KABARIKA.ID, JAKARTA — Amerika Serikat (AS) dan Rusia telah melakukan pembicaraan terkait usulan gencatan senjata di Ukraina. Jika gencatan senjata tercapai akan ditempatkan pasukan penjaga perdamaian PBB di perbatasan Rusia-Ukraina.
Rusia dikabarkan menolak kehadiran pasukan penjaga perdamaian PBB dari negara-negara anggota NATO dan Uni Eropa.
Beredar kabar jika Rusia ingin menerima secara khusus pasukan penjaga perdamaian PBB dari negara lainnya, termasuk dari Indonesia, yang akan berjaga di wilayah perbatasan Rusia-Ukraina.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Rolliansyah Soemirat alias Roy angkat bicara soal kabar tersebut. Ia menegaskan bahwa Kemlu belum menerima permintaan pasukan perdamaian tersebut.
“Kemlu belum menerima permintaan resmi dari pihak manapun yang menginginkan keberadaan pasukan perdamaian Indonesia di wilayah perbatasan Rusia-Ukraina,” kata Roy dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (26/03/2025).
Meski demikian, Roy memastikan pemerintah Indonesia memonitor secara dekat upaya dan proses perundingan yang tengah berjalan oleh berbagai pihak yang bertikai.
Roy menambahkan bahwa Indonesia sepenuhnya mendukung upaya penyelesaian koflik dengan diplomasi inklusif.
“Pemerintah Indonesia senantiasa mengikuti secara dekat upaya dan proses perundingan yang sedang berjalan antara pihak-pihak yang bertikai, serta mendukung segala upaya untuk menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina melalui negosiasi dan diplomasi yang inklusif,” ujar Roy.
Sebelumnya, Rusia dikabarkan menolak pasukan penjaga perdamaian Uni Eropa untuk berjaga di wilayah perbatasan Rusia-Ukraina.
Sebagai gantinya, Rusia menginginkan pasukan perdamaian PBB dari sejumlah negara seperti India, Brasil, Arab Saudi, dan Indonesia.
Komitmen Indonesia mendukung penyelesaian konflik Rusia-Ukraina juga disampaikan Menlu RI Sugiono, saat melakukan pertemuan dengan Menlu Prancis Jean-Noël Barrot, Rabu (26/03/2025) di Jakarta.
“Terkait dengan konflik Ukraina, Indonesia juga menekankan pentingnya penyelesaian damai melalui dialog terbuka dan mekanisme multilateral yang inklusif,” ujar Menlu Sugiono. (*/mr)