Oleh Muliadi Saleh
Direktur Eksekutif Lembaga SPASIAL
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
ANGIN pagi Triwulan I tahun 2025 membawa kabar yang menyejukkan bumi Nusantara. Di antara petak-petak sawah yang menghampar dari Sumatra hingga Papua, daun padi menari dalam semilir harapan baru. Tak hanya di ladang, tapi juga dalam data dan angka: sektor pertanian Indonesia kini berdiri paling tegak di antara sektor-sektor ekonomi lainnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lonjakan yang mencengangkan. Produksi padi naik 51,45% dan jagung meroket hingga 39,02% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Pertumbuhan yang tak sekadar angka, melainkan gema perjuangan para petani yang kembali diberi ruang untuk menjadi pilar ketahanan bangsa. Sektor pertanian kini mencatat pertumbuhan tertinggi secara year-on-year: 10,52%—melampaui perdagangan dan industri pengolahan yang selama ini dominan dalam struktur PDB
Tak berhenti di situ. Cadangan beras pemerintah mencapai 3,5 juta ton—tertinggi dalam 57 tahun terakhir. Ini bukan hasil kiriman kapal asing, melainkan buah tangan petani negeri sendiri. Untuk pertama kalinya sejak lama, Indonesia mampu mempertahankan kedaulatannya tanpa impor beras medium. Semua dari panen lokal. Semua dari peluh anak negeri.
Ini tak lepas dari kesungguhan, kecerdasan, dan kerja keras serta orkestrasi kepemimpinan Menteri Pertanian Dr. Ir. H. Andi Amran Sulaiman, MP bersama seluruh jajaran Kementerian Pertanian.
Di bawah arahannya, kebijakan dirancang lebih presisi, implementasi lapangan dikawal ketat, dan kerja lintas sektor dijalankan tanpa sekat. Stakeholder terkait—dari petani, penyuluh, distributor, hingga TNI, Polri, pemerintah pusat dan daerah—bergerak dalam irama yang sama: menegakkan kedaulatan pangan Indonesia.
“Ini capaian luar biasa. Tanda bahwa sistem pertanian kita mulai pulih dan tumbuh. Kuncinya ada di keberpihakan: pada benih, pupuk, harga, dan petani itu sendiri,” ujar Prof. Dr. Ir. Bambang Setiadi, pakar kebijakan pertanian dan mantan Ketua Dewan Riset Nasional.
Ia menegaskan pentingnya kesinambungan kebijakan agar momentum ini tidak berhenti sebagai angka triwulan semata.
Penyerapan beras oleh Perum Bulog pun mencatatkan rekor: hingga awal Mei 2025, tercatat 1,8 juta ton beras telah terserap. Ini menjadi indikator nyata bahwa jalur distribusi mulai bersinergi dengan kebutuhan nasional.
Tak ada lagi kisah padi yang melimpah tapi tak terbeli. Kebijakan pengadaan dan penyerapan kini lebih tepat sasaran.
Sementara itu, sektor pertanian kembali menjadi sandaran utama penyerap tenaga kerja nasional, menyumbang 28,54% dari total lapangan kerja.
Di desa-desa, kita melihat anak muda mulai kembali ke ladang, bukan karena terpaksa, tapi karena sektor ini kini menawarkan harapan. Dalam istilah ekonom pembangunan, ini disebut “rural revival”—kebangkitan desa melalui sektor produktif utama.
Menurut Dr. Ani Nurhandini, ekonom pertanian dari IPB, kondisi ini merupakan hasil dari akumulasi perbaikan struktural dan percepatan program-program seperti SERASI (Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani), pengembangan food estate, serta subsidi pupuk yang lebih terkontrol dan berbasis data.
Namun prestasi ini bukan alasan untuk berpuas diri. Tantangan masih membentang: perubahan iklim, distribusi pupuk yang adil, regenerasi petani, hingga stabilitas harga pascapanen.
Tapi satu hal yang kini tak bisa diingkari—pertanian telah kembali ke panggung utama pembangunan nasional.
Dan kita tahu, ketika padi tumbuh subur, maka negeri ini tumbuh makmur. Ketika petani tersenyum di ladang, maka rakyat bersyukur di meja makan. Di balik sebutir beras, ada doa, kerja, dan semangat yang menyatu.
Indonesia sedang panen harapan.
-Moel’S@05052025-