Oleh Prof Tasrief Surungan, Guru besar Fisika Teoretik FMIPA Universitas Hasanuddin

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KABARIKA.ID, MAKASSAR — Keputusan Penetapan Awal Ramadhan setiap tahun melalui Sidang Ithbat menarik dielaborasi sebab mengandung hikmah yang multi dimensi.

Demikian pula yang terjadi dalam penentuan awal Ramadhan tahun ini, 1446 H.

Ada sebagian umat Islam yang cenderung mengabaikan makna dan hakekat rukyatul Hilal. Mereka luput menyelami lautan hikmah di balik ritual tersebut dan memilih metoda perhitungan (hisab) tanpa verifikasi pengamatan.

Sesungguhnya, rukyatul hilal sebagai perintah Nabi SAW, pastilah mengandung banyak hikmah, baik secara ilmiah maupun dari perspektif keagamaan (spiritual).

Ilmu pengetahuan yang dikaji di seluruh Universitas dan lembaga riset semuanya berbasis pada metoda ilmiah, yang pilarnya berpijak di atas pengamatan, perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan verifikasi eksperimental.
Tanpa bukti eksperimental, sebuah teori ilmu pengetahuan tidak dapat dipandang alias tidak lengkap sebagai teori yang benar.

Dimensi atau perspektif lain yg tak kalah penting adalah urgensi kehadiran negara dalam pengambilan keputusan yang menyangkutkan orang banyak (publik), termasuk di dalamnya bahwa Rukyatul Hilal itu adalah Syi’ar Islam. Dasarnya adalah Hadith Nabi SAW yang menekankan bahwa penentuan awal puasa harus berdasarkan rukyatul hilal (Hadith Riwayat oleh Imam Ahmad). Al Quran juga menyebutkan pentingnya mengamati apa-apa yang ada di langit, yang meliputi benda langit dan kejadian-kejadian (events) yang menyertainya (QS 10: 101). Artinya, Rukyatul Hilal itu merupakan suatu bentuk ibadah keagamaan (ritual), dimana agar tidak memberatkan setiap individu, ia dikategorikan sebagai kewajiban komunal (Fardhu Kifayah).

Pada sisi lain, kalau penentuan awal puasa bisa diganti secara total dengan metoda perhitungan tanpa observasi, maka itu akan bersifat deterministik murni, serupa dengan sistem Kalender Masehi.
Kenyataannya, Kalender Masehi yang kita kenal hingga kini telah mengalami beberapa kali modifikasi, salah satunya adalah modifikasi dari Kalender Julian ke Kalender Gregorian pada tahun 1582 M. Perubahan Kalender Masehi dari Julian ke Gregorian menunjukkan bahwa sistem Kalender yang bersifat deterministik perlu dikalibrasi untuk jangka waktu tertentu.
Rukyatul Hilal dari perspektif ini adalah langkah kalibrasi setiap tahun, untuk memastikan bahwa selama Ramadhan, hilal-hilalnya (ahillah) visibel di angkasa, mulai pada malam pertama (hilal paling tipis), hilal malam kedua, dst., hingga hilal di ufuk timur menjelang matahari terbit, di penghujung Ramadhan. Al Quran menyebut kosa kata hilal hanya sekali, itupun dalam bentuk jamak (Ahillah) di QS 2: 189.

Apabila penentuan awal Ramadhan menyerupai penentuan tanggal ritual keagamaan agama lain yang berbasis pada Kalender Masehi, atau analog dengan Kalender Masehi yang “fully” deterministik, maka ritual dalam mengawali puasa akan menjadi hambar, tidak semarak dan kehilangan dimensi Syi’arnya. Kenapa? Sebab kita tidak akan lagi menyaksikan sekelompok umat Islam dengan penuh semangat dan bergembira membawa teropong ke posisi-posisi pengamatan hilal. Umat Islam dan generasi mudanya pada gilirannya berpeluang mengabaikan pengamatan benda-benda langit.

Selain dimensi dakwah (syi’ar Islam) sebagaimana disebutkan tadi, Hadith Nabi yang menekankan urgensi rukyatul hilal dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan, juga mengisyaratkan keharusan eksistensi negara. Pengamatan itu harus di-ilmu dan diverivikasi.
Pada perspektif ini, lagi-lagi menunjukkan kekeliruan pihak yang mengabaikan rukyatul hilal termasuk yang hendak menghilangkan kelembagaan Sidang Ithbat.

Saya menyebut keliru, sebab alih-alih mengakui eksistensi negara untuk mengurus hayat hidup orang banyak (rakyat), pihak tersebut telah menggantikan otoritas negara dengan otoritas lain, dalam hal ini Ormas. Padahal, sebuah Ormas hanyalah himpunan bagian (subset), bukan himpunan semesta.

Pembelajaran yang dapat dipetik dari siaran media terkait penetapan awal Ramadhan selalu mengandung nilai spiritual. Pada sore hingga magrib di sejumlah wilayah tanah air, kita menyaksikan siaran langsung oleh media utama Nasional. Pengamatan hilal yang dimulai di wilayah paling timur, wilayah Papua,
lalu dilanjutkan oleh pengamat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan Sumatra, semuanya menyadarkan kita akan keberadaan umat yang satu, yang diikat oleh semangat dan spiritualitas yang sama. Wakil-wakil umat Islam pada setiap garis bujur, seolah menanti, nomen pengibaran Bendera Umat Islam Al Hilal di awal malam, sesaat setelah matahari terbenam.

Dalam siaran kemarin malam di sejumlah stasion TV nasional, pengamatan hilal di Papua, memberi laporan nihil, Maluku dan Sulawesi serta Kalimantan dan Jawa juga nihil. Harapan terakhir ditumpukan pada pengamat di wilayah paling barat negeri ini, di Wilayah Aceh. Kabar yang dinanti itu akhirnya datang, dimana perukyat hilal di wilayah tersebut melaporkan kesuksesan mengamati keberadaan hilal paling tipis. Kabar gembira tentang datangnya Ramadhan telah tiba. Bendera Umat Islam telah muncul. Setelah pengambilan sumpah oleh otoritas setempat, kabar ini kemudian diteruskan ke ke otoritas yang lebih tinggi, ke Mahkamah Sidang Ithbat di Kemenag.

Telah kita saksikan kemarin malam, Bapak Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar menjelaskan, prinsip-prinsip penetapan awal Bulan sesuai perintah Nabi.

Perukyat diambil sumpahnya, lalu hasil pengamatannya dilaporkan dan diteruskan untuk dicermati oleh para ahli, kemudian dihadirkan dalam Mahkamah Sidang Itbat yang terdiri para ahli hukum Islam, Astronomi dan para alim ulama dari berbagai Ormas Islam.

Rukyatul Hilal adalah warisan Nabi, kaya dari berbagai perspektif, karena itu Jangan pernah mengabaikan apalagi meninggalkan ritual Rukyatul Hilal. Itulah pesan Nabi dalam hadithnya, Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihat Hilal.

Marhaban Ya Ramadhan 1446 H. Selamat Menjalankan Ibadah puasa. (*)