pake Kandou, Rompas, Inkiriwang, atau marga lain seperti lazimnya orang Kawanua?
“Saya orang 3 M,” ujarnya singkat, tersenyum.Maksudnya orang Makassar Merantau ke Manado.
Dalam soal karir, Fatimawali – begitu ia akrab disapa – bisa dibilang komplit. Jika tidak mau dikatakan dirinya paripurna. Dalam statusnya PNS misalnya, ia sudah mencapai tingkatan atau level kepangkatan tertinggi sebagai abdi negara yang dilakoninya sejak 1986.
Lalu sebagai insan akademis, ia juga telah menapaki jenjang tertinggi sebagai maha guru amat terpelajar yang kadar intelektualnya tak diragukan lagi. Pengukuhan gelar guru besar-nya dari Fakultas Kedokteran Unsrat tahun 2015.
Beruntung dengan bantuan fasilitas teknologi yang kian canggih, memungkinkan saya terkoneksi dan berkomunikasi layaknya pertemuan tatap muka dengan adik ipar legenda sepakbola Makassar, Syamsuddin Umar ini. Jarak bukan lagi kendala. Dan tentunya atas inisiasi kakak iparnya yang baik hati.
——-
JANGANLAH melihat orang hanya saat suksesnya. Tapi lihat juga perjuangannya ketika menapaki anak tangga menuju sukses itu. Jatuh bangun. Kelok jalan terjal. Pahit getir kehidupan yang mewarnai langkahnya. Begitu kalimat yang bisa saya katakan. Saat menulis kisah sosok perempuan tangguh dari kampung yang genap berusia 61 tahun pada 17 November 2023 nanti.
Fatimawali terlahir dari keluarga sederhana di pelosok kampung. Di perbatasan antara kabupaten Gowa dan Takalar, Sulawesi Selatan. Namanya: kampung Pattarungang. Sektar 3 kilometer dari desa Limbung, kecamatan Bajeng, Gowa. Kalau naik kendaran dari kota Makassar, melalui jalur trans Sulawesi arah Selatan dengan jarak kurang lebih 25 km.
Ia anak kedua dari tujuh bersaudara. Orang tuanya bersuku Makassar. Ayahnya H. Faharuddin Daeng Mone, seorang tukang jahit dan menjual kain. Ibunya Masurung Daeng Badji (alm) seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari membantu suaminya.
Berawal kisah pada masa itu, tahun 1968. Fatimawali masih kelas 1 SD. Umurnya 6 tahun. Masih jelas teringat dalam memorinya, peristiwa perampokan yang menimpa keluarganya. Kejadiannya malam hari. Persisnya lewat tengah malam.
Dor….dor…! suara tembakan misterius memecah keheningan kampung. Suara kokang senjata terdengar nyaring. Mengejutkan warga yang terlelap.
Di malam naas itu, Fatimawali menceritakan, perampok menggasak barang berharga milik orang tuanya. Ludes. Termasuk mesin jahit dan sejumlah kain yang selama ini menjadi penggerak utama ekonomi keluarganya. Syukurnya, tak ada korban jiwa.
Seiring putaran waktu, orang tuanya pun ikhlas menerima musibah itu. Dan perlahan mulai melupakannya. Tapi tidak bagi Fatimawali. Peristiwanya sangat membekas dan berdampak trauma bagi dirinya.
Pasca kejadian itu, kondisi ekonomi keluarganya terpuruk. Tak ada penghasilan. Ayahnya memutuskan menjual rumahnya. Laku. Hasilnya dibelikan rumah di Limbung, tak jauh dari Sungguminasa, ibukota kabupaten Gowa. Fatimawali dan kakaknya ikut pindah. Dan selebihnya dibelikan mesin jahit dan bahan kain supaya ayahnya bisa kembali memutar roda ekonomi keluarga. Mulai dari nol lagi.
Tuhan sudah mengatur. Itu sudah jalanNya. Semacam blessing in disguise.
“Kalau tidak ada musibah perampokan itu mungkin kami masih tetap di kampung dan bisa jadi sekolah saya hanya sampai tamat SD saja,” bisiknya dalam hati. Dan akhirnya ia bisa berdamai dengan masa lalu.
—————–
Tamat SD, ia lanjut SMP Filial. Masih di Limbung. Meski desa, tapi sarana pedidikan di sini lebih memadai. Pada masa itu, Fatimawali berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Tiap hari. Sejak kecil ia sudah merasakan tempaan dan didikan hidup mandiri. Tidak dimanja. Segala sesuatu dikerjakan sendiri. Keadaan masa itu membuat dirinya tumbuh lebih cepat ketimbang usianya.
Selesai pendidikan di SMP, sempat tebersit niatnya tidak mau sekolah lagi. Ingin membantu dan meringankan beban ayahnya. Terbayang biaya yang mesti dipikul orang tuanya bila lanjut SMA. Tapi keinginannya ditolak sang ayah. Alasannya masih sanggup membiayai uang sekolahnya. Meski harus rela menjual sepeda miliknya.
“Kamu tetap lanjut sekolah.Tugasmu belajar saja. Soal biaya biar jadi urusan bapak,” kata ayahnya, seperti ditirukan Fatimawali.
Situasinya sulit dan dilematis masa itu. Antara lanjut sekolah dan memikirkan biaya. Bentuk komprominya, Fatimawali memutuskan mencari sekolah yang bisa langsung kerja. Pilihannya: Sekolah Menengah Farmasi (SMF). Di Jalan Baji Gau kecamatan Mamajang. Lokasinya hanya selemparan batu dari kampus APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) Makassar. Belakangan berubah nama menjadi IPDN.
Melepas anaknya melanjutkan pendidikan ke kota Makassar, membuat rasa bahagia tersendiri bagi orang tuanya. Tapi disisi lain, juga membuat perasaan mereka jadi cemas dan was-was. Apalagi anak perempuan.
Ayahnya Dang Mone kemudian menitipkan Fatimawali ke rumah seorang warga yang masih ada hubungan sanak famili. Tak lama di situ. Fatimawali tidak mau berlama-lama menumpang dan merepotkan pemilik rumah, meskipun itu di rumah kerabat sendiri.
Ia pindah ke tempat kost di Jalan Veteran Selatan. Pemiliknya Pak Mansyur, kebetulan juga berasal dari Limbung. Ia tak sendirian, beberapa teman sekolahnya juga tinggal di tempat kost itu.
Pertama kali berpisah dengan orang tua, membuat Fatimawali harus mengerjakan segala keperluannya sendiri. Di tempat kostnya, mau tak mau dirinya harus memasak, mencuci, menyetrika pakaian sendiri. Begitu caranya untuk berhemat dan mengirit pengeluaran. Jaman itu belum ada istilah pesan makanan online ataupun jasa laundry seperti sekarang.
“Begitu SMA saya ngekos. Seminggu sekali kadang pulang kampung dengan kembali membawa beras serta lauk seperti ikan mairo kering yang bisa awet tahan lama di konsumsi,” kenangnya.
Sebagai anak kost, bukankah ia mendapat kiriman rutin uang bulanan?
“Tidak ada dipatok tiap bulan,” katanya. Biaya hidup (living cost) diperoleh setiap kali ia pulang kampung. Nominalnya pun tidak tentu. Ia Ikhlas menerima berapa pun uang yang diberikan ayahnya. Karena ia sadar penghasilan sebagai tukang jahit di desa tidaklah seberapa. Apalagi adik-adiknya juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Hampir setiap hari Fatimawali berjalan kaki ke sekolah. Jaraknya lumayan jauh. Tapi ia memilih jalur potong kompas dengan menyusuri lorong atau “jalan tikus” memperpendek jarak tempuhnya. Namun lagi-lagi ia tak pernah menyerah akan kondisi kehidupannya.
Saking seringnya berjalan kaki ke sekolah, sampai-sampai alas bawah sepatunya sampai menipis. Ayahnya dengan penghasilan tak menentu, belum mampu membelikannya sepatu baru. Ia bisa maklum. Penghasilan ayahnya harus dibagi juga dengan keperluan sekolah adik-adiknya.
Sekali waktu, kadang juga Fatimawali naik becak ke sekolah. Ukuran becak jaman dulu agak lebar. Biar ringan, ia mengajak dua temannya. Ongkosnya patungan dibagi tiga. Yang berat daeng becak. Nafasnya ngos-ngosan.
Menjalani kehidupan dengan segala keterbatasan seperti itu, tak menyurutkan semangat Fatimawali terus belajar dan menimba ilmu. Tekadnya kuat dan sudah bulat. Karena ia menganggap orang tuanya tidak mewariskan harta melimpah, Karena itu, hanya lewat jalur Pendidikan-lah kelak dirinya bisa survive dan membantu ekonomi keluarganya.
Sekolah sambil kerja
Doanya dijawab Allah SWT. Usai tamat pendidikan di SMF, Fatimawali langsung bekerja. Ia diterima di apotik RS Khadijah milik Muhammadiyah di Jalan Kartini. Sebelah selatan lapangan Karebosi. Semacam alun-alunnya kota Makassar.
Mendengar anaknya sudah bekerja, orang tuanya di Limbung pun lega. Selain tidak lagi membebani ayahnya, malah Fatimawali sudah bisa berkontribusi meringankan biaya keperluan sekolah adik-adiknya. “Jangan lupa bantu adik-adikmu kalau sudah bekerja,” pesan ayah yang selalu diingatnya.
Meskipun sudah bekerja, Fatimawali tidak terlena. Ia masih saja merasa ada sesuatu yang kurang. Apa itu? Rupanya keinginannya melanjutkan pendidikan tetap menggelora di dadanya.
Bak gayung bersambut. Pada saat itu, ia membaca pengumuman “Sipenmaru” (seleksi penerimaan mahasiswa baru) di Universitas Hasanuddin (Unhas). Ia tertarik mendaftar dan ikut test. Membidik jurusan Farmasi. Namun ada kendala. Persyaratannya, harus punya ijazah SMA.
Beruntung, ada mantan gurunya di SMF juga ngajar di salahsatu SMA swasta. Atas bantuannya, Fatimawali dan beberapa temannya difasilitasi mengikuti proses belajar enam bulan atau semester pendek di sekolah yang berlokasi di jalan Bali.
Fatimawali sendiri bisa tetap bekerja. Pagi harinya. Karena masuk sekolahnya siang. Dan jaraknya tempatnya bekerja ke lokasi sekolah swasta itu pun tak begitu jauh. Di sebelah utara lapangan Karebosi, di kawasan pecinan.
Setelah mengantongi ijazah SMA, Fatimawali dkk janjian mendaftar “Sipenmaru” di Unhas. Ketika itu masih di kampus lama Baraya Jalan Mesjid Raya. Bisa juga masuk lewat Jalan Sunu dan Jalan Kandea. Alhamdulilah, ia lulus. Doa syukur tak lupa dipanjatkannya.
Sedangkan beberapa temannya yang menurutnya waktu di bangku SMF memiliki prestasi dan otak yang encer, nyatanya gagal. Ia ikut sedih. Tapi itulah konsekuensi dari sebuah seleksi atau kompetisi.
Kabar kelulusannya disampaikan ke kampung. Ayah dan ibunya menyambut suka cita. Masa itu, suatu kebanggaan orang tua bila anaknya bisa tembus masuk Unhas. Namun euforia itu tak berlangsung lama. Orang tuanya berpikir keras. Lagi-lagi soal biaya.
Fatimawali tak patah arang. Ia mencoba meyakinkan orang tuanya. Apalagi upayanya masuk Unhas sudah diujung jalan. “Sayang kalau tidak lanjut,” ujarnya dalam hati. Ia lantas menyampaikan masih punya tabungan dari gajinya bekerja di apotik. Lalu ayahnya menyanggupi menutupi sisa kekurangannya. Dengan melego asetnya, sepetak tanah.
“Itu momen pertama kali saya masuk Unhas tahun 1980. Di jurusan Farmasi. Ketika itu masih bergabung dengan Fakultas MIPA,” cerita Fatimawali.
Rektor Unhas Makassar pada masa itu Prof. Dr. Achmad Amiruddin. Guru besar jebolan ITB ini yang menggagas dan berjasa memindahkan kampus Unhas ke Tamalanrea. Di timur Makassar, arah menuju Bandara Sultan Hasanuddin dan kabupaten Maros. Dan sang Rektor ini juga yang kemudian menjadi Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) selama dua periode.
Selama kuliah Fatimawali termasuk mahasiswa berprestasi secara akademik. Dan mendapat beasiswa dari pemerintah dalam bentuk tunjangan ikatan dinas (TID). Semua itu buah dari kerja keras dan ketekunannya belajar.
Berlayar ke Negeri Nyiur Melambai
Pada tahun 1986, Fatimawali merampungkan pendidikan di Unhas dan diwisuda sebagai sarjana. Ia juga melaporkan kelulusannya ke Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) di Jakarta sebagai penerima beasiswa TID. Tapi untuk mendapatkan gelar apoteker, ia harus melanjutkan pendidikan tambahan setahun lagi.
Berselang waktu, Fatimawali menerima sepucuk surat dari Dikti. Isinya surat keputusan (SK) pengangkatannya sebagai staf pengajar atau dosen dengan penempatan di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat).
“Alhamdulilah….SK-nya saya terima bulan Maret, sedangkan saya baru selesai pendidikan apoteker pada bulan Mei.”
Setelah pamit ke orang tuanya di kampung, Fatimawali berangkat ke Manado, Sulawesi Utara (Sulut) untuk menggapai impian dan cita-citanya. Layar sudah terkembang.
Ibarat perahu Phinisi yang legendaris, layarnya sudah terkembang dan terus berlayar, dengan motto: “Lebih baik patah layar sebelum sampai daripada patah haluan sebelum berangkat.” Itu adalah juga pepatah lawas orang Bugis Makassar.
Jika seseorang sudah mempunyai niat bulat dan yakin harus dijalankan, tidak boleh berubah. Prinsip itu dipegang terus oleh Fatimawali yang diwariskan oleh orang tuanya. Kareso. Salahsatu falsafah orang Makassar yang mengajarkan bahwa seseorang harus kerja keras dan bersungguh-sungguh dalam berikhtiar.
“Manado, I’am Coming….!” kata Fatimawali saat itu, dalam hati.
Berdiri di pintu gerbang kampus Unsrat. Kemudian dia langsung melapor kedatangan di pos tak jauh dari situ. Ia diarahkan menuju salahsatu bangunan besar.
Saat itu ia resmi menjadi keluarga baru Unsrat. Dan juga resmi menikah, setahun kemudian 4 Oktober 1987, dengan Sahabuddin Umar dan dikaruniai 3 anak. Semuanya dokter. Dua spesialis. Masing-masing dr. Achmad Fausan Adiatma Umar, Sp. PD, dr. Fitria Angela Umar, Sp.OG dan dr. Achmad Fadhil Adiputra Umar.
Mengingat pada masa itu kampus Unsrat Manado belum memiliki program studi Farmasi atau Fakultas MIPA, maka Fatimawali “dititipkan” ke Fakultas Kedokteran. Seiring waktu, ia lalu diberi tanggungjawab menginisasi pembukaan Faklutas baru, MIPA dan sekaligus prodi Farmasi.
Karirnya sebagai dosen dilakoninya di “Negeri Nyiur Melambai” (julukan lain bagi Manado). Ia melanjutkan Pendidikan magister (S-2) di UGM Yogyakarta tahun 1992-1995 dengan studi analisis kimia.
Lalu mengambil program doktor (S-3) bidang Biomedik tahun 2007-2012 di FK Unhas. Disertasinya berjudul: Isolasi dan Karakterisasi Gen merA Bakteri Resisten Merkuri yang Dapat Digunakan untuk Detoksifikasi Merkuri Anorgani.
Hikmah yang dipetik dari kisah Fatimawali, bahwa terlahir dari keluarga sederhana dengan ekonomi pas-pasan bukan menjadi halangan untuk menggapai kesuksesan.
Setidaknya itulah yang dibuktikan Fatimawali, anak tukang jahit dari pelosok kampung yang kini menjadi Guru Besar Unsrat Manado. * (Ditulis oleh Rusman Madjulekka).