Site icon KABARIKA

Perspektif Prof JJ Tentang Makna ‘Mampu’ dalam Ibadah

PROF Jamaluddin Jompa, Rektor Universitas Hasanuddin yang dilantik pada bulan April lalu, yang dikenal dengan Prof JJ, memberikan suatu perspektif yang menarik tentang makna ‘mampu’ dalam ibadah sebagaimana disampaikannya ketika menyampaikan khutbah Idul Adha di Al Markaz Al-Islami, 10 Juli 2022.

Oleh: Supratman Supa Athana (Dosen Prodi Sastra Arab-FIB Unhas dan Sekretaris Bidang Hubungan Internasional PP-IKA Unhas)

Kata ‘Orang Mampu’ selama ini diasosiakan pada orang kaya saja, namum dalam perspektif Prof JJ bahwa makna ‘Orang Mampu’ pun dapat dinisbatkan pada orang yang berdasarkan pandangan umum masyarakat digolongkan sebagai orang miskin- (yang kemudian disebut dalam peristilahan eufemisme sebagai ‘orang yang tidak mampu’).

Simak kalimat Prof JJ berikut ini:”Bisa jadi, diantara kita ada yang beranggapan bahwa “mampu melaksanakan ibadah haji adalah otoritas dan dominasi orang-orang yang memiliki penghasilan tinggi setiap bulannya yaitu orang-orang yang berpangkat, memiliki jabatan dan status sosial dalam masyarakat”. Untuk itu, melalui khutbah Idul Adha ini, sebagai khatib saya mengajak kita untuk melihat fakta dan realitas yang terjadi. Begitu banyak orang-orang yang tidak memiliki penghasilan, pangkat, jabatan dan status sosial yang tinggi, tetapi mampu menunaikan ibadah haji.”

Prof JJ menguatkan pernyataan itu dengan menunjukkan bukti yang terjadi dalam realitas sosial:’Di setiap pemberangkatan jamaah Haji, ada saja diantara mereka yang pekerjannya sebagai tukang becak, tukang cuci, pembantu rumah tangga, buruh tani, pekerja serabutan dan buruh bangunan. Mereka mampu melakukannya karena keuletan, keikhlasan dan ketabahan untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah selama bertahun-tahun. Atas ridho dan rahmat Allah, mereka pun dipanggil menghadap ke Baitullah.’

Selanjutnya tiba pada tahapan di mana Prof JJ memberikan kesimpulan tentang pemaknaan ‘mampu’ bahwa makna “mampu menunaikan ibadah haji” bukan hanya sebatas memiliki penghasilan, pangkat, jabatan dan status sosial yang tinggi. Tetapi makna “mampu” berarti keikhlasan dan keuletan untuk menyisihkan rezeki yang diberikan Allah SWT betapa pun kecilnya untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit sehingga mencukupi biaya perjalanan menunaikan ibadah Haji. Makna mampu juga berarti meninggalkan bekal buat penghidupan keluarganya selama dalam perjalanan melaksanakan ibadah haji.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka makna kata ‘mampu’ sekaitan dengan menjalankan syariat dan ibadah kepada Tuhan dapat digolongkan dalam tiga tingkatan.

Tingkatan pertama adalah mampu secara materi dan fisik. Mampu secara fisik atau materi yang kemudian dipahami berdasarkan standar sosial dengan pembagian secara ekstrim terdapat golongan orang kaya (mampu) dan golongan orang miskin (tidak mampu). Penggolongan dan pengklasifikasian standarnya murni berdasarkan ukuran materi. Penggolongan kaum kaya dan miskin berdasarkan ukuran materi dalam pandangan umat manusia.

Tingkatan kedua adalah mampu secara manejemen yang bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Penggolongan ini mewujudkan manusia yang dapat mempertatanggungjabakan segala perbuatan dan aktivitasnya. Penggolongan ini mewujudkan manusia rajin dan telaten, dan pada sisi ekstrem lainnya ada golongan manusia malas, boros, dan apatis. Golongan ini bisa berdasarkan pandangan manusia juga berdasarkan pandagan Tuhan.

Tingkatan ketiga adalah mampu ikhlas. Orang ini menurut ayat-ayat al-quran memiliki karakter terkhusus seperti iblis dan nafsu amarah tidak memiliki akses ke dalam jiwa mereka. Iblis benar-benar putus atas mereka. Hal ini dapat dilihat dalam surah al Hijr ayat 39-40:” Iblis berkata:” Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik ( perbuatan maksiat ) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba- hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”.

Kandungan yang sama terdapat surah As-Shad ayat 82-83.
Iblis sendiri mengakui bahwa dia tidak berdaya untuk mengalihkan mereka dari jalan kebenaran, karena hati mereka telah menjadi tempat Tuhan, dan jelas bahwa iblis tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi dan merebut tempat Tuhan dalam hati orang yang ikhlas.

Orang-orang seperti itu selalu aman dan terlindungi di dalam pemeliharaan ‘Baitullah’ dari setiap dosa yang nyata, lisan, intelektual, hati dan rahasia, dan juga bebas dari segala jenis kesalahan, tindakan mereka adalah perbuatan yang benar, lidah mereka adalah lidah yang benar, mata mereka adalah mata yang benar, dan telinga mereka adalah telinga yang benar. Seluruh pusat keberadaan mereka adalah milik kehadiran kebenaran, dan rumah hati dan kepala mereka telah diserahkan kepada Tuhan. Hal ini sesuai dengan ayat dalam surah Ash-Shafsaat:’Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, Kecuali h amba- hamba Allah yang dibersihkan dari ( dosa ).’

Inilah yang dicontohkan Prof JJ dalam khutbahnya bahwa godaan iblis dialami oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail Alaihimassalam ketika hendak melaksanakan perintah qurban mampu melawan rayuan dan godaan iblis tersebut. Bahkan Iblis lari terbirit birit karena mendapat lontaran batu dari Ibrahim dan Ismail Alaihimassalam. Peristiwa tersebut diabadikan dalam bentuk melontar jumrah Ula, Jumrah Wustha dan Jumrah Aqabah dalam pelaksanaan Ibadah Haji.

Kekuatan mampu dalam orang ikhlas benar-benar dalam hak prerogatif mampu Tuhan. Manusia tidak dapat mengukur dan mengintervensinya termasuk orang ikhlas yang bersangkutan sama sekali tidak tahu dengan kemampuannya sendiri. Itulah makna kalimat : Laa Hawla waLa Quwwata Illa Billaah memiliki arti: “Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah semata”.

Hal ini dapat kita lihat dalam dialog antara Nabi Ibrahim dengan Tuhan yang dinukil Prof JJ dalam khutbanya:’ Nabi Ibrahim AS berkata “Ya Allah sungguh mereka tidak akan mendengar suara seruanku”. Allah berkata: “Ya Ibrahim tugasmu hanya mengundang hambaKu dan Akulah yang meyampaikannya ke dalam hati hambaKu”.

Orang ikhlas hanya dalam pengetahuan Allah, manusia pada umumnya tidak ada kemampuan untuk mengetahui kemapuan orang Ikhlas sebagaimana dalam Surah Al-Qashash ayat 56:’Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang- orang yang mau menerima petunjuk.’ (*)

Exit mobile version