Judul Buku : 98-99 – “Catatan Kemahasiswaan Seorang Pembantu Rektor”
Penulis : Prof. DR. Amran Razak, SE, Msc
Penerbit: Sunrise
Editor : Zulkarnain Hamson & Andi Aisyah Lamboge
Jumlah Halaman : 215 halaman + xlii
Cetakan : Pertama, Mei 1998
ISBN : 978-602-5178665
“Tembak Dulu Diriku, baru kalian bisa menggilas Mahasiswaku!!”
Demikian ucapan heroik, lantang dan tegas Prof.DR.Amran Razak, SE,Msc, Pembantu Rektor III Universitas Hasanuddin, saat menghadang pasukan militer yang akan membubarkan para pendemo Mahasiswa Unhas yang menduduki bandar udara Internasional, Sultan Hasanuddin, Makassar tanggal 13 November 1998. Kejadian monumental ini disajikan secara dramatis dalam buku bertajuk “98-99 ; “Catatan Kemahasiswaan Seorang Pembantu Rektor”. Dalam aksi tersebut, Amran menulis di halaman 65:
Aku berdiri tegak menghentak, menarik keras kemejaku (kemeja merek Mark & Spencer pemberian Iqbal Latanro), menghempaskan satu persatu kancing bajunya —telanjang dada –gaya berontak ‘Anak Lorong’ di tengah landasan parkir pesawat, membentangkan dadaku sekuatnya, lalu menantang panser – baracuda yang akan menggilas ratusan mahasiswanya.
Marah dan pilu bergelora dalam benakku, menyaksikan beberapa mahasiswi berjilbab terlihat tersungkur berusaha merapatkan diri di dinding kaca pembatas ruang tunggu penumpang bagian dalam bandara. Sebagian lainnya, terlihat mahasiswa berpencar tak terarah berhamburan berusaha menangkis semburan gas air mata dan tekanan aparat keamanan. Kekagetan penumpang pesawat diwarnai heran dan takjub tapi tak sedikit pula yang ngomel.
Aku bergerak melangkah ke arah barisan penyanggah aparat keamanan yang di kawal panser itu,puncak kemarahanku sebagai putra ‘terpelajar’ dari Maros, sebagai cucu I Mangutung Daeng Garra, kini tak terbendung.
Dikenal sebagai sosok demonstran sejati tak kenal takut sejak masih mahasiswa dan telah dikisahkan dalam buku perdananya berjudul “Demonstran Dari Lorong Kambing” (baca resensi saya mengenai buku tersebut disini) , Amran Razak tampil sebagai sosok Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan UNHAS dengan gaya yang “berbeda” dan “out of the box”.
Sebuah sosok yang justru sangat dibutuhkan pada masa awal gerakan reformasi yang bergolak riuh dan rawan konflik horizontal.
Pada buku ini, Lelaki kelahiran Makassar 2 Januari 1957 tersebut, menguraikan rangkaian peristiwa fenomenal gerakan mahasiswa Unhas menumbangkan orde baru 20 tahun silam, lengkap dengan foto, wawancara langsung dengan para pelaku di zamannya, serta dukungan data otentik yang diramu secara apik melalui tulisan nan memikat.
Amran menyajikan uraian artikulatif yang renyah dibaca dalam setiap tuturan babak demi babak dalam buku ini.
Buku ini dibagi menjadi 8 bab, yaitu bagian pertama bertajuk “Pekik Reformasi dari Seberang Lautan”, Bagian Kedua “Menduduki Bandara Hasanuddin”, Bagian ketiga “Rapat Akbar di Lokasi Tawuran”, Bagian keempat “Mengantar Demokrasi Indonesia”, Bagian kelima “Penculikan Aktifis Mahasiswa”, Bagian Keenam “Konser Musik Kantata Takwa”, Bagian Ketujuh “534 Dosen di Sulsel mengecam MPR” dan Bagian Kedelapan “Sang Gembala Reformis”. Buku ini memang sejatinya menjadi kelanjutan dari buku perdananya yang beredar 3 tahun silam “Demonstran Dari Lorong Kambing”..
Pada bab Awal, penulis memaparkan sebagai Pembantu Rektor III di Kampus Merah UNHAS, senantiasa melakukan pendekatan yang intens tidak hanya pada lingkup paguyuban para Pembantu Dekan III Fakultas namun juga para aktifis mahasiswa Unhas yang bergabung dalam gerakan aksi Solidaritas (SOLID).
Pada masa itu, gerakan reformasi di Indonesia tengah bergema lantang pasca Prahara Mei 1998 di Jakarta. Diceritakan, para petinggi kampus yang menangani soal kemahasiswaan itu tak segan ikut turun ke jalan mengawal rombongan mahasiswa ikut berdemo.
Di Bab pertama, halaman 6, dituliskan seberapa jauh “kedekatan” tersebut, bahkan ruangan Pembantu Rektor III UNHAS di Gedung Rektorat lantai 2 kerap jadi ruang “konsolidasi”:
Paguyuban PD III dan sejumlah dosen mantan dedengkot aktivis kampus bersama koordinator lapangan (korlap) Aksi Solidaritas Mahasiswa (SOLID) Unhas seakan dibebani tugas mengatur ritme langkah-langkah ribuan mahasiswa Unhas yang membujur, menjulur mengisi satu arah jalan raya, — memantik simpati rakyat, lantaran mereka tetap memberi ruas jalan sebelahnya. Sesekali mereka menyapa pengendara di sebelahnya, sambil meneriakkan yel-yel perjuangan atau sekedar menyapa ‘minta maaf’ karena mengganggu perjalanan mereka.
Sebuah mobil dinas ‘amphibi’ terkesan mobil bekas, berwarna biru tua, berlumur karatan di kaki kaki bodynya, milik Sekretaris Rektor Unhas, selalu setiap membuka jalan meluncur ke depan. Sopirnya, bernama MADONG – putra Bima itu, terlihat cukup tangkas meski sedikit gempal, maklum tupoksi dia sebenarnya sebagai Satpam andalan Rektorat.
Usai demo, mereka kembali ke kampus berkumpul di depan rektorat Unhas. Berkumpul dari siang hingga larut malam, sebelum kembali ke pondokan atau masuk kota kembali ke rumah mereka. Tak ayal, ketika rektorat tak lagi berpenghuni tersebut, mereka seakan menguasai Rektorat Unhas, membujur-berkelompok di pelataran Lantai Dasar Rektorat Unhas, atau ‘konsolidasi’ di ruang kerja PR III Lantai 2 rektorat.
Mereka melewati malam, menikmatinya dengan nasi bungkus warteg pondokan dari warung pinggiran sekitar kampus. Jika mereka telat makan malam, terpaksa menunggu jatah rutin songkolo begadang dari Pannara-Antang, yang amat laris itu.
Di bab berikutnya, penulis menambahkan ornamen kisahnya dengan menuliskan kembali kesaksian sejumlah pelaku sejarah yang terlibat langsung dalam aksi mahasiswa UNHAS 1998. Buat saya,kesaksian tersebut memberi nilai tambah tersendiri bagi buku ini tak sekedar menambah dramatisasi cerita tapi juga melengkapi “ruang kosong” dari kisah yang dituturkan langsung oleh penulis dengan perspektif yang berbeda.
Salah satu pengalaman seru dituturkan oleh Canny Watae, mantan Pengelola Radio Kampus EBS FM Fakultas Teknik UNHAS dan kontributor radio Mercurius Makassar:
“13 November 1998. Kami menduduki Bandara Hasanuddin, Mandai. Di tengah terik mentari siang, kami bertahan di apron tempat pesawat parkir. Saya celingukan. Mati akal. Telepon umum koin ada di teras depan gedung keberangkatan. Saya berhitung. Sekali keluar dari konsentrasi massa di apron ini maka tidak mungkin lagi bisa bergabung mengingat kami dikitari Paskhas AU bersenjata laras panjang. Selama demo anti-Soeharto hingga Sidang Istimewa (SI) MPR RI, kami pengelola Radio Kampus EBS FM memakai strategi “telepon umum”.
Kru yang turun ikut berdemo membekali diri dengan uang koin. Tiap ada telepon umum kru menelpon studio untuk “live report”. Jaman itu telepon seluler adalah barang super mewah. Boleh dikata tidak ada mahasiswa yang menggunakan hape saat itu. Pun meski yang bersangkutan anak orang kaya. Kali ini saya benar-benar mati akal. Telepon umum tak terjangkau.
Bagaikan pungguk merindukan bulan, namun kali ini bulannya berhasil tergapai. Sedikit di bagian dalam lingkaran Paskhas ada Amran Razak, Pembantu Rektor III Unhas. Bagai tahu kebutuhan primer saya saat itu, Amran langsung memberikan hapenya. Girang bukan main saya.
Langsung kusambar barang mewah itu untuk kemudian memasang wajah memelas: bagaimana cara menggunakan ini barang? Pak Amran langsung men-dial-kan nomor telpon studio EBS. Wusssss…. live report pendudukan Bandara Hasanuddin oleh anak-anak Unhas langsung mengudara. Usai live dengan EBS, saya spontan minta lagi disambungkan ke radio Mercurius, salah satu radio swasta yang punya segmen berita Kisi Redaksi. Awak radio swasta ini mengizinkan saya mengudara. Total lebih dari setengah jam saya menguras pulsa Pak Amran. Beliau bilang: “Kalo mau ko live lagi, Saya belikan ko lagi”.
Sejumlah kesaksian mantan aktifis mahasiswa UNHAS lainnya di era reformasi “menghiasi” halaman-halaman buku ini. Ada Agus Amri, aktifis Fakultas Hukum yang kini berprofesi sebagai Advokat, Abdul Rahman “Boge” Farisi, juga ada Aryanto Karma Wisesa. Uraian mereka berdasarkan pengalaman riil masing-masing membuat buku ini memiliki daya “greget” yang luar biasa.
Rangkaian cerita di buku ini tak hanya diperkaya oleh kesaksian aktifis mahasiswa pada zamannya namun juga berita-berita terkait yang dimuat di media yang menguraikan serangkaian aksi mahasiswa menumbangkan orde baru di berbagai kota di Indonesia.
Pada Bab 4, Amran menceritakan kisahnya sebagai salah satu “koki” lahirnya Forum Rektor Indonesia (FRI). Seusai “mengawal” dan menuntaskan gerakan reformasi di kampus Unhas, Amran sibuk sebagai Sekretaris Eksekutif FRI wilayah Sulawesi Selatan mendampingi Rektor Unhas Prof.Radi.A.Gani yang menjadi Ketua FRI tahun 2000-2001.
FRI yang resmi berdiri tanggal 7 November 1998 di Bandung merupakan tempat berkumpulnya para Rektor dan intelektual di berbagai Universitas/Institut di Indonesia. Salah satu hal penting dari 5 kesepakatan pertemuan FRI di Bandung adalah “Para Rektor akan selalu bersama dengan mahasiswa dalam gerakan reformasi murni sebagai kekuatan moral dan intelektual, dan karena itu, para rektor akan membela para mahasiswa yang tertindas dan terlanggar hak asasinya.
Di bab ini diuraikan secara rinci berbagai aktivitas FRI termasuk mengawal pelaksanaan Pemilu 1999 sebagai pemantau dengan melibatkan 500 Perguruan Tinggi serta mengecam kebijakan UNDP (United Nation Development Programe) pada April 1999 yang memutuskan tidak akan mencairkan biaya pemantauan di delapan Propinsi.
Selaku Pembantu Rektor III bidang Kemahasiswaan, Amran Razak diliputi kegusaran dan merasa kebobolan atas hilangnya aktifis mahasiswa berusia 26 tahun tersebut. Dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada, upaya pencarian Maqbul terus dilakukan. Tidak hanya mencari informasi dari rekan-rekannya sesama aktifis mahasiswa namun juga dari pihak keluarga. Walau kemudian Maqbul akhirnya ditemukan, namun misteri kemana hilangnya masih belum terungkap.
Tentu sangat dituntut kedewasaan bersikap dan keluwesan memahami situasi kekinian dengan pendekatan kritis. Beruntung, dukungan penuh Civitas Academica dan alumni Unhas pada gerakan reformasi yang digagas mahasiswa membuat langkahnya menjadi lebih “ringan” serta mudah.
Kecerdasannya memainkan peran strategis secara lincah dan taktis dalam riuh gemuruh aksi mahasiswa menuntut reformasi, membuat posisi Amran Razak begitu menonjol. Seusai dilantik 10 Januari 1998, seketika ritme hidupnya berubah. Dalam salah satu narasi di buku ini, Amran menggambarkan tantangan yang bakal dihadapinya kelak yang akan bergelimang “air mata” jauh daripada kucuran “mata air kesejahteraan”, belum lagi kewajiban menyediakan waktu minimal “27 jam” sehari-semalam.
Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah tatkala Sekretaris Daerah Pemprov. Sul-Sel Hakamuddin Jamal meneleponnya untuk menangani aksi mahasiswa Unhas yang tengah berdemo di kantor Gubernur.
Amran berhasil melakukan pendekatan persuasif yang simpatik pada rombongan mahasiswa yang menamakan dirinya AMPD (Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi). Dalam perjalanan berikutnya, komunikasi yang baik terjalin antara aktifis AMPD dan sang “aktifis dari lorong kambing” yang juga menjabat Pembantu Rektor III Unhas tersebut.
Nuansa sentimental begitu kental terasa di akhir buku ini. Setelah sibuk bersama para aktifis mahasiswa memperjuangkan reformasi yang riuh dan berpeluh , Amran menghadapi tantangan yang tak mudah: menyelesaikan studi doktoralnya. Di halaman 207, digambarkannya begitu “melankolis”:
Gelisah !#?. Suatu perasaan yang bisa menimpa siapa saja ketika menghadapi ‘ketidakmenentuan’. Aku paham diriku, aku bukan politisi, aku hanya seorang demonstran. Lahir di antara aras lorong dan jalan raya, membuat perlawanan sekenanya, dan menabur pikiranpikiran semrawut menata bangsa.
Usai pemilihan rektor yang memastikan Prof.Dr.Radi A. Gany masuk periode kedua, banyak pertanda aku harus bergegas melupakan romantisme gerakan reformasi dan ‘merasa dekat’ dengan mahasiswa.
Kini, aku hanya punya satu pilihan tersisa, menyelesaian doktorku. Aku mulai terbiasa ke Fakultas Pasca Sarjana Unhas. Aku punya kegiatan tambahan mengurus kelengkapan studi, menanti surat keputusan tim promotor dan ko-promotorku, mengambil mata kuliah penunjang disertasi, dan konsultasi judul disertasi.
Aktivitasku di gedung Pasca Sarjana Unhas seperti bertandang kepengasingan, merasa berada di tengah ‘penjara akademik’, melihat wajah-wajah mahasiswa dalam tekanan studi. Menunggu dosen, seperti menunggu giliran panggilan di kantor kecamatan. Duduk sejenak di deretan kursi depan ruangan kelas lantai dasar Pasca Sarjana Unhas. Sesekali menyempatkan diri melirik mahasiswi ‘setengah-berumur’ yang sedang melintas.
Membaca buku ini membuat wawasan saya kian terbuka khususnya pada dinamika gerakan mahasiswa Unhas memperjuangkan reformasi di Makassar serta bagaimana rekonstruksi faktual yang terjadi pada saat itu.
Tidak hanya itu, dalam Kata Pengantar buku ini bertajuk “Institusionalisasi Reformasi”, DR.Andi Alfian Mallarangeng yang juga ikut aktif dan turun langsung berdemo bersama mahasiswa memperjuangkan reformasi 20 tahun silam itu, menulis:
Saya bahagia mendapat kesempatan yang banyak bersama Aksi Mahasiswa SOLID Unhas, sebagai dosen muda yang baru pulang studi dengan disertasi tentang Pemilu, membuat saya lebih mudah menyatu dengan mereka. Dalam beberapa hal strategis-konseptual, mahasiswa Unhas mampu menunjukkan respon mereka lebih awal dalam konteks gerakan Reformasi Indonesia.Salah satu bentuk kegigihan mereka adalah memperjuangkan Otonomi Daerah sebagai agenda reformasi nasional.
Akhirnya, buku ini tentu tak akan sekedar menjadi referensi bacaan untuk mempelajari bagaimana gejolak aksi reformasi yang terjadi 2 dasawarsa silam lewat “kacamata” seorang Pembantu Rektor III ketika itu, namun tentunya akan memantik inspirasi dan bisa menggali hikmah dari jalinan peristiwa yang telah terjadi bagi generasi muda masa kini untuk menata masa depan yang lebih baik melalui spirit reformasi.
Tak salah jika mantan Rektor UNHAS periode 1997-2006 Prof.DR.Radi.A.Gany menyatakan dalam kata pengantarnya : “Buku ini bisa jadi Oksigen bagi anak-anak kita yang kemudian membacanya, dia akan terinspirasi”.