Saya adalah makelar kopi, tinggal di Lauriergracht No 37. ….Lalu, ” Maaf, kata saya selalu hormat, saya adalah Tuan Droogstoppel, Batavus Stroogstoppel…Last & Co adalah firma, makelar kopi di Lauriergr…”
Demikian kalimat pertama di bab satu, dilanjut di bab dua _Max Havelar_ karya Multatuli, nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. Sebuah karya sastra yang ditulis hanya dalam waktu sebulan. Terbit 1860, yang langsung menyedot perhatian dunia kala itu. Diterjemahkan dalam berbagai bahasa dunia kemudian.
Satu kalimat pembuka itu saja membuat saya menerawang jauh ke sekitar 170an tahun yang lalu. Apa yang terjadi di perkebunan kopi di daerah-daerah yang dikuasai Belanda saat itu.
Membayangkan bagaimana perkebunan Belanda mempekerjakan tenaga pribumi yang dibayar sangat murah.
Sementara itu, rakyat dipaksa lewat program tanam paksa menanam komoditi yang laku di pasar dunia.
Belanda ketika itu menyadari terjadinya kesenjangan antara permintaan dan penawaran.
Pasar internasional meminta lebih banyak kopi berkualitas tinggi. Maka, dari sinilah muncul perbudakan baik di Afrika, Brasil dan Amerika Latin, dan juga Nusantara.
Sebagai sastrawan yang juga Asisten Residen Multatuli lihai dalam memaknai guncangan zaman menjelang tahun 1900an.
Tetapi pemberontakan raja-raja lokal yang terjadi di Nusantara antara tahun 1800-1900-an menjadi produksi Java tak bisa diandalkan.
Amerika Latin
Hal yang mirip juga terjadi di Amerika Latin seperti di Brasil yang dikuasai Portugis.
Saat kopi menurun di Hindia Barat, kopi tumbuh subur di Amerika Latin. Hindia Barat berada di dalam penjajahan Prancis adalah sebuah wilayah di Samudra Atlantik Utara, sekitar Karibia.
Kebun kopi pertama di Brasil dilaporkan ditanam oleh Francisco de Melo Palheta di Pará pada tahun 1727. Brasil kemudian menjadi negara adidaya kopi di bawah kekuasaan Portugis dan terus demikian setelah kemerdekaan.
Pada tahun 1830-an, kopi telah menjadi ekspor terbesar Brasil dan menyumbang sekitar 30% dari produksi kopi dunia. Tapi itu sangat merugikan manusia karena perbudakan itu.
Perkebunan kopi Brasil mengandalkan tenaga kerja budak kulit hitam dan pribumi.
Buruh kontrak bekerja dan hidup dalam kondisi yang mengerikan. Para pemilik perkebunan memperlakukan buruh mereka sebagai sesuatu yang dapat disingkirkan.
Mereka merasa lebih mudah mengimpor budak baru ketika sebagian meninggal karena terlalu banyak bekerja. Seperti juga di perkebunan Belanda di Nusantara, Portugis memperlakukan budak mereka yang ada tanpa belas kasihan.
Kebanyakan budak tidak bertahan tujuh tahun sejak perbudakan awal.
Brasil menjadikan perbudakan ilegal pada tahun 1888, tetapi pada saat itu diperkirakan empat juta budak telah dibawa ke sana dari Afrika.
Sedangkan di bagian lain Amerika Latin, para sejarawan menulis, industri kopi lebih bergantung pada tenaga kerja masyarakat adat. Orang kulit hitam tidak terlalu sering digunakan sebagai budak di negara-negara Amerika Tengah, di mana orang Maya dan penduduk asli lainnya dijadikan sebagai semi-budak.
Suku Maya menempati tanah subur yang optimal untuk menanam kopi dan mereka semakin kehilangan haknya oleh pemerintah kolonial.
Mereka diusir dengan kejam oleh militer karena permintaan akan kopi meningkat, dan dipaksa menjadi budak oleh penindas mereka.
Seperti juga di sini, pemberontakan dan pemberontakan adalah hal biasa selama itu. Kebrutalan dan penindasan pemerintah sering kali menjadi tanggapannya.
Kesenjangan
Sejarawan Phyllis Johnson menyoroti bagaimana warisan kolonialisme masih terlihat jelas dalam rantai pasokan kopi. Dia bercerita tentang bepergian di Amerika Latin dan melihat perbedaan rasial antara pemilik perkebunan dan buruh.
Dan saat kita membahas jatuhnya harga kopi , kita berbicara tentang jutaan orang kulit berwarna di seluruh Amerika Latin, Asia, dan Afrika yang hidup dalam kemiskinan dalam produksi kopi yang terjangkau untuk pasar Barat.
Meskipun beberapa kopi Afrika disebut-sebut sebagai yang terbaik di dunia dan Afrika Tropis menjadi tempat kelahiran kopi, benua ini tidak pernah naik ke tingkat produksi yang sama dengan Amerika Latin.
Ini juga terkait dengan kolonialisme dan perbudakan karena banyak bekas jajahan Eropa di Afrika dibiarkan tanpa infrastruktur yang kuat dan sistem politik yang stabil ketika pendudukan berakhir.
Kita bisa melihat kondisi mutakhir di Ethiopia, Rwanda, dan negara-negara Afrika yang mudah guncang lainnya.
Sebuah studi di Brasil menemukan bahwa “tingkat pekerja anak kira-kira 37% lebih tinggi—dan pendaftaran sekolah 3% lebih rendah—dibandingkan rata-rata di daerah penghasil kopi”. Terlihat bahwa anak-anak berusia 6 tahun sering bekerja 10 jam sehari. Mereka terpapar banyak bahaya kesehatan dan keselamatan.
Belum lagi bahaya akibat paparan pestisida
Indonesia cukup beruntung. Tidak ada lagi perbudakan di perkebunan besar seperti yang dimiliki BUMN. Para petani juga mempunyai keleluasaan untuk memilih komoditas, sekaligus memilih varietas. (Hendro Basuki, Gunungpati-Semarang)