Oleh Siti Nailah Kaltsum
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
KABARIKA.ID–Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah salah satu masalah kesehatan global yang masih menjadi tantangan besar di banyak negara, termasuk Indonesia.
Meskipun kemajuan dalam pengobatan dan pemahaman tentang HIV telah banyak berkembang, stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV masih sangat kuat.

Banyak yang menganggap HIV sebagai “hukuman” atau “akhir dunia”, padahal dengan penanganan yang tepat, penderita HIV dapat menjalani hidup yang panjang dan berkualitas.
Artikel ini bertujuan untuk menggugah kesadaran bahwa HIV bukanlah akhir dunia, dan pentingnya pendekatan yang lebih humanis dan berbasis pengetahuan dalam menanggapi masalah ini.
HIV merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, tepatnya sel CD4, yang berfungsi melawan infeksi dan penyakit. Jika tidak diobati, HIV bisa berkembang menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), yang merupakan tahap lanjut dari infeksi HIV.
Namun, dengan kemajuan pengobatan antiretroviral (ARV), orang yang terinfeksi HIV dapat mengelola kondisi ini dan hidup normal layaknya orang yang tidak terinfeksi.
Penting untuk dipahami bahwa HIV tidak sama dengan AIDS. HIV adalah virus yang dapat dikendalikan, sedangkan AIDS adalah kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh sangat rusak akibat infeksi HIV yang tidak tertangani dengan baik.
Dengan pengobatan yang tepat, seseorang yang hidup dengan HIV dapat memiliki kualitas hidup yang baik dan berharap untuk hidup panjang.
Stigma dan Diskriminasi: Mengapa Masih Ada?
Stigma terhadap orang yang terinfeksi HIV masih tersebar luas, baik di kalangan masyarakat umum maupun dalam konteks medis. Beberapa alasan stigma ini muncul adalah kesalahpahaman mengenai cara penularan HIV, anggapan bahwa hanya kelompok tertentu yang berisiko, dan pandangan bahwa HIV adalah hasil dari perilaku “tidak bermoral”. Padahal, HIV bisa dialami oleh siapa saja tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau status sosial.
Stigma karena suatu penyakit menjadi dasar seseorang untuk mengklaim bahwa orang dengan penyakit tertentu berbeda dari kondisi βnormalβ dalam masyarakat, tidak hanya dipandang sebagai infeksi dari satu agen penyebab penyakit (Deacon dkk., 2005). UNAIDS (2005) menggambarkan stigma terkait HIV sebagai suatu proses penurunan nilai dari orang yang hidup dengan HIV atau mereka yang berhubungan dengan HIV AIDS (pasangan, keluarga, dan populasi kunci), dengan perlakukan diskriminatif yang tidak wajar dan tidak adil berdasarkan status HIV-nya (real & perceived).
Stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV terjadi dimana saja, baik dalam setting keluarga, tempat kerja, sektor pendidikan, sistem peradilan, bahkan di fasilitas pelayanan kesehatan (UNAIDS, 2018). Dan pada kenyataannya, stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV AIDS jauh lebih mengerikan daripada infeksi virusnya.
Dalam setting keluarga, stigma dan diskriminasi tampak dari tindakan anggota keluarga lainnya yang menolak untuk berbagi makanan atau peralatan makan, bahkan ada yang tidak menerima atau menjauhi anggota keluarganya yang diketahui terinfeksi HIV.
Di banyak negara, orang yang hidup dengan HIV sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan promosi pekerjaan karena status HIV-nya. Hilangnya kerahasiaan status HIV juga menjadi isu utama dari adanya kebijakan pemeriksaan kesehatan yang wajib dilakukan di tempat kerja.
Anak-anak dan remaja yang hidup dengan HIV dapat dengan mudah dikeluarkan dari sekolah. Mereka mengalami diskriminasi dalam pengaturan tempat duduk, penolakan saat bermain bersama, bahkan pelecehan fisik yang menyebabkan rendahnya partisipasi mereka dalam belajar.
Dari segi hukum, terdapat kebijakan yang cenderung mendiskriminasi orang yang hidup dengan HIV, seperti pemeriksaan HIV yang wajib untuk ibu hamil. Pengadilan juga dapat melanggar kerahasiaan pasien dengan menggunakan catatan pengobatan sebagai bukti.
Di sektor kesehatan, masih terdapat tenaga kesehatan yang memiliki sikap negatif terhadap orang yang hidup dengan HIV, membuka status tanpa sepengetahuan pasien, menghindari kontak fisik, dan bahkan ada yang menolak untuk memberikan pelayanan kepada orang yang hidup dengan HIV (UNAIDS, 2018).
Pada hakikatnya, semua bentuk stigma dan diskriminasi menyebabkan orang yang hidup dengan HIV atau terdampak dengan HIV tidak dapat memperoleh hak-nya. Hasil penelitian membuktikan bahwa stigma dan diskriminasi menghambat akses terhadap layanan kesehatan, mencegah pemeriksaan dan pengobatan HIV sedini mungkin, mengurangi kepatuhan dalam mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV), dan memperburuk kualitas hidup orang yang hidup dengan HIV AIDS (Holzemer et al., 2009; Katz et al., 2013; Gesesew et al., 2017).
Seiring berjalannya waktu, stigma dan diskriminasi telah menjadi katalisator peningkatan angka kesakitan dan kematian HIV AIDS di seluruh dunia dan sampai hari ini masih menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya mengakhiri epidemi HIV sebagai masalah kesehatan global.
Harapan dan Kemajuan
Salah satu aspek yang penting untuk dipahami adalah kemajuan pengobatan HIV. Sejak diperkenalkannya terapi antiretroviral (ARV) pada tahun 1996, orang dengan HIV kini memiliki peluang hidup yang lebih panjang dan kualitas hidup yang lebih baik.
ARV bekerja dengan menekan replikasi virus, menjaga jumlah virus dalam tubuh pada tingkat yang sangat rendah, dan melindungi sistem kekebalan tubuh agar tetap berfungsi dengan baik.
Bahkan, jika seseorang yang hidup dengan HIV rutin mengonsumsi obat ARV, virus HIV dalam tubuhnya dapat ditekan hingga tidak terdeteksi dalam tes darah. Kondisi ini disebut “undetectable = untransmittable” (U=U), yang berarti seseorang yang memiliki HIV dengan viral load yang tidak terdeteksi tidak dapat menularkan virus tersebut kepada pasangan seksual mereka.
HIV hanyalah sebuah virus: Edukasi adalah Kunci
Pendidikan dan penyuluhan yang berbasis fakta ilmiah adalah langkah utama untuk mengurangi stigma terhadap orang yang terinfeksi HIV. Dengan menyebarluaskan informasi yang benar tentang HIV, kita bisa mengurangi ketakutan yang tidak berdasar dan memperkenalkan pemahaman yang lebih humanis. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa HIV bukanlah kutukan atau hukuman, melainkan sebuah kondisi medis yang dapat dikelola dengan pengobatan yang tepat.
Selain itu, penting bagi individu yang hidup dengan HIV untuk mendapat dukungan sosial yang positif. Keluarga, teman, dan komunitas berperan besar dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung. Jangan biarkan stigma merusak kualitas hidup seseorang hanya karena status HIV mereka.