Dalam pengamatan saya selama Dewan Kesenian Sulawesi Selatan dan Relasi Politik Ekonomi

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KABARIKA.ID- Dalam pengamatan saya selama beberapa dekade sejak tahun 1980-an sampai dengan awal 2000-an, dan berlanjut hingga kini, posisi Dewan Kesenian (DK) di Indonesia mempunyai masalah dalam kaitannya dengan penyusunan anggaran.

Saya bisa menyatakan bahwa 90 persen Dewan Kesenian di Indonesia tak memiliki suatu rancangan anggaran yang lumayan jelas berkaitan dengan susunan kebutuhan dalam skala prioritas, yang berkaitan dengan keterbatasan anggaran yang diberikan oleh Pemda-Pemkot.

Keterbatasan anggaran itu, sangat kuat latar belakang masalahnya dengan posisi Dewan Kesenian di hadapan Pemda-Pemkot. Bagi Pemda-Pemkot, Dewan Kesenian hanya sekadar pelengkap dalam konteks kegiatan seni budaya. Karena hal itulah makanya pihak Pemda-Pemkot memberikan anggaran hanya sekedarnya.

Pada sisi lainnya, pengurus Dewan Kesenian menganggap dirinya sebagai pengelola lembaga kesenian yang dibutuhkan oleh warga, masyarakat dan kaum seniman. Tapi, bagi Pemda-Pemkot, kebutuhan kehidupan seni budaya warga dan masyarakat bisa dilakukan oleh Dinas Kebudayaan-Pariwisata.

Singkat kata, masalah ini sesungguhnya sangat kuat berkaitan dengan proyek. Bagi Dinas Kebudayaan-Pariwisata proyek itu menjadi hal penting karena itulah bagian dari usaha mereka untuk mendapatkan nilai tambah ekonomis.

Dengan pertimbangan itu makanya Dinas Kebudayaan-Pariwisata cenderung bersikukuh untuk memegang kendali dana yang dikelolanya. Jika pun Dinas tersebut mengajak seniman, mereka yang diajak kuat kaitannya dengan misi nilai ekonomi yang diharapkan oleh petugas Dinas. Melalui relasi bersifat personal itulah jalinan proyek terjadi.

Tapi sangat menarik juga jika kita menelusuri jalinan relasi personal yang justru bisa membuat Dewan Kesenian hidup dan bahkan berjaya. Pada periode 1970-80-an Dewan Kesenian Makassar (DKM) punya andil besar di dalam membangun citra Makassar sebagai salah satu titik penting di dalam kesenian modern Indonesia.

Hal itu dikarenakan relasi personal antara pengurus DKM yang kuat dengan Walikota Makassar yang memiliki apresiasi yang baik, misalnya kasus Patompo yang fenomenal itu. Jadi, gagasan dan konsep kesenian bisa lancar karena adanya dukungan dana yang bagus dari Walikota Makassar, yang membuat seniman Makassar dan Sulsel bisa hadir di tengah-tengah kancah kesenian modern Indonesia yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Figur Rahman Arge beserta beberapa rekannya menciptakan citra DKM sepanjang dua dekade. Setelah itu, tampaknya DKM punya masalah dalam membina relasi politik yang berkaitan dengan anggaran.

Kasus DKM periode generasi Rahman Arge dkk mirip juga dengan Dewan Kesenian Surabaya (DKS), yang sangat kuat posisinya dengan pengurus kaum seniman yang sangat ternama, seperti Gatot Kusumo, Budi Darma, Amang Rahman, Daryono, Krishna Mustajab dkk, membuat DKS sangat disegani oleh Walikota.

Dua kasus di atas mengingatkan kita kepada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang memiliki relasi yang bagus dengan Gubernur Ali Sadikin. Bahkan Bang Ali inilah yang menjadi supporter utama DKJ dan pendirian TIM serta Lembaga Pendidikan kesenian Jakarta (LPKJ).

Pada tahun 1970-an turun naik hubungan antara Dewan Kesenian Yogyakarta (DKY) dengan Walikota sering terjadi. Baru pada periode Walikota Sudjono AY, seorang perwira TNI-AD, DKY mempunyai relasi yang lumayan mesra.

Melalui gambaran tersebut di atas, singkat kata, saya ingin menyatakan, bahwa relasi politik antara pengurus Dewan Kesenian dengan Pemda-Pemkot merupakan salah satu poin terpenting dalam menciptakan harapan yang baik berkaitan dengan rencana anggaran. Kini Dewan Kesenian bisa mengajukan konsep anggaran sesuai dengan kebutuhan rencana kerjanya. Hal itu dimungkinkan oleh UU

Pemajuan Kebudayaan yang membuka peluang bagi DK untuk melakukan negosiasi, bahwa Pemda-Pemkot harus bersikap sebagai fasilitator, dan anggaran rencana kerja DK bisa disusun secara bersama-sama antara Pemda-Pemkot dengan DK bersama DPRD.

Secara yuridis itulah yang mestinya terjadi, bahwa sebagai fasilitator Pemda-Pemkot tidak bisa menentukan secara sepihak anggaran untuk DK. Yang dibutuhkan adalah bagaimana DK melalui riset dan pengumpulan data yang baik menyusun rencana kerja dan itu membutuhkan anggaran untuk penyelenggaraan acara senibudaya dalam berbagai seginya.

Tapi, tampaknya sejarah tak selalu berpihak kepada DK. Banyak kasus setelah adanya UU Pemajuan Kebudayaan, misalnya di Surabaya, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Medan, dan belasan kota dan daerah lainnya yang memiliki DK tetap tak berkutik menghadapi relasi politik yang disertai birokrasi yang ribet, yang menghasilkan tawaran anggaran rencana kerja yang tak sesuai seperti yang diharapkan, bahkan jauh.

Pernahkah Anda membayangkan Dewan Kesenian Solo hanya mendapatkan anggaran 50 juta/tahun sejak belasan tahun yang lalu, hingga tahun terakhir ini. Demikian juga dengan Dewan Kesenian Surabaya yang hanya meraih anggaran ala kadarnya. Semarang, dari anggaran yang pernah diraih sebesar Rp400-an juta, anjlok ke Rp50 juta.

Jika masalah pemahaman terhadap UU Pemajuan Kebudayaan masih juga mengalami begitu banyak tafsir yang bersifat subyektif, hal itu bukan karena tingkat kecerdasan yang rendah. Masalahnya terdapat pada arogansi politik kaum birokrat yang merasa berkuasa mengelola dana dan hanya mereka yang bisa menentukan berapa anggaran yang bisa diraih oleh DK. Di balik itu, terdapat berbagai masalah yang saling silang sengkarut yang makin menciptakan relasi sosial kian menjauh.

Dalam konteks inilah saya ingin melontarkan topik kepada pengurus DKSS yang baru saja dilantik, dan tampaknya kepengurusan DKSS yang baru ini mendapatkan sambutan yang baik dari Penjabat Gubernur Sulsel.

Yang menjadi masalah, apakah Gubernur yang akan datang hasil Pilkada 2024, juga seiring dan seia sekata dengan Penjabat Gubernur yang melantik pengurus DKSS?

Untuk itulah topik yang ingin saya lontarkan adalah bagaimana 22 Anggota Dewan Kehormatan DKSS mampu melakukan lobi dan meyakinkan kepada Gubernur, bahwa DKSS sebagai rekan kerja di dalam kebudayaan merupakan rekan yang mesti diperhatikan berkaitan dengan penyusunan rencana kerja kebudayaan Pemda.

Di dalam struktur kelembagaan di mana Dewan Kehormatan dalam suatu Lembaga yang mengelola masalah kebudayaan disebut Board of Trustee, suatu badan yang fungsinya untuk menciptakan rasa kepercayaan dari pihak manapun untuk mendukung lembaga kebudayaan tersebut.

Di manca negara, posisi-fungsi Board of Trustee ini dikelola oleh para tokoh penting di dalam masyarakat dan sangat kuat kaitannya dengan kaum pemilik kapital, yang memiliki apresiasi kepada kesenian, masalah kebudayaan.

Di sini, kita menyaksikan suatu kelemahan DKSS dalam menyusun anggota Dewan Kehormatan: tak ada satupun pengusaha atau kalangan bisnis yang dilibatkan. Padahal mestinya DKSS melibatkan kaum pebisnis, pengusaha, yang bisa ikut mendukung rencana kerja kebudayaan dan penyelenggaraan kesenian.

Pada sisi lainnya, DKSS harusnya menyadari bahwa dalam kaitan sistem perpajakan terdapat tax refund berkaitan dengan CSR (corporate social responsibility) yang bisa diberikan oleh kaum pengusaha kepada lembaga kesenian.

Pada sisi lainnya juga kaum pebisnis ini bisa ikut meyakinkan para birokrat agar mendukung posisi-fungsi DKSS. Selain itu, kaum pebisnis ini pula yang bisa mengajak rekan-rekannya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesenian.

Saya menganggap penyusunan kepengurusan DKSS ini masih bersifat konvensional, bahkan konservatif dengan asumsi bahwa hanya kaum seniman dan pelaku kebudayaan yang hanya bisa memahami kehidupan kesenian. Padahal secara konkret, kegiatan seni dan semua aktivitas kebudayaan membutuhkan anggaran.

Dalam konteks anggaran itulah DKSS tampak tak cukup memahami relasi politik ekonomi kebudayaan yang bisa diraih dari berbagai lapisan dan posisi sosial. Satu catatan lain yang perlu saya sampaikan disini, semoga saya keliru, jangan jangan Dewan Kehormatan itu hanya sekadar basa basi agar bisa dianggap melibatkan rekannya.

Padahal yang perlu dipikirkan adalah fungsi dan visi Dewan Kehormatan sebagai Board of Trustee yang bisa membangun kepercayaan dari berbagai pihak, dan bisa pula menangguk dana bukan hanya dari Pemda, tapi juga dari pihak swasta.***

eberapa dekade sejak tahun 1980-an sampai dengan awal 2000-an, dan berlanjut hingga kini, posisi Dewan Kesenian (DK) di Indonesia mempunyai masalah dalam kaitannya dengan penyusunan anggaran.

Saya bisa menyatakan bahwa 90 persen Dewan Kesenian di Indonesia tak memiliki suatu rancangan anggaran yang lumayan jelas berkaitan dengan susunan kebutuhan dalam skala prioritas, yang berkaitan dengan keterbatasan anggaran yang diberikan oleh Pemda-Pemkot.

Keterbatasan anggaran itu, sangat kuat latar belakang masalahnya dengan posisi Dewan Kesenian di hadapan Pemda-Pemkot. Bagi Pemda-Pemkot, Dewan Kesenian hanya sekadar pelengkap dalam konteks kegiatan seni budaya. Karena hal itulah makanya pihak Pemda-Pemkot memberikan anggaran hanya sekedarnya.

Pada sisi lainnya, pengurus Dewan Kesenian menganggap dirinya sebagai pengelola lembaga kesenian yang dibutuhkan oleh warga, masyarakat dan kaum seniman. Tapi, bagi Pemda-Pemkot, kebutuhan kehidupan seni budaya warga dan masyarakat bisa dilakukan oleh Dinas Kebudayaan-Pariwisata.

Singkat kata, masalah ini sesungguhnya sangat kuat berkaitan dengan proyek. Bagi Dinas Kebudayaan-Pariwisata proyek itu menjadi hal penting karena itulah bagian dari usaha mereka untuk mendapatkan nilai tambah ekonomis.

Dengan pertimbangan itu makanya Dinas Kebudayaan-Pariwisata cenderung bersikukuh untuk memegang kendali dana yang dikelolanya. Jika pun Dinas tersebut mengajak seniman, mereka yang diajak kuat kaitannya dengan misi nilai ekonomi yang diharapkan oleh petugas Dinas. Melalui relasi bersifat personal itulah jalinan proyek terjadi.

Tapi sangat menarik juga jika kita menelusuri jalinan relasi personal yang justru bisa membuat Dewan Kesenian hidup dan bahkan berjaya. Pada periode 1970-80-an Dewan Kesenian Makassar (DKM) punya andil besar di dalam membangun citra Makassar sebagai salah satu titik penting di dalam kesenian modern Indonesia.

Hal itu dikarenakan relasi personal antara pengurus DKM yang kuat dengan Walikota Makassar yang memiliki apresiasi yang baik, misalnya kasus Patompo yang fenomenal itu. Jadi, gagasan dan konsep kesenian bisa lancar karena adanya dukungan dana yang bagus dari Walikota Makassar, yang membuat seniman Makassar dan Sulsel bisa hadir di tengah-tengah kancah kesenian modern Indonesia yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Figur Rahman Arge beserta beberapa rekannya menciptakan citra DKM sepanjang dua dekade. Setelah itu, tampaknya DKM punya masalah dalam membina relasi politik yang berkaitan dengan anggaran.

Kasus DKM periode generasi Rahman Arge dkk mirip juga dengan Dewan Kesenian Surabaya (DKS), yang sangat kuat posisinya dengan pengurus kaum seniman yang sangat ternama, seperti Gatot Kusumo, Budi Darma, Amang Rahman, Daryono, Krishna Mustajab dkk, membuat DKS sangat disegani oleh Walikota.

Dua kasus di atas mengingatkan kita kepada Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang memiliki relasi yang bagus dengan Gubernur Ali Sadikin. Bahkan Bang Ali inilah yang menjadi supporter utama DKJ dan pendirian TIM serta Lembaga Pendidikan kesenian Jakarta (LPKJ).

Pada tahun 1970-an turun naik hubungan antara Dewan Kesenian Yogyakarta (DKY) dengan Walikota sering terjadi. Baru pada periode Walikota Sudjono AY, seorang perwira TNI-AD, DKY mempunyai relasi yang lumayan mesra.

Melalui gambaran tersebut di atas, singkat kata, saya ingin menyatakan, bahwa relasi politik antara pengurus Dewan Kesenian dengan Pemda-Pemkot merupakan salah satu poin terpenting dalam menciptakan harapan yang baik berkaitan dengan rencana anggaran. Kini Dewan Kesenian bisa mengajukan konsep anggaran sesuai dengan kebutuhan rencana kerjanya. Hal itu dimungkinkan oleh UU

Pemajuan Kebudayaan yang membuka peluang bagi DK untuk melakukan negosiasi, bahwa Pemda-Pemkot harus bersikap sebagai fasilitator, dan anggaran rencana kerja DK bisa disusun secara bersama-sama antara Pemda-Pemkot dengan DK bersama DPRD.

Secara yuridis itulah yang mestinya terjadi, bahwa sebagai fasilitator Pemda-Pemkot tidak bisa menentukan secara sepihak anggaran untuk DK. Yang dibutuhkan adalah bagaimana DK melalui riset dan pengumpulan data yang baik menyusun rencana kerja dan itu membutuhkan anggaran untuk penyelenggaraan acara senibudaya dalam berbagai seginya.

Tapi, tampaknya sejarah tak selalu berpihak kepada DK. Banyak kasus setelah adanya UU Pemajuan Kebudayaan, misalnya di Surabaya, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Medan, dan belasan kota dan daerah lainnya yang memiliki DK tetap tak berkutik menghadapi relasi politik yang disertai birokrasi yang ribet, yang menghasilkan tawaran anggaran rencana kerja yang tak sesuai seperti yang diharapkan, bahkan jauh.

Pernahkah Anda membayangkan Dewan Kesenian Solo hanya mendapatkan anggaran 50 juta/tahun sejak belasan tahun yang lalu, hingga tahun terakhir ini. Demikian juga dengan Dewan Kesenian Surabaya yang hanya meraih anggaran ala kadarnya. Semarang, dari anggaran yang pernah diraih sebesar Rp400-an juta, anjlok ke Rp50 juta.

Jika masalah pemahaman terhadap UU Pemajuan Kebudayaan masih juga mengalami begitu banyak tafsir yang bersifat subyektif, hal itu bukan karena tingkat kecerdasan yang rendah. Masalahnya terdapat pada arogansi politik kaum birokrat yang merasa berkuasa mengelola dana dan hanya mereka yang bisa menentukan berapa anggaran yang bisa diraih oleh DK. Di balik itu, terdapat berbagai masalah yang saling silang sengkarut yang makin menciptakan relasi sosial kian menjauh.

Dalam konteks inilah saya ingin melontarkan topik kepada pengurus DKSS yang baru saja dilantik, dan tampaknya kepengurusan DKSS yang baru ini mendapatkan sambutan yang baik dari Penjabat Gubernur Sulsel.

Yang menjadi masalah, apakah Gubernur yang akan datang hasil Pilkada 2024, juga seiring dan seia sekata dengan Penjabat Gubernur yang melantik pengurus DKSS?

Untuk itulah topik yang ingin saya lontarkan adalah bagaimana 22 Anggota Dewan Kehormatan DKSS mampu melakukan lobi dan meyakinkan kepada Gubernur, bahwa DKSS sebagai rekan kerja di dalam kebudayaan merupakan rekan yang mesti diperhatikan berkaitan dengan penyusunan rencana kerja kebudayaan Pemda.

Di dalam struktur kelembagaan di mana Dewan Kehormatan dalam suatu Lembaga yang mengelola masalah kebudayaan disebut Board of Trustee, suatu badan yang fungsinya untuk menciptakan rasa kepercayaan dari pihak manapun untuk mendukung lembaga kebudayaan tersebut.

Di manca negara, posisi-fungsi Board of Trustee ini dikelola oleh para tokoh penting di dalam masyarakat dan sangat kuat kaitannya dengan kaum pemilik kapital, yang memiliki apresiasi kepada kesenian, masalah kebudayaan.

Di sini, kita menyaksikan suatu kelemahan DKSS dalam menyusun anggota Dewan Kehormatan: tak ada satupun pengusaha atau kalangan bisnis yang dilibatkan. Padahal mestinya DKSS melibatkan kaum pebisnis, pengusaha, yang bisa ikut mendukung rencana kerja kebudayaan dan penyelenggaraan kesenian.

Pada sisi lainnya, DKSS harusnya menyadari bahwa dalam kaitan sistem perpajakan terdapat tax refund berkaitan dengan CSR (corporate social responsibility) yang bisa diberikan oleh kaum pengusaha kepada lembaga kesenian.

Pada sisi lainnya juga kaum pebisnis ini bisa ikut meyakinkan para birokrat agar mendukung posisi-fungsi DKSS. Selain itu, kaum pebisnis ini pula yang bisa mengajak rekan-rekannya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesenian.

Saya menganggap penyusunan kepengurusan DKSS ini masih bersifat konvensional, bahkan konservatif dengan asumsi bahwa hanya kaum seniman dan pelaku kebudayaan yang hanya bisa memahami kehidupan kesenian. Padahal secara konkret, kegiatan seni dan semua aktivitas kebudayaan membutuhkan anggaran.

Dalam konteks anggaran itulah DKSS tampak tak cukup memahami relasi politik ekonomi kebudayaan yang bisa diraih dari berbagai lapisan dan posisi sosial. Satu catatan lain yang perlu saya sampaikan disini, semoga saya keliru, jangan jangan Dewan Kehormatan itu hanya sekadar basa basi agar bisa dianggap melibatkan rekannya.

Padahal yang perlu dipikirkan adalah fungsi dan visi Dewan Kehormatan sebagai Board of Trustee yang bisa membangun kepercayaan dari berbagai pihak, dan bisa pula menangguk dana bukan hanya dari Pemda, tapi juga dari pihak swasta.***