Catatan: H Zainal Bintang
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
SEPENINGGAL tokoh Pers asal Sulawesi Selatan, almarhum Alwi Hamu, pada 18 Januari 2025, sejumlah pesan WA masuk ke Hp saya. Meminta membuat tulisan kepingan kenangan bersama almarhum.
Sebagai sahabat sejak remaja (almarhum kelahiran 1944 dan saya kelahiran akhir 1946), hubungan kami sangat akrab. Kebetulan sama-sama aktivis diawal Orde Baru tahun 70an yang berlanjut menjadi aktivis jurnalis alias wartawan sampai hari ini.
Kiprah almarhum didalam lika-liku dunia Pers yang memuncak menjadi “raja media” yang dikenal dengan bendera “Fajar Group”, sudah banyak ditulis dan tersebar di media sejak almarhum meninggal dunia.
Ayah almarhum Haji Muhammad (Hamu) dikenal sebagai juragan beras di kota Pare-Pare, yang berjarak k.l 130 Km dari Makassar. K.l 1,5 jam dengan berkendara mobil. Tapi garis hidup almarhum berjalan ke arah lain: menjadi aktivis media yang produktif dan kreatif hingga akhir hidupnya.
Seingat saya, pada awal persentuhan almarhum yang intens dengan dunia media, ketika menjadi wartawan koran “Jawa Pos” besutan Dahlan Iskan pada tahun 70-an itu.
Ketika beraktivitas sebagai wartawan dan Pemimpin Redaksi “Harian Kami” di Makassar, almarhum juga meladeni bakat dagangnya dengan membuka toko buku “Bhakti Baru”. Menggunakan fasilitas gedung peninggalan Balanda di Makassar yang terletak di pusat kota, Jalan Karebosi.
Peluang itu adalah buah persahabatannya dengan JK (Jusuf Kalla), yang kala itu dikenal sebagai pengusaha dan Ketua Umum Kadin Sulawesi Selatan.
Dengan posisinya sebagai pimpinan organisasi pengusaha tertinggi itu di Sulawesi Selatan, JK mendapat kemudahan dari Pemda Propinsi yang waktu itu Gubernurnya adalah Brigjen (Pur TNI-AD) Achmad Lamo.
Sementara itu, melalui kolaborasinya dengan Dahlan Iskan, almarhum mendapat kepercayan untuk mengembangkan media “Jawa Pos” dengan membuka cabang atau perwakilan di seluruh Propinsi besar di Indonesia.
Meskipun sudah melejit menjadi “raja media”, namun kesehariannya yang sederhana, ramah dan mudah senyum tetap melekat. Almarhum suka sekali meneriakkan yell-yell khas Bugis Makassar.
Dikala kami remaja dan beraktivitas pada tahun 70an itu, di Makassar ada seorang tokoh sastrawan dan wartawan senior yang juga menjadi inspirator wartawan dan seniman muda bernama Andi Baso Amier. Pediri surat kabar mingguan “Ekspress Minggu”.
Pemimpin Redaksinya Harun Rasyid Djibe, seorang wartawan senior. Surat kabar mingguan tersebut menjadi media primadona bukan saja bagi wartawan muda kala itu. Juga masyarakat pada umumnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Andi Baso Amier diangkat menjadi pejabat eksekutif. Sebagai Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone. Berjarak k.l 130 Km lebih dari Makassar. Daerah itu juga adalah tempat kelahiran almarhum Jenderal TNI-AS Purnawiran M Jusuf, mantan Menhankam Pangab R.I.
Kembali ke kiprah almarhum Alwi Hamu, meskipun sudah berkelana ke seluruh Indonesia untuk membangun basis “kerajaan” Jawa Pos, ternyata tidak kehilangan ciri khasnya yang ramah, sederhana dan suka berteriak “Ewako” kalau ketemu teman dekat.
Frasa “Ewako” itu adalah kata pembakar semangat khas masyarakat Bugis Makassar. Untuk menyemangati “jagoannya” pada acara pertandingan atau adu “kekuatan”. Seperti sepakbola, adu ayam, pencak silat dan lain sebagainya.
Di tengah puncak kecemerlangan bisnisnya, Alwi Hamu terkena “musibah”. Pada awal 2019 tiba-tiba terserang stroke. Sejak itu, penyakit inilah yang memotong aktivitas dan keceriaan almarhum. Membuatnya harus duduk di kursi roda atau hanya berbaring di tempat tidur bertahun-tahun.
Saya sempat membezuk ke rumahnya sebanyak dua kali. Akan tetapi, kami tidak bisa berkomunikasi. Almarhum cuma bisa menatap kosong. Menerawang entah kemana.
Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun.
Selamat jalan Pak Alwi Hamu, sahabat kami yang baik hati.
Semoga arwahnya mendapat tempat yang layak dan indah disisi Allah Swt sesuai dengan amal ibadahnya.
Amien Yra…. Wassalam.
●Penulis Wartawan Senior dan pemerhati masalah sosial budaya