KABARIKA.ID, MAKASSAR – Universitas Hasanuddin (UNHAS) secara resmi mengukuhkan Prof Habibah S. Muhiddin, sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Unhas dalam bidang Vitreoretina.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penghargaan akademik tertinggi ini diberikan sebagai pengakuan atas kontribusinya dalam pengembangan ilmu retina, khususnya dalam upaya pencegahan kebutaan akibat Diabetik Retinopati, yang merupakan salah satu tantangan kesehatan utama di Indonesia.

Pengukuhan berlangsung dalam Rapat Paripurna Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin, yang dipimpin oleh Rektor Unhas, Prof Jamaluddin Jompa, Selasa (18/2/2025) di Ruang Senat Lantai 2 Rektorat UNHAS.

Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Upaya Pencegahan Kebutaan Akibat Diabetik Retinopati dalam Menghadapi Bonus Demografi,” Prof Habibah menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mencegah kebutaan, terutama pada generasi usia produktif yang menjadi penentu masa depan bangsa.

Dalam pidato tersebut, Prof Habibah menyampaikan, Bonus demografi yang diprediksi terjadi di Indonesia pada periode 2020–2030 merupakan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas tenaga kerja.

Namun, potensi ini dapat terhambat jika kualitas kesehatan tidak terjaga, terutama kesehatan mata yang sangat vital untuk aktivitas sehari-hari. Indra penglihatan mampu menangkap 80 persen informasi, sementara sisanya melalui indra pendengaran dan perasa. Salah satu ancaman utama pada kesehatan mata adalah tingginya prevalensi Retinopati Diabetik (RD) sebagai komplikasi serius diabetes melitus yang dapat menyebabkan kebutaan pada usia produktif.

Menurut data International Diabetes Federation (IDF) 2021, sekitar 10,8 persen penduduk Indonesia mengidap diabetes melitus, dan 43,1 persen di antaranya berpotensi mengalami Retinopati Diabetik. RD merupakan penyebab kebutaan utama pada pasien berusia 20-64 tahun di seluruh dunia.

Di Indonesia, prevalensi penyakit RD mencapai 43,1 persen, dengan 26,1 persen di antaranya mengalami RD yang mengancam penglihatan. RD menjadi komplikasi diabetes kedua terbanyak setelah nefropati, dan mayoritas penderita diabetes tinggal di negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana penatalaksanaan diabetes dan deteksi dini RD belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman yang ada.

Di Sulawesi Selatan, prevalensi diabetes melitus mencapai 7,4 persen, atau sekitar 695.600 penderita. Studi yang dilakukan antara Juli 2023 hingga Juni 2024 menunjukkan bahwa RS Unhas dan Klinik Utama Mata JEC Orbita @ Makassar telah melakukan tindakan operasi vitrektomi kepada 271 pasien RD, dengan 5,53 persen di antaranya berusia kurang dari 30 tahun.

Hal ini menunjukkan potensi ancaman RD kepada kalangan usia produktif yang berdampak signifikan pada kualitas hidup.

Prof Habibah menambahkan, tanpa upaya pencegahan dan deteksi dini yang optimal, peningkatan jumlah penderita RD dapat mengurangi daya saing tenaga kerja dan membebani sistem kesehatan nasional.

“Oleh karena itu, investasi dalam skrining, edukasi, dan pengobatan RD menjadi langkah krusial agar generasi usia kerja tetap sehat dan produktif,” serunya.

Untuk memastikan bahwa bonus demografi tidak menjadi kesia-siaan, Prof Habibah merumuskan tiga kebutuhan krusial untuk pencegahan kebutaan akibat RD di Indonesia.

Pertama, political will – dengan menempatkan RD sebagai prioritas indikator kesehatan, setara dengan kesehatan ibu dan anak, stroke, atau penyakit kardiovaskular lainnya.

Kedua, sarana dan prasarana yang memadai untuk skrining dan terapi, termasuk laser fotokoagulasi yang seharusnya tersedia di seluruh kabupaten.

Dan ketiga, kolaborasi lintas profesi dan sektoral dari tenaga kesehatan tingkat primer hingga tersier, serta kerja sama dengan berbagai organisasi, baik pemerintah maupun non-pemerintah.

Mengakhiri pidatonya, Prof Habibah menyampaikan harapannya agar upaya preventif ini dapat terus berkembang dan berdampak. Untuk mengatasi masalah kebutaan dan gangguan penglihatan akibat RD, perlu ada tata laksana dari hulu hingga hilir, terutama pada usia produktif, agar bonus demografi memberikan dampak positif bagi Indonesia.

“Kita semua bertanggung jawab untuk memastikan bahwa generasi mendatang memiliki akses ke layanan kesehatan mata yang berkualitas. Bersama, kita bisa membangun masa depan yang lebih cerah bagi bangsa ini,” tandasnya. (*)