PERNAH dengar istilah Destination Management Company, disingkat DMC? Kalau di-Indonesia-kan artinya Perusahaan Manajemen Destinasi. Feeling saya, banyak yang belum pernah dengar dan juga belum tahu apa maksudnya.
Oleh: Irwan Firdaus Uno (Alumni Unhas/Kamtuu Founder)
Saya akan ulas singkat tentang ini. Juga beberapa istilah yang terhubung dengannya. Agar mudah dimengerti saya bahas menggunakan contoh kasus.
Mari ambil Malino sebagai destinasinya. Di Malino ada banyak tersedia akomodasi, baik berupa hotel, penginapan, atau villa. Selain itu juga ada penyedia aktivitas, seperti naik kuda, petik strawberry, dan lain-lain.
Tak kalah pentingnya adalah penyedia sarana transportasi, baik umum maupun rental, agar orang-orang dari luar Malino bisa datang ke Malino. Ditambah ada restoran, penjual oleh-oleh, dan banyak lagi. Semua itu disebut sebagai supplier atau vendor. Mereka adalah pemilik atau penyedia langsung produk atau layanan yang akan dinikmati oleh tamu atau pengunjung.
Di sisi lain, ada Tour and Travel Agent (TTA). Mereka ini sesungguhnya adalah para penjual paket wisata yang menjual langsung ke tamu atau pengunjung. Apakah mereka membuat sendiri paket-paket tur-nya? Kebanyakannya, tidak. Apalagi jika destinasi yang akan dijual jauh dari jangkauan mereka.
Di sinilah muncul Destination Management Company. Perusahaan ini menyediakan orang-orang yang memang ahli atau tahu banyak tentang sebuah destinasi, mengombinasikan produk atau layanan dari berbagai supplier untuk dijadikan paket-paket wisata. Terakhir, merekalah yang memperkenalkan sekaligus menjual paket-paket tersebut kepada TTA.
Jadi DMC berada di tengah-tengah, penghubung antara para supplier dan agen penjual. Juga, DMC bisa dikatakan sebagai “pabrik” paket-paket wisata.
Dapat dikatakan bahwa keberadaan DMC sesungguhnya penting. Sebab dalam banyak hal, DMC mengerti tentang tren permintaan pasar, sekaligus memiliki akses terhadap agen-agen yang akan menjual kembali paket-paket wisata yang sudah dibuatnya.
Dewasa ini negara kita banyak mengembangkan desa-desa wisata. Merujuk pada penjelasan di atas, desa-desa wisata berada pada posisi supplier. Mereka adalah penyedia produk/jasa. Kenyataannya, desa-desa wisata di Indonesia kebanyakan tidak memiliki kemampuan untuk memasarkan layanannya.
Maka penting sekali desa wisata melakukan kerjasama dengan DMC. Melalui kerjasama ini, mereka juga bisa mendapatkan masukan hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki demi menggaet tamu atau pengunjung untuk datang ke tempat mereka.
Popularitas sebuah destinasi bisa dilihat dari salah satunya berapa banyak DMC yang terlibat dalam menangani destinasi tersebut. Semakin banyak DMC yang “turut campur”, semakin populer pula destinasi itu.
Sebaliknya, kita juga bisa mengatakan bahwa jika ingin memopulerkan sebuah destinasi, banyak-banyaklah menawarkan kepada DMC untuk menangani destinasi tersebut.
Pertanyaannya, untuk berbagai destinasi di Sulawesi Selatan, adakah DMC yang sudah terlibat? Berapa banyak? Apakah mereka aktif dalam mengembangkan destinasi yang ditangani? Semua ini adalah masalah yang perlu dibenahi, sekaligus menjadi peluang bagi mereka yang mau menangkap peluang. (*)