KABARIKA.ID, MAKASSAR — Menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, sebanyak 30-60 persen anak Indonesia yang berusia di bawah tiga tahun mengalami maloklusi (malocclusion).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Cleveland Clinic, maloklusi atau gigitan yang buruk berarti gigi atas dan bawah tidak sejajar saat Anda menutup mulut. Jika tidak ditangani, hal ini dapat menyebabkan erosi gigi, penyakit gusi, dan masalah kesehatan mulut lainnya.
Dokter gigi biasanya menangani maloklusi gigi dengan kawat gigi atau perawatan ortodontik lainnya. Kasus yang parah mungkin memerlukan operasi mulut.

Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), maloklusi adalah cacat atau gangguan fungsional yang dapat menjadi hambatan bagi kesehatan fisik maupun emosional dari pasien yang memerlukan perawatan.
Dokter spesialis kedokteran gigi anak, Aliyah menyebutkan bahwa prevalensi kasus maloklusi pada masyarakat Indonesia sangat tinggi.
“Maloklusi itu prevalensinya itu sangat tinggi, sekitar 80 persen dari masyarakat Indonesia menurut SKI 2023. Kebayang ya, bahwa salah satu dari kita saja itu terkena maloklusi, dengan prevalensi 30-60 persen itu anak di bawah tiga tahun,” ujar Aliyah di Jakarta, yang dikutip hari ini, Selasa (29/04/2025).
Dokter lulusan UI itu menjelaskan, bahwa maloklusi adalah ketidaksesuaian atau ketidaknormalan posisi gigi pada rahang atas dan bawah saat bertemu.
Faktor Penyebab Maloklusi
Faktor risiko yang menyebabkan anak terkena maloklusi, beberapa di antaranya:
1. Pemilihan dot yang kurang tepat saat periode tumbuh kembang anak,
2. Lama dan frekuensi penggunaan dot yang tidak sesuai atau kebiasaan yang dapat memengaruhi tumbuh kembang rahang anak,
3. Adanya gigi berlubang yang menyebabkan gigi susu lepas sebelum waktunya.
4. Kebiasaan mengisap jari, dan
5. Faktor genetik.

Terkait dengan hal itu, dokter Aliyah menyarankan setiap orang tua untuk memilih dot yang tepat dan dirancang dengan dot orthodontic yang mempunyai mekanisme yang menyerupai metode menyusu langsung (DBF), sehingga anak tidak bingung puting, mencegah tersedak, dan teruji klinis mencegah maloklusi.
Dot dengan desain pipih itu pun akan membantu mencegah overbite atau underbite, mendukung gerakan menghisap (sucking motion) yang alami yang sering muncul saat si kecil beralih antara menyusu langsung dan menyusul botol.
“Pemilihan produk yang tepat bukan sekadar soal fungsi, tapi juga merupakan bentuk cinta act of service orang tua kepada anak dalam rutinitas sehari-hari,” ujar Aliyah.
Selain itu, orang tua juga disarankan untuk membersihkan gigi anak dengan infant toothbrush yang terbuat dari bahan silicon dan telah bebas BPA.
Sikatlah gigi anak secara rutin dua kali sehari selama dua menit dengan menggunakan pasta gigi yang mengandung flouride.
“Penting bagi orang tua untuk memilih produk perawatan gigi yang sesuai sejak dini, seperti penggunaan infant toothbrush untuk membersihkan lidah, memijat gusi, dan menyikat gigi pertama anak,” tandas Aliyah.
Ia juga menyarankan para orang tua agar menjadwalkan pemeriksaan gigi rutin untuk bayi pada saat mulai tumbuh gigi pertama dan periksa gigi si kecil setiap 3-4 bulan sekali atau 3 kali dalam setahun. (*/mr)