KABARIKA.ID, HELSINKI — Para penikmat kopi bisa merasakan sensasi citarasa yang berbeda dari racikan kopi menggunakan teknologi teranyar, Artificial Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebuah tempat pemanggangan kopi di ibu kota Finlandia, Helsinki, telah memperkenalkan campuran kopi yang dibuat dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Penggunaan teknologi AI diharapkan dapat meringankan beban kerja di sektor, yang dulu membanggakan pekerjaan yang dilakukan secara manual ini.
Ingin mencicipi sensasi cita rasa kopi masa depan? Di Kaffa Roastery yang trendi di Helsinki, para barista membuat kopi yang dikembangkan dengan bantuan teknologi AI yang diberi nama “AI-conic”.
Kopi racikan dengan bantuan AI tersebut, terdiri dari campuran empat jenis biji kopi yang dipilih secara otomatis oleh AI dan didominasi Fazenda Pinhal yang lembut dari Brasil.
Hasil racikan tertsebut merupakan hasil akhir dari proyek gabungan antara Kaffa, tempat pengolahan kopi terbesar ketiga di Finlandia, dan konsultan AI lokal, Elev.
Svante Hampf, CEO dan pendiri Kaffa, menceritakan mengenai proyek tersebut.
“Reaksi pertama, saya kira seperti kebanyakan orang di sini, itu tidak mungkin dilakukan dalam proses pengolahan. Karena kita biasa menggunakan semua indera, indera penciuman kita, kita melihat ke dalam pemanggang, kita mendengar proses pemanggangannya… Dibutuhkan waktu sekitar lima atau bahkan sepuluh tahun untuk menjadi pengolah kopi yang benar-benar baik,” tutur Hampf.
Bagaimana teknologi AI mampu melakukan tugas barista tersebut dengan memuaskan?
“Dengan memanfaatkan model platform ChatGPT dan Copilot, AI ditugaskan untuk membuat racikan yang sesuai dengan selera penggemar kopi, mendorong batas-batas kombinasi rasa konvensional,” papar Antti Merilehto, pendiri Elev.
Merilehto memulainya melalui obrolan dengan ChatGPT gratis, dan bersikeras ingin menggunakan alat yang tersedia untuk semua orang.
“Kami memulainya, seperti mengobrol dengan seorang teman. Hei, kami punya tempat pengolahan kopi. Kami berusaha menemukan racikan baru. Kami ingin menggunakan AI,” tutur Merilehto.
Hampf mengatakan bahwa Kaffa dan Elev ingin menguji coba bagaimana AI dan berbagai peralatannya dapat membantu dalam proses pengolahan kopi, yang biasanya dilakukan pengrajin tradisional.
Selain menghasilkan campuran biji kopi pilihan dari Brasil, Kolombia, Ethiopia, dan Guatemala, AI menciptakan label kemasan kopi dan deskripsi rasa yang mendetail dengan mengatakan bahwa “AI-conic” adalah perpaduan yang seimbang antara rasa manis dan buah kopi yang matang.
Hampf mengaku terkejut mendapati AI memilih untuk membuat campuran dari empat jenis biji kopi yang berbeda, dan bukan dari dua atau tiga jenis biji kopi, yang biasanya dilakukan pengrajin untuk memungkinkan adanya perbedaan rasa di antara cita rasa dari daerah yang berbeda.
Bagaimana cara mengolah kopi “AI-conic”? temukan di sini
Namun setelah uji coba pengolahan pertama dan pencicipan dengan mata tertutup, para ahli kopi Kaffa sepakat bahwa racikan dengan bantuan teknologi itu sempurna, dan tidak perlu penyesuaian oleh manusia.
“Kami juga membuat versi kami sendiri yang lebih baik, karena menurut kami, kami lebih baik dari AI. Kami mencicipinya dengan mata ditutup dan setiap kali kopi AI ternyata lebih baik atau sama enaknya dengan yang lain,” papar Hampf.
Racikan “AI-conic” Kaffa Roastery yang berbasis di Helsinki ini sangat tepat diluncurkan di Finlandia, negara Nordik berpenduduk 5,6 juta jiwa yang mengonsumsi kopi paling banyak di dunia, yaitu 12 kilogram per kapita per tahun, menurut Organisasi Kopi Internasional.
Kaffa Roastery berharap uji coba ini dapat menjadi pembuka dialog antara para profesional kopi mengenai hal-hal yang akan terjadi kelak di Finlandia, sebuah negara yang memiliki budaya kopi yang kuat dan antusiasme besar di bidang teknologi.
“Ini menjadi peringatan bagi kita semua para praktisi dan profesional untuk tetap rendah hati. AI tidak akan menggantikan pekerjaan saya, tetapi bagaimana saya bisa melakukan pekerjaan saya dengan cara yang berbeda?,” tutur Merilehto.
Hampf mengakui bahwa hal ini mengajarkan kepada kita bahwa teknologi AI dapat membantu dalam hampir semua hal.
“Kita masih membutuhkan para ahli, namun mungkin kita juga harus mencari terobosan baru,” tandas Hampf. (VOA/mr)