SURVEI LSI-DJA mutakhir melaporkan bahwa elektabilitas Anies Baswedan di Sumatera Utara (Sumut) hanya 5%. Itu berarti, jika jumlah pemilih di Sumut berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) yang telah dirilis KPU sebesar 10 Juta lebih, maka pemilih Anies di provinsi tersebut hanya 500 ribu lebih. Kira-kira, apakah angka ini logis?
Pada survei LSI-DJA tersebut, katanya, total sampel yang digunakan secara nasional, 1.200 responden. Jika sample itu didistribusi secara proporsional berdasarkan jumlah pemilih, maka jumlah sampel yang jatuh di Sumut, hanya sekitar 64 responden. Bagaimana menghitungnya?
Secara nasional, Sumut menyumbang pemilih sebesar 5,3%. Ini dasar pendistribusian sample. 5,3% dikali 1.200, ketemu angka 63,6 atau dibulatkan menjadi 64. Sampel sejumlah itu oleh LSI-DJA dianggap mereprensentasi total pemilih Sumut yang mencapai 10 Juta lebih, dengan margin of error (MOE) 12,5%. Ini semacam survei sub sample.
Biasanya, jika jumlah sampel hanya sebesar itu, paling terdistribusi pada 6 – 10 desa secara simple random, sehingga bisa saja semua sampel jatuh di kabupaten sekitar Danau Toba. Maka jangan heran jikalau Anies hanya 5%. Coba jika semua sampel jatuh di wilayah Mandailing, bukan tak mungkin Anies 90%. Kurang lebih begitu logika samplingnya.
Lalu, coba bandingkan hasil survei sub sample di atas dengan kunjungan Anies di Medan pada 04 November 2022. Jumlah massa yang menyambutnya diperkirakan tidak kurang dari 200 ribu. Jangan salah, sebab ini juga dapat dimaknai sebagai sampel.
Massa sebesar itu sama dengan 2% dari total pemilih Sumut. Pertanyaannya, apa kira-kira logis jika pemilih Anies saat ini di Sumatera Utara hanya 500 ribu?
Oleh karena itu dapat dipahami jika kemudian Partai Nasdem Sumatera Utara meradang atas publikasi survei LSI-DJA, yang dinilai sangat tendensius. Adjie Alfaraby, peneliti LSI-DJA, pun berkilah bahwa survei yang dilakukan lembaganya, sudah sesuai standar dan dipertanggungjawabkan.
Artinya, pernyataan Adjie Alfaraby itu dapat diinterpretasi, bahwa dalam rangka merespon somasi yang dilayangkan oleh Tim Hukum Partai Nasdem Sumatera Utara kepada LSI-DJA, ia tak keberatan jika dilakukan audit proses, bagaimana survei tersebut dilakukan.
Untuk audit proses survei pada konteks ini, dapat dimulai dari pemeriksaan kuisioner hasil wawancara dengan responden. Sebab kuisoner tersebut sudah cukup membuktikan banyak hal. Pertama, bahwa survei benar-benar telah dilakukan.
Kedua, distribusi sampel dapat diketahui berdasarkan data domisili responden. Hal ini penting untuk mengetahui apakah pemilihan sampel dilakukan sudah sesuai dengan kaidah random, atau sengaja “diatur” sedemikian untuk tujuan tertentu.
Ketiga, melakukan tabulasi/input data yang khusus menyangkut pertanyaan mengenai elektabilitas, untuk kemudian diolah. Di tahap ini, angka persentase elektabilitas Bacapres sudah dapat diketahui. Jika survei bersangkutan benar-benar adalah “pesanan”, maka pada tahap inilah akan ketahuan, jika data memang telah dimanipulasi untuk memenuhi pesanan.
Apakah LSI-DJA bersedia diaudit seperti itu? Jika bersedia, maka saya menyimpulkan bahwa LSI- DJA benar adanya, sehingga layak diacungi jempol. Dalam pengertian bahwa hasil survei yang telah dipublikasinya, memang berasal dari kegiatan survei yang dilakukan sesuai standar metode penelitian survei.
Sebaliknya, jika tak bersedia dengan alasan “rahasia”, maka patut dicurigai bahwa tujuannya memang hendak melakukan framing. Sebab, jika LSI-DJA benar-benar jujur di dalam melakukan survei, maka semestinya tak keberatan diaudit demi sebuah kebenaran.
Sebab untuk membuktikan sebuah survei telah dilakukan dengan benar, hanya audit proses. Membantah hasil survey dengan hasil survey, seperti yang disarankan Denny JA, itu hanya membandingkan hasil survei. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan apakah telah dilakukan survei dengan benar.
Begitu pula jika muncul keberatan atas publikasi yang dilakukan, tidak cukup hanya berkilah, “Sebaiknya hasil survei dibantah dengan hasil survei.” Ini disebut cari enaknya sendiri. Pihak yang dirugikan publikasi itu, bagaimana? Secara ilmiah memang tidak salah. Tetapi secara moral, apa tidak merasa bersalah telah merugikan pihak lain?
Bertolak dari kasus di atas, pada kesempatan ini penulis mencoba memunculkan sebuah perspektif, bahwa lembaga survei yang hendak mempublikasi hasil surveinya, harus bersedia diaudit sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Siapa yang akan mengaudit? Mereka yang merasa dirugikan oleh publikasi itu, difasilitasi oleh semacam Lembaga arbitrase.
Tidak seperti selama ini. Nyaris semua Lembaga survei berbuat semena-mena. Mempublikasi hasil survei untuk menggiring dan membangun opini untuk kepentingan pihak tertentu, dan merugikan pihak lainnya. Mengapa? Karena tidak ada proses audit yang dapat mengungkap kebohongan mereka, jika memang melakukan kebohongan.
Hingga di sini, saya tiba-tiba teringat pada Muhammad Husain Pannu, Mantan Kepala Divisi Peneltian LP3ES. “Saya tidak bisa membayangkan jika survei opini yang kita kembangkan ini, kelak disalahgunakan,” ucapnya lirih pada suatu sore di ruang kerjanya usai pencoblosan Pemilu 1997.
Jangan-jangan, apa yang dirisaukan Kak Uceng, begitu saya menyapanya, kala itu memang sudah terjadi. Mungkin itu pula sebabnya ia tak pernah lagi mau bicara tentang survei opini publik.
Jika memang tidak punya motif di balik publikasi yang dilakukan, maka sepantasnya hasil survei sub sample seperti di Sumut itu, tidak diumumkan secara terpisah ke publik (ym).
Makassar, 13 Oktober 2023