Oleh Salahuddin Alam

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

DALAM banyak interaksi, Kak Mappi selaku kakak dan sahabat sekaligus, dengan penampilannya yang sederhana, pembawaan yang tenang, senantiasa memberi nasihat, saran dan masukan bagi yang muda-muda.
Kami bersama almarhum, juga tergabung dalam Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel. Ketua LPA Sulsel pertama adalah Prof. Dr. H. Mansyur Ramli (Rektor UMI). Pengurusnya ada Asmin Amin, Fadiah Machmud (LML), Christina Joseph (LBH P2i), Selle KS Dalle (Yapta-U, mantan anggota DPRD SUlsel, saat ini Wakil Bupati Soppeng), Rusdin Tompo (wartawan radio), dan lain-lain. Abdul Rasyid Idris dari Yayasan Jati, menjadi jejaring LPA. Sementara donor LPA dari Unicef, yang saat itu dipimpin Purwanta Iskandar.

Sekali waktu, saya menerima informasi dari Nuryanto G. Liwang (alm), Manager Program Anak dari LSM Yasindo, bahwa ada kejadian yang membuat kami semua marah, sesak dan mau ngamuk. Pasalnya, seorang pengemis tua (WP) berusia kisaran 60-an tahun dan buta, atas bantuan penuntunnya, me-rudapaksa seorang tuna wisma perempuan (Bulan, nama samaran) yang masih berusia sekira 12 tahunan. Korban diiming-iming imbalan sejumlah uang dari hasil mengemis.

Dengan segala keterpaksaan, saya harus membangunkan Kak Mappi tengah malam melalui telepon seluler. “Assalamu Alaikum Kak Mappi, maaf saya ganggu ki malam-malam. Ada kondisi emergency. Kalau berkenan, saya tunggu ki di Rumah Singgah Yasindo”.

Almarhum menjawab spontan dalam bahasa Makassar dialek Selayar. “Tajangma”, ujarnya singkat.

Ketika Kak Mappi tiba sekira pukul 01.00 dinihari di Rumah Singgah yang kami sewa di bilangan Jalan Baji Minasa, kami semua bersama sejumlah aktivis perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan, tengah duduk melingkar, termasuk 2 orang pelaku dan 1 korban.

Kak Mappi melihat saya naik pitam, karena sesekali memukul kaki pelaku dengan tongkat kayunya yang selama ini dia pakai menuntun jalanannya. Secara spontan almarhum menegur saya dan menyimpan tongkat tersebut.

Sebagaimana pembawaannya, dengan tenang almarhum menyampaikan pandangannya. “Jangan dikerasi karena si pelaku sudah tua. Mau diproses hukum ini. Jangan sampai malah menderita di dalam tahanan dan kita-kita juga yang repot,” katanya bijak dan tenang.

Setelah berdiskusi pada larut malam hingga jelang pagi itu, kami bubar dengan kesepakatan bahwa pelaku akan dikirim kepada keluarganya di Parepare bersama penuntunnya. Sementara korban diberi pendampingan dan bantuan psikososial untuk memastikan ia tetap dalam tumbuh kembang, tetap ceria sebagaimana laiknya anak-anak lainnya.

Pada kesempatan lain, dengan almarhum, ketika kami berkumpul di acara IAPIM (Ikatan Alumni Pesntren IMMIM). Beliau menyapa dan bercanda dengan saya. “Kenapa ko bisa diangkat jadi anggota kehormatan di IAPIM?” Tanyanya dengan gaya canda.

“Kalau saya tahu dan ada ka saat Mubes, pasti saya gagalkan,” lanjut Kak Mappi, yang disambut tawa oleh teman-teman IAPIM saat itu, seperti Armin Mustamin Toputtiri, Mustafa Irate, Anwar Wahab dan lain-lain.

Di lain waktu, kami berjumpa almarhum di sebuah hotel di Malaysia, sesaat jelang pertandingan Indonesia vs Malaysia di Stadion Bukit Jalil. Kami bersama rombongan DPP Partai Demokrat, dipimpin Mas Anas Urbaningrum. Saat itu, saya Wakil Direktur Eksekutif DPP Partai Demokrat.

Kak Mappi, kala itu, bersama rombongan PSSI, dipimpin Prof, Dr. HAM Nurdin Halid. Lagi-lagi almarhum berseloroh. “Pencinta bola ko juga rupanya. Saya juga ini terpaksa nonton bola jauh-jauh ke sini, karena diajak Pak NH. Sama-sama jaki tidak terlalu tahu bola. Tapi memang anak IAPIM itu ada di mana-mana,” ujarnya sembari tersenyum.

Saya timpali, “Saya kan anak buahnya Kak Mappi di IAPIM dan berteman di LSM. Bedanya, saya pengurus di MFS–Makassar Football School–dan juga pengelola LIGINA VI dan VII bersama Pak Reza Ali dan Bu Diza Ali.” Kataku menjelaskan.

Kembali dalam dialek Selayar, almarhum berujar, “Akomo lohe muni-muningmu, ambamoh maeki ri stadion.”

Banyak kenangan kami bersama almarhum. Namun hanya sekelumit ini yang dapat saya tuliskan. Sebab Pak Wahyuddin AB Kessa, sudah mendesak dan menekan, bahwa proses editing tinggal menunggu untaian perjalanan saya dengan almarhum.

Selamat Jalan Kak Mappi, Surga menantimu. Aamiin.

*****
Penulis: Salahuddin Alam, aktivis yang masih terus belajar.