Kontroversi Perpanjangan Izin Tambang PT. Vale Indonesia (Bagian 3)

Opini390 Dilihat

Untuk mewujudkan komitmen investasi sesuai amandemen Kontrak Karya tahun 2014, PT. Vale akan merealisasikan pembangunan pabrik pengolahan nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Melalui kemitraan dengan Taiyuan Iron & Steel (Group) CO, Ltd (Tisco) dan Shandong Xinhai Technology Co, Ltd (Xinhai) telah menandatangani perjanjian kerangka kerja sama proyek (PCFA) untuk fasilitas pengolahan nikel di Sulawesi Tengah pada tanggal 24 Juni 2021.

Kontroversi Perpanjangan Izin Tambang PT. Vale Indonesia (Bagian 3)

Sawedi Muhammad,
Alumni dan Sosiolog Unhas

Aksi Korporasi PT. Vale Indonesia

Dalam laporan resmi mengenai Sustainability Report 2020, PT. Vale Indonesia berkomitmen untuk mengontrol emisi gas rumah kaca melalui pengurangan 33% tingkat emisi karbon di tahun 2030 dan rantai suplai emisi karbon sebesar 15% di tahun 2035. Beberapa langkah konkret yang dilakukan PT. Vale dalam program yang disebut sebagai Vale Power Shift Initiatives adalah automasi dan penggunaan kecerdasan buatan, sistem elektifikasi yang dapat diperbaharui dan menggunakan energi alternatif untuk kegiatan pertambangan.

Selain itu, PT Vale telah menunda Coal Conversion Project 2 (CCP 2), meski program ini diklaim mengurangi biaya keuangan korporasi sebesar $40 juta per tahun. Melalui penundaan konversi batu bara, PT Vale menghindari penambahan emisi gas rumah kaca sebesar rata-rata 200.000 ton CO2 per tahun. PT. Vale juga menggunakan 30% biofuel (BBN) Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai biodiesel untuk kendaraan operasionalnya (Vale sustainability Report, 2020).

Untuk mewujudkan komitmen investasi sesuai amandemen Kontrak Karya tahun 2014, PT. Vale akan merealisasikan pembangunan pabrik pengolahan nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Melalui kemitraan dengan Taiyuan Iron & Steel (Group) CO, Ltd (Tisco) dan Shandong Xinhai Technology Co, Ltd (Xinhai) telah menandatangani perjanjian kerangka kerja sama proyek (PCFA) untuk fasilitas pengolahan nikel di Sulawesi Tengah pada tanggal 24 Juni 2021.

Fasilitas pengolahan yang akan dibangun terdiri dari delapan lini Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dengan perkiraan produksi sebesar 73.000 metrik ton nikel per tahun. Untuk kebutuhan biji nikel akan dipasok dari Kontrak Karya (KK) Blok 2 dan Blok 3 Bahudopi seluas 16.395 hektar.

Sementara untuk wilayah Pomalaa, Sulawesi Tenggara, PT. Vale menguasai KK seluas 20.286 hektar. Proyek tersebut adalah penambangan oleh PT. Vale dan pabrik pengolahan dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang akan dioperasikan oleh perusahaan patungan yang dibentuk oleh Sumitomo Metal Mining, Co Ltd (SMM) dan PT. Vale (SINDOnews, 8 November, 2021).

Pertanyaanya adalah, apakah kedua pilihan teknologi peleburan nikel yang diadopsi PT. Vale; Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) di Morowali dan High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pomalaa sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mencapai target yang dijanjikan Jokowi di KTT Roma dan komitmen dalam Presidensi Indonesia di G20?

Pertanyaan strategis inilah yang harus dijawab ketika menyoal perdebatan mengenai perpanjangan izin pertambangan PT. Vale Indonesia. Isu lingkungan menjadi penentu karena tidak hanya menyangkut komitmen pemerintah di level internasional ,tetapi juga berkaitan dengan traceability produk yang dihasilkan sekaligus penilaian mengenai tata kelola Environment, Social and Governance (ESG) yang komprehensif.

Satu hal yang pasti, baik teknologi RKEF dan HPAL keduanya menggunakan energi listrik yang sangat besar. Saat ini PT. Vale tidak punya banyak pilihan; membeli listrik dari PLN atau membuat sumber energi sendiri dari tenaga diesel atau batu bara. Dari segi lingkungan, penggunaan energi dari sumber yang tidak dapat diperbaharui akan berkontribusi besar terhadap polusi udara dan akan menghambat upaya pemerintah untuk mencapai net carbon sink dan transisi energi tahun 2030.

Selain itu, pembuangan limbah lumpur dari pengolahan HPAL yang dibuang ke laut dalam (deep sea tailing placement) sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan bawah laut (sea-based action). Demikian pula dengan eksploitasi pertambangan sistem open pit mengharuskan pembabatan hutan dalam jumlah yang sangat besar. Hampir seluruh wilayah izin pertambangan PT. Vale Indonesia di tiga provinsi berada dalam kawasan hutan produksi atau hutan lindung.

Penebangan hutan dalam jumlah ratusan sampai ribuan hektar per tahun sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah di COP26 yang menargetkan zero deforestation di tahun 2030.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *