KABARIKA.ID–PROFESOR TASRIEF SURUNGAN Fisikawan Unhas yang sekaligus pemerhati penyatuan awal bulan Hijriah menjelaskan tentang kapan tepatnya awal Ramadhan 1445 H.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Penetapan awal Ramadhan harus berbasis syariah. Syariah artinya sistem hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadith Nabi. Syariah mengatur secara menyeluruh tata kehidupan, baik ritual (peribadatan) maupun sosial kemasyarakatan (muamalah),” jelas Anggota Dewan Kehormatan Unhas itu.

Perintah puasa dan tata cara pelaksanaannya terdapat dalam Alquran dan Hadith. Tentang kewajiban berpuasa, itu ditegaskan dalam Shurah Al Baqarah ayat 183; Sedangkan waktu pelaksanaannya yaitu pada bulan Ramadhan disebutkan pada ayat selanjutnya:

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan Ramadhan (sehat walafiat, tidak berhalangan) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS 2:185).

Lantas bagaimana mengenali atau apa kriteria masuknya Bulan Ramadhan?

Nabi menekankan dalam salah satu Hadith yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: Berpuasalah karena melihat (Rukyat) Hilal dan berbukalah (berlebaran) karena melihat hilal, dan jika berawan maka cukupkanlah bulan Sya’ban hingga 30 hari.

“Jadi kriteria masuknya bulan Ramadan adalah terlihatnya hilal pada akhir bulan Sya’ban, yaitu saat matahari terbenam pada Tanggal 29 Sya’ban. Untuk tahun ini, 1445 H 29 Sya’ban jatuh pada hari Ahad, 10 Maret 2024,” kata Prof Tasrief.

“Jika hilal tidak terlihat (invisibel) pada saat magrib di hari tersebut, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, dan awal puasa adalah hari setelah besoknya (the day after), yaitu hari Selasa, 12 Maret 2024,” sambungnya.

Terkait potensi perbedaan mengawali puasa, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Kementerian Agama, Prof. Tasrief menjelaskan bahwa seharusnya itu bisa dihindari jika semua pihak memahami dengan benar akar perbedaan dan bersedia memilih bersatu.

Menurut Guru Besar Fisika Teoretik ini, akar masalah perbedaan yang sering terjadi BUKAN karena perbedaan metodologi yang digunakan (Rukyat dan Hisab), dan bukan pula karena perbedaan ormas (organisasi kemasyarakatan).

Perbedaan itu terjadi akibat ada pihak yang keliru mendefinisikan hilal dengan benar, padahal definisi hilal sudah sangat tegas disebutkan dalam Alquran, yaitu QS 2:189: Mereka bertanya kepadamu tentang Hilal (bulan sabit), Katakanlah: “Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji

Diperlukan pemahaman yang memadai untuk bisa mengaitkan ayat ini dengan Hadith Nabi SAW tentang Hilal. Karena disebut hilal sebagai tanda maka logika dasarnya adalah harus ada wujud yang dapat dilihat (dikenali). Analogi sederhananya, semua ormas atau partai memiliki tanda gambar.

Wajah setiap insan ada yang bisa dikenali, yang membedakan satu dengan yang lain. Kenyataannya, hilal yang bentuknya menyerupai sabit menjadi penanda waktu (tanggal).

Tanggal 1 untuk yang paking tipis, Tanggal 2 setelah itu, dst, hingga purnama, dan kembali pada bentuknya yang tua (QS 36:39). Selain hal ini, lanjut jebolan PhD dari Jepang ini, menyebut pula bahwa Alquran memang membedakan hilal dan bulan dimana digunakan kosa kata berbeda. Alquran menyebut tiga kosa kata berbeda, yaitu hilal, qomar dan syahrun; namun ketiganya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kosa kota yang sema. Hilal sebagai bulan sabit (crescent), Qomar sebagai bulan (benda langit, moon), dan syahrun sebagai bulan untuk durasi waktu (month), misalnya Syahru Ramadhan (Bulan Ramadhan).

Kosa kata hilal hanya disebut sekali dalam Alquran, itupun dalam bentuk jamak (plural), yaitu ahillah (hilal-hilal) sementara kosa kata Qomar disebutkan dalam sejumlah ayat, misalnya QS Yasin 39-40. Bahkan terdapat satu Surah Alquran dengan nama Al-Qomar (QS 54).

“Jadi, perbedaan mengawali puasa atau berlebaran adalah akibat kurang cermat terhadap pesan/perintah Al Quran dan Hadith,” ungkap Ketua Program Studi Doktoral Fisika FMIPA Unhas ini.

Lalu apakah potensi mengawali puasa dapat dihindari? Prof. Tasrief Surungan menegaskan bahwa peluangnya ada, namun perlu waktu. Syaratnya: umat terutama ulama dan kaum intelektualnya dapat memahami dengan benar dan taat pada perintah Syariah, bukan keliru dan/atau mengabaikannya.

“Meskipun ada keinginan dan tekad untuk mengikuti perintah syariah, namun jika keliru memahaminya maka tetap saja akan menimbulkan perbedaan. Bahkan, akan ada klaim dari pihak yang keliru dan menilai pandangannya benar,” ungkap Prof. Tasrief.

Konsep wujdul hilal haqiqi, terlepas dari siapa penganutnya, secara ilmiah keliru. Alasannya, karena konsep itu menyamakan antara hilal dan bulan. Menurut perhitungan astronomis, di semua wilayah tanah air, pada hari Ahad, 10 Maret 2024, bulan berada pada ketinggian lebih kecil dari 1 (satu) derajat di atas ufuk saat magrib. Hilal tidak mungkin visibel, tidak mungkin teramati sebab residu cahaya matahari (syafak), masih lebih dominan.

Itu sebabnya secara fisis (ilmiah), ada syarat ketinggian minimum bulan di atas ufuk. Jika tetap diklaim bahwa hilal sudah wujud, namun tidak terlihat, maka itu artinya menyamakan antara hilal dan bulan. Bulan yang di bawah ufuk pun nanti akan diklaim sebagai hilal.

“Ini jelas mengingkari keberadaan atau definisi hilal oleh Alquran, yaitu sebagai tanda waktu dan haji. Yang namanya tanda, maka mutlak harus ada simbol, ada kenampakan alias visibilitas. Konsep wujudul hilal haqiqi tidak memiliki dasar syariah sekaligus dasar ilmiah,” tegas Prof. Tasrief.

Sebenarnya ada jalan tengah yang dapat menjadi solusi bagi penganut Metoda Rukyat dan Hisab yaitu dengan mengadopsi aspek visibiltas hilal ke dalam perhitungan (Hisab). Ini yang dikenal sebagai Imkan Arrukyat, merukyat melalui perhitungan dengan berpijak di atas definisi hilal yang tepat.