KABARIKA.ID, VATIKAN — Gumpalan asap hitam muncul dari cerobong asap di atas Kapel Sistina, menandakan bahwa 133 kardinal yang dikurung di dalamnya gagal memilih Paus baru pada hari pertama konklaf.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Setelah prosesi formal ke Kapel Sistina dan masing-masing kardinal mengucapkan sumpah kerahasiaan, putaran pemungutan suara pertama baru dimulai sekitar pukul 17:45 waktu setempat atau pukul 22:45 WIB.

Di luar gedung Kapel Sistina semua mata tertuju pada cerobong asap yang terkenal itu, yang dijaga ketat oleh burung camar selama beberapa waktu saat para kardinal memberikan suara.

Setelah penantian yang menegangkan, asap hitam akhirnya muncul pada cerobong asap Kapel Sistina pada pukul 21:05 waktu setempat atau pukul 02:05 WIB yang menandakan Paus baru terpilih.

Kepulan asap hitam itu disambut tepuk tangan meriah dari kerumunan lebih dari 45.000 orang yang ada di bawah.

Konklaf akan berlanjut pada hari Kamis (8/05/2025), dan berakhir saat Paus baru terpilih, untuk menggantikan Paus Fransiskus yang meninggal pada 21 April 2025 dalam usia 88 tahun.

Para kardinal berkumpul sebelum konklaf dimulai di Kapel Sistina. (Foto: Vatican Media)

Lapangan Santo Petrus penuh sesak untuk menantikan hasil, meskipun telah diprediksi Paus baru tidak akan terpilih pada hari pertama.

Di antara mereka yang berada di lapangan tersebut adalah Diakon Nicholas Nkoronko dari Tanzania.

Berbicara kepada Vatican News, ia berkata: “Peran kami di sini adalah untuk berdoa dan bergabung dengan umat Kristen lainnya, umat Katolik lainnya, untuk berdoa agar Roh Kudus membimbing seluruh proses.”

Dari mana pun Paus baru itu berasal, ujar Nkoronko, apakah itu dari Afrika, Asia, Amerika, yang kita butuhkan adalah seorang Paus yang suci. Kita membutuhkan seorang Paus yang akan membimbing Gereja dan akan menjadi gembala Gereja.

Cinzia Caporali dan suaminya, dari Tuscany, datang ke Roma untuk mengunjungi makam Paus Fransiskus di Basilika Santa Maria Maggiore di lingkungan Esquilino.

Caporali mengenang saat berada di ibu kota Italia saat pendahulu Fransiskus, Benediktus XVI, terpilih pada April 2005.

Sidang yang memilih Joseph Ratzinger berakhir dalam waktu kurang dari 36 jam, salah satu pemilihan Paus tercepat dalam satu abad.

“Saya berada di sebuah kafe tidak jauh dari sana dan orang-orang berteriak: ‘Fatto, fatto, fatto!’ (Sudah selesai). Kemudian saya keluar dan melihat asap putih,” ujar Caporali.

Sebanyak 450.000 umat Kristiani berkumpul di Lapangan Santo Petrus di Vatikan, menunggu asap mengepul dari cerobong asap Kapel Sistina saat konklaf untuk memilih Paus baru berlangsung. (Foto: euronews)

Sekarang dia dengan tidak sabar menunggu untuk mendengar siapa Paus baru itu.

“Saya berharap ini akan menjadi kelanjutan dari Fransiskus. Dia berpihak pada orang-orang yang terpinggirkan, dan kita perlu memastikan ini terus berlanjut. Kita tidak ingin melihat kemewahan gereja yang mencolok, ini sudah tidak populer lagi,” tambah Caporali.

Dalam homilinya selama misa pra-sidang, para kardinal di Basilika Santo Petrus pada Rabu pagi (7/05/2025), Giovanni Battista Re, kardinal Italia yang juga memimpin misa pemakaman Paus Fransiskus, tampaknya menyerukan hal yang sama.

Re memohon kepada para pemilih untuk mengesampingkan semua pertimbangan pribadi, seraya menambahkan bahwa memilih paus baru adalah tindakan yang penuh tanggung jawab.

“Kita di sini untuk memohon bantuan Roh Kudus, untuk memohon cahaya dan kekuatannya agar paus yang terpilih adalah orang yang dibutuhkan gereja dan umat manusia pada titik balik sejarah yang sulit dan kompleks ini,” ujar Re.

Ia juga mendesak mereka untuk dibimbing oleh kasih, karena kasih adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah dunia.

Sulit Menemukan Pengganti Fransiskus

Menurut Re, menemukan pengganti yang cocok untuk Fransiskus adalah tugas yang sulit, sebagian karena ia meninggalkan sekelompok kardinal yang beragam, tetapi terpecah.

Banyak kardinal yang belum pernah bertemu satu sama lain sebelum pergi ke Roma untuk menghadiri pemakamannya.

Beberapa kardinal selaras dengan gereja progresif yang dipromosikan Fransiskus selama 12 tahun masa kepausannya, sementara yang lain ingin menggulingkan perubahannya dan memutar balik waktu.

Namun, perasaan sebelum konklaf adalah bahwa tidak ada kardinal yang menginginkan pemilihan berlangsung lebih dari dua atau tiga hari, sebagian karena mereka tidak ingin memberi kesan bahwa gereja Katolik terpecah.

Selama pertemuan prakonklaf dua kali sehari menjelang pemungutan suara, para kardinal berbagi visi mereka tentang masa depan gereja Katolik dan membahas berbagai isu termasuk penginjilan, keuangan Vatikan, pelecehan seksual oleh pendeta, perang, dan pelayanan kepada orang miskin dan migran.

Para fotografer dengan menggunakan lensa panjang menunggu munculnya asap dari cerobong Kapel Sistina yang memberi informasi tentang hasil pemilihan Paus baru. (Foto: tangkapan layar theguardian)

Namun, satu topik yang hilang dari agenda adalah peran perempuan di gereja, sesuatu yang ingin dipromosikan oleh Fransiskus, meskipun ia berulang kali mengatakan perempuan tidak akan pernah bisa menjadi pendeta.

Kelompok perempuan Katolik, yang selama bertahun-tahun telah memperjuangkan penahbisan perempuan, telah berkumpul di Roma dalam beberapa hari terakhir.

Semburan asap merah muda memenuhi udara di bukit Gianicolo, yang menghadap ke Katedral St. Peter, sebelum konklaf dimulai.

Asap tersebut merupakan bagian dari protes damai yang diselenggarakan oleh para pendukung dari kelompok Catholic Women’s Ordination (CWO) yang berbasis di Inggris.

“Para kardinal pemilih yang terdiri 133 pria orang pria, akan menggunakan sinyal asap untuk mengomunikasikan kepada dunia bahwa mereka telah memilih paus baru,” kata Miriam Duignan, yang memimpin para pendukung CWO.

“Karena mereka menolak untuk mendengarkan para wanita dan telah membuat separuh populasi gereja global terdiam dan tunduk, kami berkomunikasi dengan mereka, juga melalui sinyal asap, dengan harapan mereka dapat membuka mata mereka terhadap ketidakadilan yang mereka tegakkan,” tegas para pendukung CWO. (rus)