Oleh Mulawarman
Jurnalis, Alumni Unhas
Beberapa waktu lalu, saya diceritakan sahabat saya di 4 perusahaan besar di Sulsel, Kalla Grup, Bosowa Grup, Tiran Grup dan IMB Grup yang tengah mencari kandidat pekerja. Dan yang membuat keheranan dan tanda tanya penulis, ke 4 perusahaan besar milik orang Sulsel ini, dari 53 calon pekerja yang mereka ke 4 perusahaan raksasa ini butuhkan, nyatanya ada lebih dari 3000 yang melamar atau mendaftar. Profil mereka rerata anak-anak muda, dan mayoritas masih fresh graduate.
4 perusahaan ini, boleh jadi hanya 4 dari sedikit perusahaan di Sulsel yang membutuhkan tenaga kerja kini. Di luar itu, dipastikan ada banyak perusahaan lama atau baru, yang kecil dan besar membuka lowongan kerja setiap tahunnya. Baik karena tidak ada kebutuhan, atau para karyawan yang selama ini sudah bekerja masih cukup produktif dan tetap bisa diandalkan perusahaan. Sehingga dirasa masih tidak perlu mencari kandidat pegawai baru.
Tantangannya tentu saja bukan di situ. Dengan hanya 53 kursi yang tersedia bagi pekerja baru, kemana 2947 pekerja lainnya? Tidakkah jumlahnya lebih besar dari itu? Menggambarkan fenomena apa? Bagaimana dampaknya? Siapa yang harus bertanggung jawab dan bagaimana solusinya?
Angkatan Kerja Baru
Angkatan kerja baru di Sulsel naik per Februari 2022. Menurut BPS jumlahnya mencapai 4.592.337 orang, naik 158.813 orang dibanding Februari 2021. Meski data ini menggambarkan total dari tiga kategori penduduk yang sudah bekerja, belum, dan sedang mencari pekerjaan, namun bila lihat fakta 4 perusahaan di atas, sepertinya porsi para pencari kerja atau belum bekerja dimungkinkan lebih banyak. Terlebih lagi bila melihat data jumlah pengangguran di Sulsel p yang mencapai 535,53 orang per Agustus 2022.
Dari pengamatan sekilas saja, misalnya, kita dapat menghitung secara sederhana penduduk Sulsel yang siap kerja setiap tahunnya. Barometer bisa kita pakai Unhas yang mewisuda sarjananya empat kali setiap tahun. Setiap wusudanya tak kurang dari 1400 mahasiswa dari berbagai jenjang, mulai dari sarjana hingga spesialis. Tahun ini saja, Unhas pada periode II tahap 2 tahun akademik 2022 meluluskan sebanyak 1412 lulusan baru.
Jumlah itu baru Unhas, bagaimana bila kita hitung dengan kampus yang lain. Dari data Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), tahun lalu menyebutkan jumlah perguruan tinggi di Sulsel mencapai 265, terdiri dari kampus negeri, swasta, institut, sekolah tinggi, hingga akademi. Jumlah itu menempatkan Sulsel berada di urutan ke-6, provinsi dengan jumlah perguruan tinggi terbanyak di Indonesia. Sulsel berada di bawah Provinsi Jawa Barat (581), Jawa Timur (544), DKI Jakarta (424) yang berada di urutan 1,2 dan 3 terbanyak perguruan tingginya.
Dapat dibayangkan, berapa banyaknya dari 265 total perguruan tinggi yang meluluskan sarjananya dalam waktu bersamaan setiap tahunnya di Sulsel, yang kalau kata Andi Amran Sulaiman Ketua IKA Unhas, sarjana yang lahir di Sulsel setiap tahunnya, menembus angka 25.000. Belum lagi bila ditambah rekan-rekan muda yang seangkatan mereka, namun tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Dipastikan jumlahnya akan lebih banyak lagi.
Profil para lulusan perguruan tinggi itu umumnya adalah anak-anak muda yang independen, bersemangat, dan produktif. Dan pastinya mereka bergelar sarjana. Bandingkan dengan jumlah keseluruhan anak muda lainnya di Sulsel, yang pastinya porsinya lebih besar. Dari data BPS tahun lalu menyebut 9,19 juta jiwa penduduk Sulsel, dan 59,15 % didominasi oleh anak-anak muda yang lahir rerata dari tahun 1980, hingga 2012. Generasi ini sering disebut Gen-Z dan milenial.
Jumlah anak muda akan semakin bertambah seiring dengan peningkatan total penduduk di Sulsel, yakni dengan laju 1,11% per tahun. Itu artinya tantangan Sulsel ke depan, akan semakin banyak jumlah penduduk yang berasal dari anak-anak muda yang berada di usia produktif.
Inilah fenomena bonus demografi yang sering disebut, di mana jumlah penduduk usia muda lebih besar dibanding penduduk usia lainnya. Sesuai prediksi bahwa negara kita saat ini tengah mengalami fase bonus demografi, dan puncaknya terjadi pada tahun 2030. Sulsel dihadapkan pada ledakan bonus demografi itu.
Penyebutan bonus pada demografi sejatinya dapat menjadi keuntungan bagi pembangunan di Sulsel, pasalnya memiliki SDM muda yang melimpah. Namun justru bisa berubah menjadi “kutukan demografi” bila tidak mampu mengelolanya, terutama ketika besarnya potensi anak-anak muda yang memiliki semangat dan penuh keberanian itu dan tidak dapat terserap oleh dunia kerja. Dampaknya, meluas problem sosial anak muda dengan berbagai derivasinya.
Salah contohnya, tumbuh suburnya geng motor di Makassar, yang menurut pihak kepolisian setelah pekan lalu menggerebek sekitar 50 anggota geng motor berpesta Miras, rerata beranggotakan 100 orang yang berusia 17 sampe 25 tahun yang tidak memiliki pekerjaan tetap, kalau tidak mengatakan mereka seluruhnya pengangguran.
Geng motor ada puluhan di Makassar, sehingga bisa dikatakan ada ribuan anak muda kita yang tidak memiliki pekerjaan tetap menjadi anggota geng motor sekaligus geng pemanah (busur) yang berpotensi besar memicu persoalan sosial akut di Makassar dan Sulsel.
*Ruang Ekonomi dan Politik Yang Tidak Ramah*
Bonus demografi sebetulnya bukan hanya terjadi di Sulsel khususnya dan Indonesia pada umumnya, bahkan di negara-negara lain pun turut mengalaminya. Tiga negara yang telah lebih dulu mengalami, yaitu Jepang, China, dan Korsel. Ketiga negara ini sukses dengan meningkatkan keterampilan melalui penciptaan industri rumah tangga yang memproduksi berbagai komponen peralatan elektronik, seperti Hp, televisi, kulkas, dan lain-lain.
Hasil produksi industri rumahan tersebut selanjutnya diserap oleh industri besar. Kebijakan pemerintahannya mampu membuat terkoneksi antara rantai supplay-demand industri rumah tangga yang melakukan perakitan dengan perusahaan besar, sehingga satu dengan lainnya terjadi simbiosis mutualis. Dan setiap daerah memiliki keunggulan produksinya, seperti Kota Nanning yang unggul dalam bidang pertaniannya dan Kota Shanghai sebagai pusat bisnis dan perdagangannya.
Dalam konteks Sulsel, bonus demografi ini menjadi tantangan yang tidak mudah. Di tengah iklim pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas atau tidak cukup substantif, yakni sebesar 4,74% pada semester I 2022. Pertumbuhan ini masih lebih banyak ditopang oleh sektor tradisional, belum mengandalkan sektor yang berbasis teknologi tinggi. Demikian juga sektornya tidak berbasis padat karya yang mampu menyerap SDM-SDM muda Sulsel.
Karenanya menjadi tantangan yang tidak mudah pemerintah mampu mengatasi bonus demografi tersebut. Terutama dalam menyediakan lapangan kerja. Dan potret ribuan pelamar kerja di Tiran Grup, IMB Grup, Bosowa Grup dan Kalla Grup di atas, menggambarkan betapa banyaknya anak-anak muda kita, para sarjana yang tidak bisa mengakses pekerjaan yang layak saat ini.
Di tengah minimnya tersedia lapangan kerja baik yang formal maupun informal, kita menyaksikan wajah lain dalam iklim politik di Sulsel. Yaitu gelombang masuknya anak-anak muda ke politik praktis, baik di organisasi partai atau underbouwnya. Anak-anak muda dengan berbagai keterampilan dan koneksinya mencoba berbagai peruntungan di dunia politik, dari ikut-ikut senior, aktif jadi Timses, atau bahkan bagi yang punya uang, percaya diri mencalonkan diri.
Hanya saja di tengah fenomena masuknya kader-kader muda di politik di Sulsel, karena akibat tidak adanya saluran pekerjaan, nyatanya dunia politik Sulsel sendiri tidak cukup ramah. Yakni, politik Sulsel masih menjadi privelege sejumlah dinasti politik tertentu, para elit politik inkumben lebih mementingkan memperjungkan atua memberi ruang dan peluang ke keluarganya, dan para keluarga oligarki yang memiliki modal besar atau koneksi dengan para pemilik modal besar. Dalam keadaan politik oligarki ini, mereka para anak-anak muda tetap tidak bisa melakukan mobilitas vertikal.
Cepat atau lambat ledakan demografi dari usia muda di Sulsel itu akan mengambil jalan takdirnya. Sungguh-sungguh menjadi bonus atau kutukan. Yang terakhir ini kita tidak ingin terjadi. Karenanya pemerintah daerah, harus cekatan dengan kebijakan politik demografi yang lebih substantif, dengan menyiapkan kanal-kanal baru berupa lapangan kerja yang bisa menampung anak-anak muda Sulsel yang potensial, bersemangat dan produktif. Tabe, bisakah?