Oleh: Prof.Dr.Mursalim Nohong SE,M.Si,CWM
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Akhir-akhir ini nama Sidenreng Rappang (Sidrap) jadi “buah bibir” di media sosial. Dikaitkan dengan viralnya video aksi saweran yang diterima seorang (DJ) disk jockey yang diundang sebuah klub di daerah itu. Bertolak belakang dengan image Sidrap yang selama ini dikenal religius.
Sidrap bukanlah sekadar entitas administratif di provinsi Sulawesi Selatan. Ia adalah ruang sosial yang kaya makna, tempat tumbuhnya budaya, logika kolektif, dan dinamika sosial-politik yang kerap menjadi perbincangan, baik di media sosial maupun dalam forum-forum diskusi publik.

Fenomena Sidrap yang kerap menjadi bahan diskusi, bahkan perdebatan, mencerminkan realitas bahwa daerah ini bukan wilayah yang pasif dalam dialektika publik. Yang menarik, perdebatan tersebut justru sering muncul dari dalam, antar sesama warga bumi Nene Mallomo sendiri—sebuah tanda hidupnya ruang berpikir kritis di masyarakat.
Dalam konteks ini, peran logika menjadi sentral. Diskusi publik yang sehat hanya mungkin tercipta jika dibangun di atas fondasi berpikir logis. Argumentasi yang koheren dan bebas dari kekeliruan berpikir seperti ad hominem dan non-sequitur akan melahirkan dialog yang konstruktif, bukan konflik yang destruktif.
Logika menuntun masyarakat untuk mengutamakan substansi daripada figur, serta mendorong untuk menjunjung objektivitas, meski dalam ruang yang penuh dinamika dan perbedaan.
Sidrap tidak dapat dilepaskan dari sosok legendarisnya, Nene Mallomo, yang menjadi simbol etika dan intelektualisme dalam sejarah Bugis. Ia tidak hanya menjadi penasihat raja, tetapi juga penjaga nilai-nilai universal seperti keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab moral.
Ditengah krisis integritas dan dominasi kepentingan pragmatis dalam kebijakan publik, sosok Nene Mallomo semakin dirindukan. Nilai-nilainya seharusnya menjadi cahaya penuntun dalam pengambilan keputusan publik hari ini.
Sayangnya, sebagian karakter peradaban yang diwariskan oleh Nene Mallomo kini seperti tercerabut. Modernitas yang diadopsi secara latah telah menggantikan kearifan lokal dengan atraksi-atraksi yang hanya mengejar keuntungan material. Praktik-praktik ini bahkan mereduksi citra Sidrap ke dalam narasi negatif yang dilanggengkan oleh persepsi luar: “lumbungnya 4S.”
Narasi ini hidup dan tumbuh tanpa perlawanan naratif yang memadai dari dalam. Bahkan, otoritas formal pun kerap tidak berdaya melawan hegemoni persepsi tersebut, terlebih ketika kekuatan oligarki menjadi aktor dominan di balik layar.
Membangun persepsi positif di era digital bukanlah pekerjaan mudah. Narasi yang dibentuk oleh media sosial, opini viral, dan propaganda visual jauh lebih berpengaruh dibanding sekadar pembangunan fisik.
Dalam konteks Sidrap, tantangan ini semakin kompleks karena daerah ini sedang berada dalam persimpangan identitas: dari kawasan agraris menuju kawasan dengan orientasi industri, energi terbarukan, dan transformasi digital.
Namun, perubahan struktur ekonomi dan infrastruktur tidak serta-merta akan mengubah persepsi. Diperlukan pendekatan kultural, sosial, dan politik yang berpihak pada kualitas tata kelola, partisipasi masyarakat, dan penyatuan visi daerah. Kekuatan pembangunan harus diiringi dengan pembangunan narasi identitas yang kuat dan kolektif.
Di sinilah peran generasi muda Sidrap menjadi penting. Generasi milenial dan Gen Z yang kini hidup dalam ekosistem digital memiliki potensi besar sebagai agen rebranding daerah. Melalui platform digital, mereka dapat menyuarakan wajah baru Sidrap: wajah yang berisi inovasi, kolaborasi, toleransi, dan spiritualitas yang membumi. Mereka bukan hanya pengguna internet, tetapi juga penjaga citra daerah.
Reputasi bukanlah slogan atau lambang di dinding pemerintahan. Ia adalah refleksi kolektif dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan tata kelola yang dirasakan oleh masyarakat dan dipersepsikan oleh pihak luar.
Sebuah daerah bisa saja memiliki masjid termegah, program keagamaan paling meriah, tetapi reputasi religiusitas tidak lahir dari fisik, melainkan dari etika sosial, keadilan, dan integritas pemerintahan.
Karena itu, persepsi “Sidrap religius dan berkah” tidak boleh direduksi hanya pada simbol. Ia harus termanifestasi dalam tata kelola yang bersih, pelayanan publik yang adil, serta kepemimpinan yang menghadirkan keteladanan.
Evaluasi terhadap reputasi kepala daerah, baik Bupati maupun Wakil Bupati, tidak bisa diukur dari 100 hari kerja. Reputasi dibangun melalui proses panjang, bukan dalam waktu instan.
Pemimpin daerah adalah representasi formal dan faktual dari masyarakat. Maka, perbedaan pendapat dengan figur kepala daerah adalah bagian dari demokrasi. Namun, loyalitas terhadap jabatan dan sistem pemerintahan harus tetap dijaga. Kepemimpinan yang sah secara konstitusional harus diberi ruang untuk bekerja dan menunjukkan kinerjanya.
Kini saatnya kepala daerah bersama masyarakat membalik narasi negatif menjadi peluang untuk membangun citra baru yang autentik. Masyarakat dan pemimpin daerah harus bersama-sama membangun platform identitas kolektif yang modern, religius, kreatif, dan kompetitif.
Dalam dunia yang terhubung dan penuh keterbukaan, narasi lokal akan menentukan daya saing global. Sidrap bukan hanya warisan masa lalu, melainkan proyek masa depan. Dan masa depan itu hanya bisa diraih jika reputasi daerah dibangun di atas fondasi yang kokoh: keadaban publik, tata kelola yang akuntabel, dan semangat kolaborasi lintas generasi.
Saatnya kebumikan 4S dengan membumikan 4S yang lain yakni Spiritualitas (menggambarkan nilai religiusitas, keimanan, dan etika sosial yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Sidrap. Ini selaras dengan semangat Nene Mallomo yang menanamkan nilai keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab moral).
Solidaritas (melambangkan kekuatan sosial dan kebersamaan masyarakat dalam membangun daerah. Dalam solidaritas, seluruh elemen masyarakat bekerja sama, saling menghormati perbedaan, dan menjaga harmoni sosial).
Smartness (merujuk pada komitmen perubahan dan Gen-Z dalam mengembangkan transformasi digital, inovasi pendidikan, dan pemanfaatan teknologi dalam pelayanan publik, pertanian, dan energi terbarukan).
Sustainability (menunjukkan orientasi jangka panjang Sidrap terhadap pembangunan berkelanjutan di bidang ekonomi, lingkungan, dan sosial—terutama sebagai lumbung pangan nasional dan pusat energi hijau). ***
Penulis Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unhas yang juga putra kelahiran Sidrap, Sulawesi Selatan.