Oleh: Rusdin Tompo (Pegiat Literasi, Alumni Fakultas Hukum Unhas)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

MEMBACA postingan foto yang menampilkan Dr Chaerul Amir, SH, MH, dengan latar belakang layar LCD (liquid crystal display) yang menampilkan nama-nama Susunan Personalia Halalbihalal dan Musyawarah IKA FH UH, membawa ingatan saya pada lebih tiga dekade lalu.

Saya seperti melihat “masa lalu yang hidup”—meminjam ucapan Dr Raymond Swain (diperankan John Zaremba) dalam film fiksi ilmiah The Time Tunnel.

Waktu, tulis Hikmat Budiman (sosiolog pada Pusat Studi Kebudayaan UGM, Yogyakarta), menjadi tidak bergerak, yang bergerak hanya momen-momen kesadaran manusia yang terperangkap di dalamnya.

Foto dengan Dr Chaerul Amir berdiri di podium itu, dijepret saat Gelar Buka Puasa Bersama Ikatan Alumni Fakultas Hukum Unhas (IKA FH-UH) & Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Selatan di Hotel Aryaduta, Makassar, Ahad, 23 Maret 2025. Dr Chaerul Amir merupakan Plt IKA FH-UH, beliau merupakan senior saya, angkatan 85.

Dalam acara di hotel yang berada di kawasan Pantai Losari itu, hadir sejumlah tokoh, antara lain Dekan Fakultas Hukum Unhas, Prof Dr Hamzah Halim, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, H Agus Salim, SH, MH, dan Wali Kota Makassar, H Munafri Arifuddin, SH.

Beberapa nama itu—mereka yang akan meng-handle acara pasca Lebaran nanti—saya kenal. Mereka ada yang merupakan senior, adik letting, juga teman seangkatan. Namun, mata saya fokus pada dua nama, yakni Muhammad Burhanuddin, SH, MH, yang diberi amanah sebagai Ketua Organizing Committee, dan Prof Dr Musakkir, SH, MH, yang berada di jajaran Steering Committee.

Posisi sebagai ketua pelaksana, khususnya terkait Muswarah IKA FH-UH, bagi Muhammad Burhanuddin, mirip dengan tugas yang juga dia emban di tahun 1991.

Bedanya, skala kegiatan yang sekarang jauh lebih besar. Pada tahun itu, Om Boer, begitu teman advokat ini akrab disapa, merupakan Ketua Musyawarah Himpunan Mahasiswa Keperdataan (HIMAHTA). Forum ini nantinya akan memilih ketua himpunan untuk periode itu.

Secara bersamaan, di tahun itu pula, teman-teman tengah mempersiapkan Studi Banding Fakultas Hukum Unhas ke Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Samrat), Manado.

Dalam kepanitiaan ini, Otniel FE Siwy, sebagai Ketua Studi Banding, sedangkan saya, Wakil Ketua. One, begitu kami memanggilnya, memang meminta saya mendampingi dia sebagai wakilnya.

Sementara Prof Muskkir, dahulu masih merupakan dosen muda. Beliau ini senior, angkatan 84. Beliau nanti menjadi dosen pendamping kami, selama studi banding di daerah yang dijuluki Nyiur Melambai tersebut.

Kedua kegiatan ini memilih sekretariat di Kompleks Ruko Macini Baru di Jalan Macini Baru. Teman kami, One, sudah lama indekos di sini, di Ruko Nomor 4. Dia sebelumnya tinggal di Jalan Gunung Klabat, setelah itu pindah ke rumah kos di dekat markas Brimob, Pa’baeng-Baeng. Kompleks Ruko ini tak jauh dari sentra penjualan sparepart motor bekas di Maccini.

Tepat di depannya ada bengkel dan pedagang nasi kuning. Di mulut Jalan Maccini Baru, pertigaan Jalan Jenderal Urip Sumoharjo, terdapat Coto Makassar. Dan hanya beberapa meter dari situ, terdapat Martabak Medan, yang mulai sibuk berjulan menjelang sore hingga malam.

Posisi tempat kos di ruko itu terbilang strategis. Untuk pergi-pulang ke Kampus Unhas di Tamalanrea juga tak terlalu repot. Jalur Jalan Jenderal Urip Sumoharjo-Jalan Masjid Raya, ini dilalui angkutan pete-pete Kampus Unhas. Hanya butuh melangkah beberapa meter saja untuk ke jalan utama tersebut.

Maka tepat bila salah satu kamar di ruko itu dipilih sebagai sekretariat. Apalagi, kawasan ruko ini nyaris sepi. Di ruko nomor 4 itu, hanya ada pengelola, One, dan penghuni lain—anak mahasiswa D3 Unhas.

Ruko tiga lanti itu cukup besar, sehingga pemiliknya membuat kamar-kamar yang disekat dengan dinding tripleks. Kamarnya One, di lantai 2, dekat jendela, yang memungkinkan penghuninya leluasa memandang aktivitas warga di luar. Lalu lalang kendaraan juga terlihat baik dari sini.

Di Maccini Baru itulah, dua kegiatan penting tersebut dirancang dan dibicarakan. Interaksi aksi kami kian intens karena kami nginap di sana. Ini bagai rumah kedua kami.

Kedua kegiatan itu, masing-masing di bawah koordinasi berbeda, tapi punya satu spirit yang sama: sukses dalam penyelenggaraan. Untuk kedua kegiatan itu, saya kebagian tugas tambahan. Apalagi kalau bukan bikin spanduk hehehe.
*******


Seingat saya, walau kami aktif di organisasi intra kampus, tapi saya tak pernah mendengar ada di antara kami yang menyebut diri sebagai aktivis. Yang biasa saya dengar, istilah aktif di FIS wkwkwk.

Musran, salah seorang teman kami, malah lebih sering menyebut kami sebagai “abang”, akronim dari anak bawah tangga. Kalau bertemu, kami lebih sering membahas dunia musik atau sekadar bercanda hingga terbahak-bahak daripada membicarakan perkuliahan.

Ya, kami memang kalau di kampus, kerap nongkrong di sekitar tangga, di belakang Ruang H33. Tangga ini menuju ke lantai atas, di ruang perkuliahan Fakultas Hukum, maupun fakultas tetangganya.

Di sini juga ada tangga menuju koridor ke Fakultas Ekonomi dan ke FISIP. Tangga, yang satunya lagi menuju musholah fakultas, dan ruang-ruang dekanat. Jadi penyebutan “abang” ini diterima oleh teman-teman sebagai sebutan yang pas.

“Abang” ini, boleh dikata, terdiri dari beberapa klik, yang bertemu di tempat yang sama, sambil menunggu waktu kuliah.

Beberapa nama yang bisa saya sebut, antara lain Musran, Misrun Bahrun Noor, Mahatma Hafel (Ato), Muslihin Mappiare (Moes/Ocep), Ramlan Adam (Barry), Mahendrawan PS, Riswan Jusuf, Edi Julius, Muhammad Burhanuddin (Bur), dan Zulkifly Maroni. Harun Arrasyid (Parno), Ketua BPM, dan M Arfin Hamid, Ketua Senat, juga masuk ‘geng’ ini.

Ringkas cerita, Muhammad Burhanuddin sukses melaksanakan kegiatan Musyawarah HIMAHTA, dengan segala dinamikanya. Dari tiga kandidat, terpilih kemudian sebagai Ketua HIMAHTA periode itu, yakni Abraham Samad (Openg), yang nanti kita kenal sebagai Ketua KPK, periode 2011-2015.

Saya berada di posisi kedua, dan Masnawati Mappasawang, berada di urutan ketiga suara terbanyak.
*****

Setelah itu, kami fokus menggarap rencana kegiatan studi banding. Berbagai pendekatan dilakukan agar kami bisa berangkat sesuai rencana.

Dekan Fakultas Hukum, kala itu, Kadir Sanusi, sedangkan PD III adalah Achmad Ali. Rekomendasi dan restu sudah didapat dari fakultas. Persiapan juga sudah dilakukan dengan matang. Kami pun berangkat menggunakan KM Kambuna.

Menariknya, rombongan studi banding ini terdiri dari berbagai angkatan, mulai angkatan 87, 88, 89, dan 90. Anak mahasiswa D3 Unhas, yang ngekos di ruko nomor 4 itu juga ikut bersama kami.

Perjalanan dari Makassar menuju Manado ditempuh selama 3 hari 2 malam. Rutenya, Makassar, Pantoloan, Balikpapan, dan Bitung. Betapa senang dan bangganya kami turun di Pelabuhan Bitung, mengenakan jas almamater warna merah dijemput tuan rumah.

Dari Bitung, yang berjarak sekira 44 kilometer, kami langsung ke Wisma Lokon, di Tomohon.

Studi banding di Manado ini cukup lama. Selama 14 hari kami di sana. Mengikuti jadwal KM Kambuna. Selama di sana, kami nginap di tiga tempat berbeda, yakni Mess Pemda Sulut, rumah Kapolres Manado di Malalayang, dan rumah Asisten I Pemprov Sulut, di Kompleks Bumi Beringin. Ini rumah Wendy Paputungan, yang ayahnya menjabat sebagai Asisten I Pemprov Sulut, kala itu.

Agenda kami selama kegiatan studi banding ini sangat berwarna, bahkan seru, dan tentu saja penuh kenangan. Salah satu agenda pokoknya adalah kegiatan seminar di Fakultas Hukum Unsrat.

Nah, di sinilah kami baru tahu, kalau dosen-dosen Fakultas Hukum Unsrat itu punya sapaan khas sebagai bentuk penghormatan: Meneer. Mungkin pengaruh Belanda ya. Maka Pak Musakkir pun, sejak saat itu kami panggil juga dengan sebutan Meneer.

Setelah berseminar, kami turun berjalan kaki ke Pantai Bahu, duduk di mesel panjng, sambil bercengkerama menikmati senja. Gunung Manado Tua, terlihat dari tempat kami bersantai.

Debur ombak menghadirkan suasana yang mengingatkan kami pada Kota Makassar, nun jauh di seberang. Kawasan Boulevard, kala itu masih sementara di bangun. Baru ada jalan-jalan lebar, belum terlihat gedung-gedung yang nanti jadi pusat bisnis dan aktivitas ekonomi.

Kegiatan lainnya, berupa berkemah sembari melakukan kegiatan sosial di Desa Poopoh, Kabupaten Minahasa.

Kalau soal bakti sosial seperti ini, teman-teman cukup berpengalaman. Karena Senat Fakultas Hukum Unhas, pernah mengadakan bakti sosial di Desa Cenrana, Kabupaten Maros, dan Desa Tompobulu, Kabupaten Bantaeng.

Teman kami, Otniel FE Siwy, sukses menyuguhkan pelayanan terbaik selama kami di Manado. Dia benar-benar mengoptimalkan jejaring yang dipunya. Kami sempat mengadakan audiensi dengan Wali Kota Manado, Ir NH Eman. Kami juga diajak makan siang di kebun kelapa milik Wakil Gubernur Sulut, Achmad Nadjamuddin.

Kuliner Manado, seperti nasi kuning di Kampung Kodo, Wenang, dan es brenebon yang kental, kami cicipi. Tak cuma wisata kuliner, kami juga diajak berwisata ke Danau Tondano. Di lokasi wisata alam yang berada di Kecamatan Remboken ini, kami naik sepeda air, yang saat itu merupakan pengalaman baru.

Kami juga ke Bunaken, lewat dermaga Molas. Kami rata-rata takjub dengan kreativitas pengelola Bunaken, saat itu. Perahu yang kami tumpangi, bagian dasarnya diberi kaca bening, sehingga kami leluasa melihat ikan-ikan yang berenang di antara terumbu karang yang indah. (*)