Oleh Ahmad Musa Said
Dalam al-Qur’an terdapat pembahasan tentang Ibadurrahman (Hamba yang maha pengasih) atau dapat dikatakan sebagai kekasih dari yang Maha Pengasih (QS. Al-Furqan [25] : 63-77). Salah satu ayat dalam tema tersebut adalah ayat 67 yang berbunyi :
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar. (QS. al-Furqan [25]: Ayat 67).
Bagaimana pemahaman infaq dalam ayat ini? Apakah berarti bersedekah dan berderma untuk kebaikan juga ada istilah Israf (berlebih-lebihan)? Mari kita menengok penjelasan ayat ini dari para ulama terdahulu.
Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah dan Abdullah bin Abbas RA menjelaskan bahwa yang berlebih-lebihan adalah membelanjakan harta untuk kemaksiatan pada Allah Swt. meskipun jumlahnya sedikit. Dan kikir adalah menahan diri dari membelanjakan harta untuk yang diwajibkan oleh Allah (Tafsir Ath Thabary).
An Nahhas berkata bahwa pendapat yang terbaik mengenai ayat ini adalah siapa yang mengeluarkan hartanya bukan dalam rangka ketaatan pada Allah, maka itulah berlebih-lebihan, dan siapa yang menahan hartanya dari ketaatan pada Allah, maka itulah kekikiran, dan siapa yang berinfaq dalam rangka taat pada Allah itulah yang Qawam (pertengahan dan wajar).
Juga dikuti pernyataan Ibnu Abbas RA yang menyatakan bahwa siapa yang meskipun membelanjakan 1.000 dirham tapi untuk yang hak, maka itu bukanlah berlebih-lebihan, dan siapa yang membelanjakan selain untuk yang hak, maka itulah berlebih-lebihan meskipun hanya sedirham, dan siapa yang menahan hartanya dari yang hak, maka itulah kekikiran (Tafsir Al Qurthubi).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini yakni mereka tidak menghambur-hamburkan hartanya dalam berinfak lebih dari apa yang diperlukan, tidak pula kikir terhadap keluarganya yang berakibat mengurangi hak keluarga dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi. Tetapi mereka membelanjakan hartanya dengan pembelanjaan yang seimbang dan selektif serta pertengahan.
Sebaik-baik perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Namun sepertinya yang dimaksud Ibnu Katsir dalam pendapatnya ini ialah infak secara umum seperti dalam keperluan sehari-hari, baik untuk pribadi maupun keluarga.
Ibnu Katsir juga mengutip hadits nabi Muhammad Saw. : Seorang lelaki yang bijak ialah yang berlaku ekonomis dalam penghidupannya (HR. Ahmad).
Iyas ibnu Mu’awiyah mengatakan bahwa hal yang melampaui perintah Allah adalah perbuatan berlebih-lebihan. Selain dia mengatakan bahwa berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta itu bila digunakan untuk berbuat durhaka kepada Allah. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa tidak ada istilah berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta di jalan Allah (Tafsir Ibnu Katsir).
Adapun kadar atau ukuran kewajaran dalam berinfak sangat tergantung pada kondisi pribadi seseorang. Itulah yang menyebabkan Rasulullah SAW membiarkan Abubakar RA menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah, namun melarang yang lainnya untuk melakukan hal tersebut (Tafsir Al Qurthubi).
Maka hari ini, tak ada yang dapat mengetahui kadar kewajaran seseorang berinfaq di jalan Allah selain dirinya sendiri dan tentunya Sang Maha Pengasih. Namun jika melihat pendapat Ibnu Katsir, dapat dipahami bahwa berlebih-lebihan itu jika seseorang berinfak di jalan Allah namun sampai menyiksa diri dan keluarga yang menyebabkan kebutuhan keluarganya tidak terpenuhi dan tidak tercukupi. Karena Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya (QS. Al Baqarah [2]: 286).
Semoga kita semua dapat meraih predikat kekasih sang maha pengasih (Ibadurrahmaan) dalam hidup ini. Shadaqallaahulazhiim. Wallahu a’lam bishshawaab.
———
Penulis adalah Pengurus Divisi Keagamaan PP IKA Unhas