KABARIKA.ID, MAKASSAR — Satuan Tugas Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Hasanuddin (Unhas) yang diketuai oleh Prof Dr. Farida Patittingi, SH., MH telah bekerja secara maraton untuk menangani kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas berinisial FS.
Hingga kini Satgas PPKS telah menjatuhkan dua jenis saksi administratif kepada yang bersangkutan. Yaitu, pemberhentian dari jabatan sebagai Ketua Gugus Penjaminan Mutu dan Reputasi Unhas. Sanksi pertama ini dijatuhkan saat awal pemeriksaan kasus.
Kemudian sanksi kedua berupa pembebasan sementara sebagai dosen untuk menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
“Kami memberikan sanksi itu bukan 12 bulan, tetapi 3 sementer atau 18 bulan. Yang ketiga yang paling berat adalah pemberhentian dengan hormat sebagai ASN,” ujar Prof Farida saat konferensi pers, Jumat sore (29/11/2024) di Gedung Rektorat lantai 8, kampus Unhas Tamalanrea, Makassar.
Selama menjalani sanksi pemberhentian sebagai dosen, yang bersangkutan dilarang terlibat pada seluruh aktivitas terkait Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Selain itu, FS juga tidak lagi menerima tunjangan. Yang dia terima hanyalah gaji pokok sebagai ASN karena statusnya masih sebagai ASN aktif.
Ketua Satgas PPKS yang juga Wakil Rektor Bidang SDM, Alumni dan Sistem Informasi itu juga mengingatkan, bahwa Satgas PPKS bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan penanganan kekerasan seksual di kampus, Satgas PPKS bekerja dengan mengacu pada Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Dalam Pasal 70 Permendikbudristek itu disebutkan bahwa khusus ASN, pengenaan sanksinya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Prof Farida menambahkan, bahwa UU yang terkait dengan ASN adalah UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara jo PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Dalam Permendikbudristek itu disebutkan bahwa pemberhentian dosen maupun tenaga kependidikan yang berstatus ASN, bukan kewenangan rektor melainkan kewenangan Menteri.
“Kita mendalami kembali respon dan usulan dari masyarakat dan melakukan analisis kembali terhadap seluruh proses pembuktian. Kita mendalami kembali semua itu kemudian kami laporkan kepada Rektor, dan kepada Rektor kami beri masukan usulan dan itu sudah dikirim ke Kementerian, untuk diajukan penjatuhan sanksi pemberhentian tetap sebagai ASN,” tandas Prof Farida.
Mantan Dekan Fakultas Hukum Unhas itu menambahkan, salah satu prinsip penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah nondiskriminatif, jadi harus mendengarkan kedua belah pihak.
“Itulah yang kami lakukan dalam proses panjang ini selama satu bulan,” ujar Prof Farida.
PPKS dibentuk oleh Rektor Unhas sebagai bentuk komitmen dan menjadi satu perangkat kelembagaan Unhas sebagai kewajiban konstitusional untuk menjadi wadah dalam melakukan sosialisasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Unhas. (rus)