Oleh : Rusman Madjulekka
ISRAN Noor memberikan kuliah umum di hadapan civitas akademika dan mahasiswa/mahasiswi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (26/1/2023) pagi. Dan secara kebetulan, saya termasuk yang mendapat kiriman pemberitahuan perihal kegiatan untuk hadir. Karena jarak, maka saya hanya sempat mengikuti secara daring.
Tema ceramahnya adalah “Tantangan dan Peluang IKN Nusantara”. Meski tidak ada yang baru, ibarat lagu lama tapi masih enak didengar. Kita sudah banyak tahu dan membaca topik seputar IKN Nusantara. Namun karena disajikan dengan guyon dan pencerahan oleh Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) membuat topik itu menjadi menarik. Dan apalagi, yang bersangkutan boleh dikata jadi saksi sejarah proses perjalanan hingga penetapan lokasi IKN Nusantara di Penajam, Kaltim.
Mengapa pemaparan Isran, begitu ia akrab disapa, mencerahkan? Pertanyaan ini menjadi pembahasan sejumlah audiens dalam sesi dialog yang juga diperkuat oleh Rektor Unhas, Prof. Jamaluddin Jompa dan moderator Sawedi Muhammad, sosiolog dari FISIP Unhas.
Saya mencatat setidaknya ada dua hal. Yakni sosok “Pak Isran” dan pikirannya terkait ketimpangan pembangunan. Sosok ini nampak gaya orasinya yang khas di podium. Dia benar-benar singa podium. Bicaranya sederhana, tapi lugas. Tanpa basi-basi. Matanya tajam seperti singa. Menatap seluruh sudut audiens yang hadir. Sesekali lontaran kalimatnya kerap mengundang audiens menebak-nebak makna tersirat.
Para peserta kuliah umum pagi itu ditarik oleh Isran untuk berinteraksi dengan dirinya, seakan-akan dia tidak berjarak. Dia berbicara tentang hubungan sejarah dan perdagangan antara orang Kutai dan Bugis, wawasan kebangsaan, nasionalisme, dan nilai-nilai lokal seperti “siri” yang bisa mengangkat martabat dan kehormatan Indonesia sebagai bangsa berdaulat. Dia juga berbicara tentang dirinya, pengalamannya “mengawal” IKN Nusantara yang penuh liku.
Bahkan dalam beberapa bagian, Isran berusaha pula mengucapkan bahasa dan dialek khas Sulawesi Selatan seperti dalam bahasa Bugis “padamo” (sama saja) “iga asennu” (siapa namamu?) atau semua pada akhirnya bermuara pada “dui” untuk menggambarkan “dana” atau “cuan” sebagaimana dipahami di Indonesia.
Dengan gayanya yang lugas dan santai, Isran menyapa semua undangan yang hadir. Tak lupa, Isran yang mengenakan kemeja batik memperkenalkan satu per satu rombongan yang menyertainya dari Kaltim. Ada Wagub Hadi Mulyadi (yang kebetulan alumni Unhas), ada Kepala dinas, mantan Walikota Bontang dr.Sofyan Hasdam, Prof.Jafar Haruna, Zainal Bintang (direksi perusda Kaltim), dan beberapa tokoh dan akademisi lainnya.
————-
“ALASAN perpindahan ibukota negara bukan sekedar perpindahan fisik atau lokasi saja, tapi soal peradaban baru Indonesia. Dimana didalamnya ada tranformasi ekonomi yang juga mencakup aspek pemerataan pembangunan. Yang lainnya, bisa kalian baca sendiri. Sudah banyak dipublikasi. Kalau saya banyak bicara di forum ini, nanti dikiranya mengajari buaya berenang hehe…” kata Isran yang disambut riuh hadirin dan peserta.
Dalam kuliah umum yang berlangsung hampir 3 jam itu, Isran banyak menyoroti ketimpangan dari sistem mekanisme penganggaran dan pembangunan infrastruktur antara di Jawa dan luar Jawa. Ketuanya para Gubernur se-Indonesia ini menyebut 54 % alokasi dana infrastruktur untuk Jawa, sementara sisanya baru dibagi-bagi di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan seterusnya. Karena itu, dia berharap ada perbaikan regulasi dan keadilan dalam distribusi anggaran untuk daerah sehingga tidak terjadi ketimpangan antara di Jawa dan luar Jawa.
Selain itu Isran meminta sama-sama berjuang agar daerah mendapatkan alokasi dana perimbangan yang adil antara satu daerah dengan daerah lain. “Mestinya bukan 30 persen dana untuk daerah, tapi 70 persen,” tegasnya.
Isran membandingkan antara Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok dimana daerah diberikan keleluasaan untuk mengelola pendapatan daerah. “Kalau saya baca di China, 30 persen untuk pusat dan 70 persen dikelola daerah, mungkin kita tidak usah 70 persen lah, cukup 60:40 atau 50:50,” ujar Isran.
Isran menyebut dengan diterbitkannya PP No.33 Tahun 2018 dengan Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah, wewenang daerah untuk mengelola anggaran seharusnya diperluas.
Beberapa sektor saja yang dikelola secara terpusat seperti urusan pertahanan, keamanan, luar negeri, agama serta hukum dan HAM, serta utang luar negeri. Tapi sisanya yang lebih banyak dikelola daerah sehingga alokasi anggaran seharusnya lebih besar untuk daerah.
Demikian catatan saya terhadap pemaparan yang mencerahkan dari Isran Noor. Semoga ada hikmah yang dapat kita petik, terutama untuk bangsa Indonesia. *
Jakarta, 26 Januari 2023
* Penulis alumnus FISIP Universitas Hasanuddin (Unhas) dan bekerja sebagai editor buku dan journalist freelence.