MAKHFUD SAPPE Editor in Chief LIONMAG dan alumnus Fakultas Teknik baru-baru ini berpetualang di Nepal, negara kecil di lembah Kathmandu yang dijuluki Negeri Atap Dunia karena berada di ketinggian. Berikut tulisan dan foto jejak petualangannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

________

APA jadinya kalau serombongan orang biasa, bukan pendaki gunung punya keinginan menjejak Gunung Everest? Ternyata, mereka termotivasi ketika bertemu the living legend Nirmal Purja, pemecah rekor penakluk 14 puncak 8.000-an mdpl tersingkat di Himalaya.

Namanya saja Kathmandu Valley alias Lembah Kathmandu. Bila disebut “lembah”, maksudnya tentu di “bawah” alias di kerendahan. Tapi meski di kerendahan, Nepal adalah Negeri Atap Dunia, di ketinggian.

Maka Kathmandu yang terletak di Lembah Kathmandu pada ketinggian 1.400 mdpl juga tak boleh dianggap enteng oleh orang Asia tropis yang cenderung berada di dataran rendah seperti kami.

Dan memang Kathmandu sebagai ibu kota Nepal, adalah gerbang bagi wisatawan pendaki dari seluruh dunia yang akan masuk ke Himalaya. Dari sini, hampir 70 persen dari pendapatan negara Nepal mengalir. Inilah pariwisata, tulang punggung ekonomi Republik Nepal.

Nepal sendiri berada pada pengaruh peradaban mayoritas Hindu dan Buddha. Agama dan kebudayaan yang melebur membentuk peradaban. Itu terasa begitu kami mendarat di Bandara Tribhuvan, Kathmandu.

Inilah gerbang ke Himalaya, yang membentang timur barat, sekaligus rumah bagi beberapa World Heritage Site seperti Durbar Square, Swayambhunath, Boudhanath, dan Pashupatinath.

Di Tribhuvan, kami langsung menukar mata uang. Nepal menggunakan Nepal Rupee, nilainya setara Rp 112,- per satu Nepal Rupee (NPR).

Menjejakkan kaki di Tribhuvan bagi kami adalah mirip mencelupkan kaki ke kolam, telanjur basah masuk Nepal, lalu Himalaya.

Pasalnya, tidak ada satupun di antara rombongan kami yang 20 orang ini punya pengalaman naik gunung tinggi, kecuali satu dua yang punya pengalaman naik gunung saat kuliah.

Perjalaman ini gagasan Achmad Hasan dan Bong Chandra akhir September 2022 lalu, sekonyong-konyong ngebet mendaki gunung tinggi hingga ke Everest Base Camp. Sebagai salah satu inisiator, maka Bong Chandra tampak “legowo” didaulat sebagai ketua rombongan.

Perjalanan kami sendiri, awal Maret 2023, dimulai pada pagi hari menggunakan Batik Air dari Jakarta ke Kuala Lumpur untuk transit lalu dengan Batik Air Malaysia lanjut ke Kathmandu.

Kathmandu, juga adalah sebagai tempat aklimatisasi awal. Bayangkan kami yang biasa tinggal di kota pantai seperti Jakarta, harus hidup di kota tinggi yang tak punya laut seperti Kathmandu. Sehingga, praktis pada hari pertama, kami hanya beristirahat sekaligus beradaptasi dengan iklim dan ketinggian.

Dijemput oleh Khrisna Kharel, guide dari Yeti Adventure, kami langsung menuju Marriott Bonvoy, tempat kami menginap.

Bersama Nirmal Purja, pemegang rekor mendaki tercepat 14 puncak 8000-an. Dok Ryan Sumali

Sore itu, kebetulan bertemu Nirmal Purja alias Nimsdai, seorang pendaki yang memegang rekor mendaki 14 puncak Himalaya dalam tujuh bulan. Purja punya toko outdoor gear di samping Hotel Marriot.

Dokumentasi pendakian Nimsdai yang hebat itu tayang di Netflix dengan judul 14 Peaks: Nothing is Impossible. Tantangan dalam rangkaian pendakian Nimsdai terangkum dalam satu kalimatnya:

“Giving up is not in the blood, Sir. It’s not in the blood.” Menyerah tak ada dalam darah kami.

Asal tahu aja, pendaki pertama yang bisa mengebut 14 puncak itu adalah Reinhold Messner, yang dijuluki pendaki terhebat sepanjang masa–karena beberapa kali mendaki sendiri. Itu baru dilakukan Messner dalam masa 16 tahun. Bayangkan Nimsdai melakukannya dalam tujuh bulan!

Lalu, di dunia ini, ada berapa sih puncak gunung yang ketinggiannya di level 8.000-an mdpl? Ya 14 itu. Semuanya ada di Himalaya, dan Everest atau Sagarmatha yang menjadi magnetnya.

Tapi akhirnya kami jadi sibuk foto bersama dengan Purja. Dan kutipan kalimat Purja itu jadi terngiang bagi kami: Jangan-jangan itu juga untuk kami.

Nah… ini yang jadi seperti hide and seek antara kami dengan Niraj. Di satu sisi, kami, yang tak pernah mendaki gunung tinggi terbakar dengan motivasi Nimsdai, “nothing is impossible”, sementara wajah Niraj di sisi lain menyiratkan kekuatiran — lantaran rombongan kami yang 20 orang ini memang bukan “profil” pendaki.

Waduh. Dan Niraj Shakya, trek leader kami saat memimpin briefing awal pendakian kami ke Everest Base Camp dengan dag dig dug.

“Kami tidak ada target tertentu. Kalau harus berhenti ratusan kali, tidak masalah” jelas Achmad Hasan yang melihat kekhawatiran Niraj.

“Barang bawaan maksimum 10 kg, tas kabin 5 kg,” jelas Niraj. Itu adalah bobot bawaan yang akan digunakan selama trekking nanti.

Hari kedua di Kathmandu, kami isi dengan sedikit wisata ke Durbar Square dan Monkey Temple.

World heritage Durbar Square dan Monkey Temple. Dok: Makhfud Sappe

Hari kedua di Kathmandu bersamaan dengan perayaan Holy atau pesta warna yang merupakann acara penting bagi rakyat India, Nepal, Banglades, dan negara-negara lainnya yang penduduknya beragama Hindu. Masyarakat saling lempar bubuk warna-warni.

Kami mengunjungi Durbar Square dan Monkey Temple. Dan tentu saja tidak melewatkan kesempatan mengunjungi Thamel, wisata belanja outdoor gear –mungkin yang terbesar di dunia. Putaran uang di Nepal terasa di sini.

Dan malam harinya, kami menyortir barang bawaan yang akan dibawa mendaki ke EBC. Sleeping bag dan duffle bag dibagikan. Barang-barang yang tidak diperlukan, dititip di hotel.

Keesokan paginya, pukul enam, kami sudah menunggu jemputan di lobi hotel untuk ke bandara dan terbang ke Lukla. Penerbangan ke Lukla menggunakan pesawat kecil jenis Twin Otter.

Rombongan dibagi dua, karena memang tidak ada pesawat yang bisa membawa 20 penumpang sekaligus. Penerbangan pertama 15 orang, rombongan kedua lima orang ; Ilham Fajar, Hamid Jafar, Irwan Sek, Erpan S, Suryadi Suryadharma, di temani Niraj.

Saya ikut penerbangan pertama, antara lain bersama dengan Achmad Hasan, Bong Chandra, ketua rombongan, Muhammad Umar A Azis, Sigid Tri Harjanto, Wu Yuhong, Maike, Stanley, Rudy Jaya S, Handoko Prawiroharjo, Theodorus CP, Raymond Budi Sumali, Stefanus, Ryan Budi Sumali, dan Fauzan Ridwan, ditemani serpha Pasang.

Jarak tempuh ke Lukla dari Bandara Internasional Tribhuvan ke Lukla sekira 30 menit. Semua prosesnya bergegas, selagi cuaca memungkinkan. Karena di Lukla cuaca bisa tiba-tiba berubah, bandara bisa ditutup seharian karena cuaca.

Selain dari Tribhuvan, penerbangan ke Lukla juga bisa dari Ramechhap, sekira 4-5 jam berkendara dari Kathmandu. Dari bandara Ramechhap, ke Lukla hanya 15 menit.

Kami beruntung dengan cuaca sepanjang penerbangan ke Lukla. Melalui jendela pesawat puncak-puncak Himalaya yang berselimut salju terlihat jelas. Tidak terasa, pesawat sudah mendarat di Bandara Tenzing Hillary (LUA) yang lebih populer dengan nama Bandara Lukla. Bandara Lukla bisa tampak “menguatirkan” bagi sebahagian orang, karena berada di ujung tebing di elevasi 2,845 mdpl dan landasannya pendek.

Setelah menunggu di Yeti Mounting House untuk regrouping antar-rombongan, kami pun memulai trekking menuju Everest Base Camp, didahului dengan berdoa dan briefing oleh Niraj.

Tulisan ini terdiri atss 4 artikel bersambung :

2. Hari pertama pendakian adalah rute Lukla – Phakding.

3. Aklimatisasi di Dingboche

4. Medan panjang dan terbuka antara Lobuche dengan Gorakshep.
***